Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Mencari Posisi dalam Seni

Perubahan bertubi-tubi beberapa minggu terakhir ini membuat saya mau tidak mau berhubungan dengan sesuatu yang bernama dengan seni. Seni yang secara sekilas pandang saya pahami sebagai suatu produk hasil dari orang-orang yang bergenre seniman, entah apakah itu musik, lukisan, atau suatu pertunjukan. Mungkin pemahaman yang terlalu mereduksi dan mengecilkan mengenai apa itu seni. Apa yang terjadi pada kehidupan sehari-hari saya dengan lingkungan tempat di mana saya berdiri sekarang ini membuat saya banyak kecemplung dengan seni bagian seni rupa. Saya walau tidak banyak jadi mengenal dan bergaul entah dengan seniman, kurator, atau pengkaji mengenai seni rupa. Hal ini mau tidak mau membuat saya jadi sedikit banyak ikut berkunjung melihat pameran yang dibuat oleh teman atau dikuratori oleh teman yang lain. Dalam imajinasi saya, dalam kehidupan ideal yang pernah ada dalam kepala saya, saya ada keinginan untuk berkunjung dalam pameran-pameran seni entah Artjog atau Bienalle misalnya, S

Hidup Senyatanya

Dalam satu atau dua bulan ini saya tiba-tiba mendapatkan pengalaman mengantarkan teman yang sakit dan kecelakaan ke IGD. Yang satu karena vertigo, yang lain karena kecelakaan dan dirujuk untuk rongsen karena dicurigai terjadi retakan di tangannya. Kedua kejadian yang di satu sisi saya sedikt banyak harus mengambil keputusan apakah saya harus membawa teman saya ke rumah sakit karena kondisinya yang memang sudah kesakitan, di sisi lain saya merasa tidak berdaya karena sulit untuk saya memutuskan membawa mereka ke rumah sakit karena kami sama-sama miskinnya. Keduanya akhirnya saya temani ke IGD di dua rumah sakit swasta yang berbeda di Jogja ini, keduanya menghabiskan sekitar tiga ratus ribu rupiah. Bagi orang dengan penghasilan UMR Jogja yang hanya sekitar satu juta, belum lagi salah satu teman saya itu adalah pekerja informal yang gajinya bahkan tidak sampai satu juta, tiga ratus ribu itu pastinya sudah memakan jatah hidup lebih dari satu minggu. Di lain pihak, tidak membawa ke rumah

The Geography of Faith

Gambar
Eric Weiner Sebuah Catatan Autoetnografi Melihat buku dari Eric Weiner ini dari awal sudah membuat saya merasa tertarik. Diawali dengan buku awalnya The Geography of Bliss, buku yang menceritakan tentang perjalanan Eric untuk mencari tempat-tempat yang paling bahagia di dunia. Saya tidak terlalu ingat isi detailnya karena membacanya sudah bertahun-tahun yang lalu. Tetapi kesan awal saya waktu itu tidak terlalu menyenangkan, isi dari bukunya rasanya tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan saat sebelum membacanya. Sampai kemudian saya menemukan edisi lain dari tulisan Weiner ini, The Geography of Genius dan The Geography of Faith, dan saya melupakan pengalaman pertama saya bersama Weiner dan ingin memberinya kesempatan kedua dan membacanya lagi. Setelah berbulan-bulan saya tidak membeli buku dari toko dan lebih menikmati mencari gratisan pdf dan mencetaknya, akhirnya saya setelah berjualan kastengel selama bulan Ramadhan dan mendapat sedikit selisih penjualan, saya memu

Takut akan Perbedaan

Hari-hari terakhir ini, rasa-rasanya banyak hal yang terjadi di sekitar saya adalah mengenai hal ini, ketakutan akan perbedaan. Mulai dari yang dekat ada Ahok dan semua permasalahannya yang masih belum selesai dan menjalar ke mana-mana, yang jauh ada Bapak Trump yang ingin memmbangun tembok di negaranya yang membatasi masuknya orang-orang Mexico, di Eropa sana, ada ketakutan akan banyaknya imigran Syria yang berbondong-bondong masuk ke Eropa mencari perlindungan. Saya merasakan ketakutan akan perbedaan atau dibedakan ini sudah sejak zaman dahulu kala. Takut dikucilkan di sekolah karena saya berbeda, takut tidak diterima dalam pergaulan karena saya berbeda. Ketakutan yang sebenarnya jika mau ditilik secara lebih dalam membawa banyak gangguan pada aspek-aspek lain dalam kehidupan. Sayangnya, saya hanya mengalami ketakutan ini dari sisi saya sebagai minoritas, dari sisi orang yang disingkirkan dan saya anggap termarjinalkan.  Hari-hari ini saya juga melihat banyak ketakutan dari oran

Arisan dan Kedigdayaan Perempuan

Hari Kartini dan emansipasi pada perempuan adalah sesuatu yang sangat tidak terpisahkan di Indonesia ini. Bagaimana perempuan yang tadinya dianggap tidak memiliki hak untuk bersekolah atau melakukan kegiatan publik apapun, berkat rintisan dari Kartini seakan-akan sekarang perempuan Indonesia jadi bisa memiliki berbagai hak yang sama dengan para lelaki. Bahkan bagi beberapa orang, kata wanita sudah tabu untuk diucapkan dan memilih menggunakan kata perempuan, mungkin seperti istilah Cina dan Tionghoa ya... walaupun untuk terma perempuan ini, saya kurang begitu paham sebab musababnya. Bukankah menghina atau tidak, ada pada pengetahuan yang dipakai di baliknya, pada penandanya? Pembicaraan mengenai perempuan dan hak-haknya yang setara dengan lelaki, mengenai girl power atau yang saya terjemahkan menjadi kedigdayaan perempuan itu juga menjadi pembicaraan yang seksi di majalah-majalah. Saya ingat sekali, dulu saat masih muda dan berlangganan Majalah Gadis adalah hal yang sangat umum dilak

Panda, Pedangang Perantara Anda!

Beberapa minggu belakangan ini, saya dan teman-teman selingkaran diskusi sedang membicarakan Henri Lefebvre. Beliau adalah seorang sosiolog dari dan filsuf dari Prancis yang secara umum dikategorikan beraliran Neo-Marxism (wikipedia.org). Tidak mau membahas orang ini ataupun karyanya sebenarnya. Hari ini kami baru saja selesai membaca kata pengantar dari bukunya yang Critique of Everyday Life dan itu saja sudah membuat kami terengah-engah kehabisan napas. Saya kemarin kebagian membaca salah satu bagian dari pengantar tersebut yang membuat saya tertarik dan ingin ngomong di sini. Bagian yang akhirnya hanya saya baca tiga halaman dan saya lemparkan ke teman yang lain (maaf Kak Nico...). Pada bagian itu, saya membaca mengenai pekerjaan yang mengalienasi. Lefebvre dalam tiga halaman yang saya baca itu berbicara mengenai bagaimana bekerja itu membuat kita sebagai manusia menjadi teralienasi atau terasing. Dengan bekerja dan melakukan proses produksi, kita akan menjadikan diri kita ini

Kekalahan Ahok dan Rasa yang Tersisa

Gambar
Jakarta baru saja menentukan pemimpin daerahnya hari ini. Walaupun masih dari versi hitung cepat, tetapi kekalahan dari Gubernur sebelumnya sudah terlihat dan tampaknya sudah diterima oleh berbagai pihak, baik dengan lapang dada maupun tidak. Proses Pilkada ini terasa sebagai proses yang sangat panjang dan melelahkan, tidak hanya bagi warga Jakarta, dengan kecanggihan media saat ini, rasanya seluruh Indonesia diajak ikut berperang bersama mereka. Saya sendiri melihat ini dari kejauhan, saya orang desa yang tinggal di Jogja, KTP Jogja saja tidak, apalagi KTP Jakarta. Dari logikanya, siapa yang terpilih di Ibukota sana, tidak ada hubungannya dengan kehidupan saya. Tetapi dari segi rasa, saya ikut merasakan imbasnya. Masa kampanye yang panjang dengan berbagai isu SARA yang diangkat di dalamnya ini, mau tidak mau menarik minat saya dan membuat saya juga merasa ikut terlibat. Ahok yang orang Cina dan Kristen. Saya juga Cina dan yah... sedikit Kristen. Atribut-atribut ini yang diperlawa

Paskah Tahun Ini

Paskah adalah perayaan yang biasanya paling saya sukai. Waktu masih muda dulu, waktu masih semangat-semangatnya jadi mudika, Paskah adalah waktu yang paling saya tunggu. Waktu ke gereja yang berkali-kali dan bertemu dengan banyak teman-teman yang beberapa di antaranya hanya pulang di saat-saat itu. Keriaannya biasanya sudah dimulai sejak sebulan sebelumnya, mulai dari latihan untuk misdinar, latihan kor, sampai latihan drama penyaliban. Pekan suci pun diisi dengan meriah, dari Misa Kamis Putih, lanjut dekor dan menginap di gereja untuk persiapan drama pagi hari, lanjut dengan bongkar dekorasi, kemudian Ibadat sore harinya. Sabtu sore akan misa bersama dengan teman-teman. Saat masih misdinar, biasanya saya dan serombongan teman akan tugas bersama di misa Paskah malam, misdinarnya bisa sampai 18 orang. Atau jika tidak tugas, maka saya bisa berangkat dua kali misa hanya untuk bersalaman dan bertemu dengan sebanyak mungkin orang. Itu dulu... Paskah tahun ini, ada yang sedikit berbeda. S

Tidak Sekadar Narsis, Pengalaman Meneliti Diri dalam Autoetnografi

Bahan diskusi bulanan Anjani, Selasa, 18 April 2017 Berbicara autoetnografi ini sudah menjadi pembicaraan yang kesekian kalinya dalam perjalanan saya di IRB. Saya pertama kali mengenal mengenai metode ini adalah dalam perkuliahan Kajian Gender , jika saya tidak salah ingat, waktu itu metode ini mulai disebut-sebut digunakan oleh Kurniasih. Saya juga mendengar bagaimana dia bercerita tentang metode ini dalam perkuliahan di kelas dan pada suatu diskusi di Ngeban. Pada awalnya saya tertarik dengan metode ini adalah karena keluasan cakupan yang bisa dilakukan. Dengan metode autoetnografi ini, sepanjang yang saya ketahui waktu itu adalah saya bisa menuliskan penelitian saya dalam bentuk novel. Tujuan awal saya untuk berkuliah di IRB adalah untuk belajar menulis, saat itu sama sekali tidak kepikiran bagi saya untuk terjun dan menyelam dalam penulisan akademis. Saya hanya ingin menjadi novelis, dan jika itu bisa dipelajari saat kuliah, kenapa tidak. Di sisi lain, saya selama perkul

Sekartaji

Gambar
Beberapa saat terakhir ini, salah satu kegiatan yang mendominasi kehidupan saya adalah berjualan. Awalnya saya hanya berjualan pulsa kepada teman-teman di sekitar, kemudian saya bergabung dengan Mbak Galuh Sekartaji untuk menjual sabun bersama-sama dengannya. Suatu pekerjaan yang membawa saya melangkah lebih jauh dalam dunia jual menjual. Saya yang dulu paling tidak bisa membungkus dan mengemas barang, kemarin mau tidak mau saya harus membungkus berpuluh parsel untuk dikirimkan kepada pembeli dari berbagai penjuru Indonesia. Dari Riau sampai Mataram dan banyak juga dari berbagai penjuru pulau Jawa. Saya sendiri suka heran, kenapa ada orang yang rela bayar ongkos kirim mahal untuk membeli sabun. Tapi ya Alhamdullilah sih ya... Bekerja bersama dengan Sekartaji adalah saat-saat yang menyenangkan saya, dengan produknya yang pastinya saya suka, dan saya juga sepaham dengan visi dan misi dari Sekartaji, jika tidak mau dibilang sebagai ideologi yang melandasi. Sekartaji berdiri d

Arisan, Nyah!

Gambar
Berbulan yang lalu saya dan salah satu teman saya sejak SMA mulai rerasan untuk melakukan sesuatu bersama-sama. Saat saya sudah menjelang selesai kuliah dan beliaunya sudah mulai ingin melakukan sesuatu yang baru setelah perusahaan yang sebelumnya didirikannya bersama suami mulai bisa berjalan tanpa campur tangannya lagi terus menerus. Pembicaraan ngalor ngidul, berbagai macam rencana usaha apa yang akan dilakukan, akhirnya pada satu titik, mulai mengerucut dan menemukan bentuknya. Kami ini dua orang perempuan yang sudah lebih dari separuh hidup kami habiskan di Jogja. Di sini kami berteman dan mulai mengenal banyak orang. Dari situ kami juga mengenal banyak teman-teman kami dari semasa SMP, SMA, sampai teman kuliah yang memulai usahanya. Ada yang mulai menjual beras organik, ada yang menjual aksesoris yang didesain atau dibuat sendiri, ada yang membuat sabun, pakaian, dan banyak lagi. Saya sendiri, saya melihat bahwa beberapa orang ini jika saling dipertemukan bisa saling memba

Sekali Lagi, Terima Kasih

Akhirnya, perjalanan panjang yang dimulai 2013 lalu bisa diakhiri, dengan baik. Belum seluruhnya berakhir memang, masih ada perbaikan dan satu dua hal yang harus dilakukan sebelum bisa benar-benar selesai dari tempat ini, tapi boleh lah ya sombong dulu sekarang. Setelah ujian kemarin, beberapa teman menanyakan, bagaimana rasanya? Bagaimana ya... rasanya biasa saja sebenarnya. Sampai saat ini tidak ada perubahan yang besar dalam hidup saya, rutinitas juga masih sama saja, jualan keliling-keliling, ke kampus, ke sana dan kemari. Teman saya yang sudah lebih dahulu lulus juga menyatakan hal yang sama, biasa saja rasanya, hanya ada yang aneh karena apa yang biasanya dilakukan, sekarang tidak ada lagi. Bumi tetap berputar seperti biasa. Proses ujian yang terjadi pun rasanya tidak benar-benar saya alami. Melayang. Mungkin karena gugup dan tidak bisa tidur semalam sebelumnya. Walaupun saya sudah susah payah mengisolir diri dan mengalihkan perhatian, tetap saja serangan panik datang dan memb