Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2012

Dikejar D.O.

Berada dalam suatu situasi yang sama terus menerus ternyata dapat menimbulkan suatu sikap mental yang permanen. Hal itu baru saya sadari beberapa hari terakhir ini. Selama dua tahun menjalani proses penulisan skripsi membuat saya memiliki sikap mental sebagai pelarian. Dua tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk mengerjakan suatu tulisan yang hanya sebanyak delapan puluh halaman dengan font Times New Roman ukuran 12 dan spasi dua. Tapi ya… begitulah faktanya. Saat teman-teman seangkatan saya sudah mulai menulis skripsi dan lulus sejak tahun 2009, entahlah saya berada di mana. Seingat saya, akhir tahun tersebut masih ada kuliah yang saya ikuti. Setelah itu awal tahun 2010, saya magang di taman kanak-kanak selama dua bulan. Bukan magangnya yang membuat saya tidak mengerjakan skripsi tetapi patah hati yang terjadi di waktu yang sama itulah yang membuat saya tidak berfungsi sebagai manusia selama sekitar empat bulan. Saat mulai sembuh patah hatinya, saya ketemu dengan kegia

Menikmati Pagi

Saya yang sangat menikmati tidur ini akhir-akhir ini memiliki kebiasaan baru yaitu menikmati pagi hari. Menikmati pagi dengan konsekuensi tidak bisa tidur sampai siang. Intinya bangun pagi itu bukan aku banget lah. Diawali dengan angka gula darah saya yang di atas normal, maka saya harus melakukan perubahan besar dalam gaya hidup yang sudah saya jalani selama ini. Pilihannya adalah minum obat, diet dan berolah raga. Obat adalah hal pertama yang saya eleminasi. Walaupun praktis dan tidak butuh usaha, tapi efek jangka panjangnya yang tidak mau saya rasakan. Baik dari segi kesehatan maupun dari segi dompet. Diet? Ya bolehlah, paling tidak saya sudah berhenti minum soda dan mengurangi minuman kemasan dengan berbagai gula tambahan. Sisanya adalah berolah raga, tambah maleslah saya. Saya ini adalah orang tipe cucian. Teronggok di sudut kamar dan dikerubuti lalat. Ya begitulah kehidupan saya kalau di kos, hanya ngglundung ke sana kemari, berdiri aja males. Tapi, karena saya mulai mer

Ke Pingit Aku kan Kembali

Gambar
Salah satu hal yang menjadi pusat kehidupan saya tapi jarang banget saya jadikan bahan untuk memproduksi sebuah tulisan adalah Pingit. Sebuah sanggar belajar bagi anak-anak yang tinggal di wilayah Pingit, Yogyakarta. 16 Agustus 2010. Saya ingat benar tanggal itu, tanggal saya pertama kali menginjakkan kaki di tepi kali Winonggo. Saya dan ketiga orang lain pada malam itu dibawa menuruni tangga yang curam dan gelap di belakang kampus Janabadra. Tidak tau bagaimana situasinya, tidak tau siapa yang akan ditemui, tidak tau musti ngapain, langsung aja gitu disuruh nyemplung. Dan saya bener-bener kecemplung, tenggelam dan keseret arusnya yang deras. Saat itu jam 7 malam, dan ada sekitar tiga puluh anak di tempat itu yang berteriak-teriak, berlari ke sana kemari, berantem, minta gendong, nangis, jajan es, misuh-misuh, mukulin temennya, melempari batu orang lain. Rame dan komplit lah rasanya. Penampilan mereka pun beragam, ada yang lusuh dengan baju yang warnanya sudah pudar, ada yang

Pulang

Pulang. Biasanya kata itu membuat saya bersemangat. Tiap libur datang, entah itu libur semesteran, natal, paskah atau Idul Fitri, saya pasti bersemangat untuk berkemas dan pulang ke rumah. Sebagai seorang yang sudah tinggal di perantauan selama 10 tahun, rumah menjadi suatu tempat yang istimewa. Walau jarak dari rumah ke tempat tinggal saya sekarang hanya berjarak dua jam perjalanan naik motor, tapi sangat jarang saya tinggal di rumah lebih dari hitungan minggu sejak saya hijrah waktu lulus SMA. Jadi, melihat kecenderungan saya itu, saya pikir ketika semua urusan sekolah saya selesai saya akan senang untuk kembali ke rumah. Ternyata sebaliknya. Ada beberapa kejadian beruntun yang membuat saya mengambil keputusan untuk pulang dalam jangka panjang. Pertama adalah papa saya yang harus bekerja di luar rumah sampai bulan Oktober. Hal itu membuat tanggung jawab mengurus toko berada di tangan Simbok saya. Kedua, lebaran kemarin, orang yang bekerja di toko mengalami kecelakaan dan harus dira