Ingin Diinginkan


Saya rasa hampir semua orang pernah merasakan patah hati. Dan saya adalah salah satunya. Merasakan rasa kehilangan yang amat sangat, merasakan obyek kelekatan kita pergi dan mungkin akan segera melekat dengan orang lain. Rasanya adalah perih, sesak, sakit, marah, menyesal dengan amat sangat dan berbagai variasinya. Jika bisa ingin mengulang waktu, jika bisa ingin berusaha lebih baik lagi, jika bisa saya dulu tidak akan mengatakan "A" (atau B atau C...), Jika bisa... Jika..... Dan berjuta jika lainnya.

Tapi tidak ada jika. Keputusan yang sudah diambil dan segala hal yang sudah terjadi harus dijalani. Ada berbagai pilihan sebenarnya. Bisa berlari dalam artian melebarkan jarak dengan sang mantan yang menjadi sumber rasa sakit. Bisa menjadi benci dengan beliaunya dengan mengingat segala tindakan jahatnya, jeleknya, jahatnya, pengkhianatannya, perkataannya yang menyakitkan dan perilaku jahat lainnya. Bisa menjalin hubungan yang baik dan membunuh rasa sakit yang menyertainya, walau tidak disangkal hidup jadi penuh dengan air mata selama beberapa saat.

Dalam proses pengaliran air mata inilah terjadi banyak hal yang sedikit banyak mengubah sudut pandang, mengubah perilaku, mengubah pola pikir dan banyak hal yang berubah bersama dengan banyaknya airmata yang mengalir.

Mungkin tidak menjadi dewasa dengan sempurna, tapi saya belajar mengenai kepasrahan. Dimana menyerah menjadi sesuatu yang lebih sulit dan menantang untuk dilakukan dibading dengan berjuang. Setelah bulan-bulan panjang yang dihabiskan untuk berjuang, saat mengambil keputusan untuk menyerah dalam hubungan ternyata membawaku pada perjuangan yang jauh lebih menyakitkan dengan cara yang berbeda. Berjuang untuk melepaskan, berjuang untuk menerima.

Belajar untuk memaafkan. Belajar untuk memaafkan diri sendiri. Memaafkan luka yang sudah aku buat pada orang yang sudah sangat aku sayangi. Memaafkan diri sendiri karena sudah menyebabkan, membiarkan, dan membenarkan seseorang merasakan rasa sakit itu. Rasa sakit karena tidak diterima, tidak dianggap, tidak dihargai, dituntut terus menerus, diabaikan, tidak dipahami, ditempatkan sebagai pihak yang bersalah, dan berbagai rasa sakit yang mungkin tidak aku pahami. Dan masih berusaha memaafkan diri ini atas segala hal yang terjadi. Karena faktanya rasa sakit itu pernah ada.

Belajar mengenal apa yang terjadi di dalam otak dan hati ini, menerima setan yang berada di dalam hati, menerima setiap pertentangan yang terjadi. Mengetahui bahwa perubahan itu terjadi sering lebih karena pemahaman yang didapat, terjadi karena rasa sakit yang sudah dirasakan. Mengetahui bahwa aku ingin untuk merasa diinginkan, ingin bersandar dan menggantungkan diri pada dekapan yang aman dan menjamin kehidupanku baik-baik saja. Imgin menjadi eksklusif dan menjadi satu-satunya. Menjadi yang dibutuhkan, sangat diinginkan, dicintai, dilindungi, dibela dengan segenap hati, menjadi yang teristimewa. Tapi apakah aku mampu memberikan hal yang sama?

Masih belajar untuk hidup dan bersyukur untuk proses ini. Maaf untuk banyak hati yang sudah banyak aku lukai dan terima kasih untuk banyak uluran tangan yang sudah diberikan, untuk setiap nada yang sama-sama kita nyanyikan. untuk setiap tetes air mata yang telah kalian biarkan untuk menetes.

Aku telah menyelesaikan pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. (Timotius)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith