Panjang Usia Mbah Jan
Renta usianya,
entah berapa pastinya aku tidak pernah bertanya. Wajah legamnya sudah penuh
keriput, pendengarannya pun sudah banyak berkurang, tetapi pijatannya masih
mantap terasa, pijatan yang sering diberikannya secara cuma-cuma kepada kami.
Mbah Jan namanya, semua orang memanggilnya begitu. Aku tidak tahu siapa nama
lengkapnya, untuk ini aku juga tidak pernah bertanya. Mungkin aku tidak cukup
peduli dengan keberadaanya, hingga aku tidak cukup ingin tahu siapa dirinya,
tapi aku tahu beberapa hal mengenai dirinya.
Beberapa hari
yang lalu aku main lagi ke Pingit. Awal tahun ajaran seperti ini selalu memberi
kegiatan ekstra untuk kulakukan di Pingit. Ada beberapa administrasi yang harus
diselesaikan, mungkin juga ada beberapa anak yang harus didaftarkan masuk
sekolah. Kegiatan yang sudah kulakukan selama beberpa tahun belakangan ini. Dan
siang kemarin aku datang lagi ke Pingit. Siang hari di awal puasa yang panas.
Aku
mengendarai motorku perlahan menuruni jalan yang sudah sangat akrab untukku
dulu, walau setahun terakhir ini sudah sangat jarang aku lalui lagi. Debu dan
teriakan anak-anak menyambutku. Banyak wajah yang masih kukenal akrab, tapi
banyak juga wajah-wajah yang sudah menjadi asing bagiku. Sapaan anak-anak juga
sudah tidak lagi kudengar meriah seperti dulu. Mungkin mereka sudah lupa
padaku, sama seperti aku sudah mulai melupakan mereka. Namun Mbah Jan tidak
lupa padaku. Ia terlihat begitu gembira melihat aku yang sudah tidak pernah
lagi datang mengunjunginya.
Disalaminya
aku dengan penuh semangat, diciumnya kedua pipiku, seakan aku anak hilang yang
sudah lama dia rindukan kedatangannya. Diajaknya aku masuk dan duduk di
satu-satunya kursi panjang di ruangan kecil dan gelap itu. Ruangan berdinding
bambu yang ditinggalinya bersama ketiga orang cucunya. Cucu yang kata banyak
orang bukanlah cucu kandungnya. Entah bagaimana ceritanya, sekali lagi aku
tidak bertanya. Tidak lupa, disuruhnya cucu sulungnya untuk membelikan kami es
teh di tengah siang yang panas di bulan puasa ini.
Untuk ketiga
orang cucunya inilah aku dan temanku datang kali ini. Elsa, cucu lelaki Mbah
Jan yang paling kecil baru saja selesai TK dan akan masuk ke SD. Dan seperti
tahun-tahun sebelumnya, kami mencoba membantu untuk memudahkan Simbah dalam
proses pendaftarannya. Bantuan yang ternyata sudah tidak lagi diperlukan karena
ternyata Mbah Jan sudah mendaftarkan Elsa ke sekolah, sudah pula menyiapkan
seragamnya.
Anak-anak ini
sudah tidak lagi memiliki ibu. Ayahnya? Kami selalu membicarakan beliau dengan
rasa kesal. Ayahnya adalah orang yang menurut kami, paling tidak peduli dengan
keadaan ketiga anaknya. Ia bekerja jauh dari rumah dan jarang kembali menengok
anak-anak itu. Ia yang kabarnya akan menikah dan tidak lagi bisa mengurusi
ketiga anaknya yang lebih dahulu ada dalam kehidupannya. Ia yang tidak pernah
mau tahu apakah anaknya bisa sekolah atau tidak.
Anak-anak itu
tidak punya akte kelahiran pada awalnya. Sekali lagi, masalah akte dan semua
urusan surat itu begitu menyulitkan jika anak-anak ini harus masuk sekolah.
Tanpa surat, maka kamu tidak akan punya negara. Kamu tidak akan tercatat di
mana-mana. Kamu tidak akan mendapatkan hakmu sebagai warga negara. Walaupun
kamu fakir miskin ataupun anak-anak terlantar, tanpa akte, wajib belajar
sembilan tahun tetap hanya akan menjadi mimpi yang menggantung di
langit-langit.
Simbah adalah
satu-satunya orang yang peduli akan nasib ketiga anak ini. Ia buta huruf. Ia
hanya seorang tukang pijat. Ia sudah tua dan tuli. Ia, yang dalam ingatanku,
dengan daster batiknya akan menggendong Elsa ke mana-mana. Ia yang tidak pernah
berkata tidak kepada ketiga cucunya, ketiga anak yang sudah dianggapnya cucunya
sendiri. Ia yang mengusahakan agar cucu-cucunya ini bisa sekolah.
Aku masih
ingat perjuangannya tahun yang lalu untuk mencarikan Elsa akte kelahiran.
Ayahnya masih entah, bahkan untuk minta tanda tangan dalam surat kuasa saja dia
begitu enggan untuk memberikan. Tapi Mbah Jan memilih bertindak, dengan bekal
seadanya, dengan segala keterbatasannya, diajaknya Elsa untuk kembali ke kampung
bapaknya. Di sebuah desa di Klaten sana, Mbah Jan mencari cap untuk melegalisir
surat nikah orangtua Elsa. Dan kala itu Mbah Jan masih mengasihani aku yang
ikut membantu membuatkan akte di balai kota seakan dia tidak repot saja.
Mbah Jan
bukannya tidak menderita, dengan tubuhnya yang renta itu dia harus dibebani
tanggung jawab tiga orang cucu yang masih anak-anak. Yang sulung, mungkin sudah
empatbelas tahun, putus sekolah saat kelas empat SD. Sekarang sedang kejar
paket kabarnya, ikut sebuah rumah singgah. Di mana? Aku tidak bertanya. Tapi
anak itu juga tidak tahu kapan dia akan ujian mendapatkan ijazah kejar
paketnya. Si anak tengah, kemarin tidak naik kelas. Terhenti di kelas dua SD,
sepuluh tahun sudah usianya. Nilainya tidak seberapa buruknya, beberapa di
bawah rata-rata kelas memang, tapi membolosnya yang parah. Total 23 hari dalam
satu tahun, tanpa keterangan.
Simbah bilang,
“Anak ini kalau nggak digugah nggak
sekolah, kalau digugah nangis.”
Aku nggak
tahu, peperangan seperti apa yang terjadi setiap pagi hanya untuk membuat anak
ini sekolah.
Jujur, sekali
lagi aku putus asa. Ada gunanyakah Elsa aku daftarkan masuk SD? Apakah akan ada
yang berbeda dengan anak yang satu ini? Mungkin hal ini juga yang membuatku
begitu enggan mendaftarkannya. Buatku, mendaftarkan Elsa masuk sekolah, berarti
menambahkan satu lagi masalah setelah kedua kakaknya yang pasti membuat guru
manapun mengelus dada.
Simbah pun
sadar keadaannya. Ia begitu berusaha memuji cucu-cucunya yang pintar dan rajin
sekolah, mau mengerjakan PR. Tidak tahukah ia, ketika aku datang dan bertemu
guru dari anak-anak itu, aku selalu mendapatkan laporan yang sebaliknya. Namun
Mbah Jan tidak putus asa, pantaskah aku?
Jadi sekarang
mau bagimana? Simbah semakin stres memikirkan cucu-cucunya.
“Tak rewangi lara patang ndina, tapi tetep
ora iso dikandani.”[1]
Curhatnya akan cucu sulungnya yang sudah memantapkan karir sebagai anak
jalanan.
Anak yang dulu
sangat penuh semangat dan ceria. Masih aku ingat dengan jelas, saat pertama
kali aku datang di Pingit dan anak inilah yang dengan semangat menjadi pemimpin
di area bersama. Belum empat tahun dari saat itu, dan anak ini sudah berada di
area yang sudah tidak lagi bisa kami jangkau.
Bersama Mbah
Jan dan ketiga cucunya, aku merasakan betapa beratnya pendidikan. Sesuatu yang
rasanya begitu alami untukku dulu dan mungkin bagi sebagian besar orang.
Sekolah itu rasanya adalah kegiatan yang terlihat paling alami dilakukan oleh
anak-anak. Semua anak sekolah, jadi apa susahnya? Membayar sekolah? Anak-anak
ini didukung oleh banyak donatur yang memastikan mereka bisa terus lanjut
sekolah, tapi ternyata tidak segampang itu.
Piere Bordieu benar dalam hal ini, sekolah
membukakan kesempatan yang sama bagi setiap orang adalah suatu doxa, suatu sudut pandang penguasa atau
suatu sudut pandang dominan yang menyatakan dan memberlakukan diri sebagai
sudut pandang universal.[2]
Sudut pandang yang sebenarnya hanya berlaku bagi kelas menengah ke atas, bukan
bagi kelas miskin. Sudut pandang yang juga aku dan anak-anak itu terima. Kami
semua pernah percaya, bahwa pendidikan bisa memberikan masa depan untuk semua
orang.
Mari kita
lihat kenyataannya. Anak-anak itu ternyata tidak bisa begitu saja didaftarkan
sekolah dan mereka akan sekolah dengan sendirinya begitu saja. Ada banyak hal
yang membuat mereka terus semangat sekolah atau tidak. Salah satunya adalah
uang saku, anak-anak itu suka sama seperti teman-temannya. Kalau teman-temannya
bisa jajan es marimas, maka ia juga akan ingin jajan minuman yang sama.
Bagaimana ketika tidak ada orang yang minta pijat hari itu, mau dikasih uang
saku dari mana anak-anak itu? Belum lagi kebutuhan akan seragam, sepatu, alat
tulis, buku, LKS, biaya piknik, biaya foto, biaya ekstrakulikuler, dan masih
banyak lainnya, harus memijat berapa banyak orang Simbah Jan untuk bisa
membiayai itu semua. Variabel-variabel yang seringkali luput kami perhatikan.
Berikutnya
adalah masalah kebiasaan belajar. Buat anak-anak, belajar itu bukanlah sesuatu
yang menyenangkan. Aku pernah merasakan jadi anak SD. Itulah kenapa orangtua
diperlukan untuk memaksa anak belajar. Itulah kenapa PR diberikan, agar
anak-anak ini belajar di rumah. Bagaimana jika ternyata di rumah tidak ada
orang tua yang cukup sadar pendidikan, atau tidak cukup paham dengan apa yang
terjadi pada anak-anak di sekolah. Simbah bisa memaksa dan menyuruh anak-anak
ini mengerjakan PR, tapi ia tidak akan bisa memahami dan mengajari anak-anak
itu mengerjakan LKS IPA mereka.
Semua hal itu
akan memasukkan anak-anak itu dalam lingkaran setan. Sekolah itu tidak
menyenangkan, di jalan lebih mudah dan menyenangkan karena bisa langsung dapat
uang. Mereka sekolah terus juga tidak akan mendapatkan uang, tidak mendapat
pujian, tidak mendapat hadiah, tidak ada yang memperhatikan. Hidup mereka malah
akan tambah susah karena harus belajar, harus bikin PR. Kondisi ini yang akan
membuat mereka malas belajar, malas sekolah. Akibatnya nilainya jelek,
dimarahin dan sudah dicap jelek sama gurunya, bikin sekolah tambah nggak
menyenangkan, bikin pengen menghindar, bikin nilainya tambah jelek, dan mungkin
keputusan akhirnya nggak usah sekolah aja sekalian.
Tidak ada
dukungan dari lingkungan yang memberi pujian ketika bisa mengerjakan, mengajari
membuat PR, dan mengambilkan rapor. Tidak ada cukup sumber daya untuk memberi
uang saku yang layak setiap hari. Tidak ada yang membantu untuk memahami bahwa
sebusuk-busuknya sekolah, kita masih butuh ijazahnya untuk bekerja dan hidup
suatu saat nanti. Jika membaca saja tidak dapat, mau kerja apa?
Lalu bagaimana
sekarang? Bagaimana memastikan anak-anak ini sekolah atau melakukan kegiatan
lain yang berguna jika memang mereka tidak mau sekolah. Bagaimana membantu agar
anak-anak ini bisa cukup berdaya nantinya. Membantu mereka untuk suatu
kehidupan yang sedikit lebih baik dari hanya sekadar menjadi penghuni jalanan
dan menjadi statistik tanpa nama yang bahkan negara saja tidak mau mengakui
haknya. Karena ternyata, membayar biaya sekolahnya saja tidak cukup.
Simbah sudah
semakin renta. Beban akan ketiga cucunya ini semakin memberatkan pikirannya dan
melemahkan kesehatannya. Semoga Simbah bisa tetap kuat dan sehat, semoga simbah
panjang usia untuk menemani cucu-cucunya bergulat dengan pendidikan yang tidak
juga bisa menjamin masa depan mereka.
S2 membuat gaya tulisanmu menjadi elegan.
BalasHapusThank you Koko YhoYho... Ga sia-sia berarti investasiku kuliah di IRB :))
Hapus