Hujan... Hujan... Hujaaaannnn....

Dua hari ini adalah hari yang basah sebasah-basahnya. Basah sejak pagi hari dan membuat mata ini jadi enggan terbuka. Terlena bersama suara air yang memukul-mukul genteng dan jendela. Membuai dengan udara dinginnya, sedingin kakiku yang terkena bocoran air dari genting yang berlubang di atas sana.
Kemarin saya beruntung, hujan turun saat saya tidak harus berangkat kuliah. Tapi pagi ini, saya tidak lagi dapat melarikan diri dari kenyataan yang basah di luar sana. Menembus hujan dengan mantol yang berkibar-kibar. Bergabung dengan serombongan besar para kaum komuter Jogjakarta, menyeberangi jalan lingkar menuju kehidupan yang mungkin sudah tidak lagi terasa.
Hujan memang selalu membawa perasaan cinta dan benci. Jika musim hujan terlalu panjang datang di Temanggung, maka seluruh kota akan mulai gelisah.
Pembicaraan di berbagai penjuru kota akan berkisar seputar hujan yang tidak segera berhenti dan harga tembakau yang begitu fluktuatif.
Ada teman saya yang sangat membenci hujan, begitu musim hujan datang, maka keluhannya akan membumbung tinggi. Dia benci basah, benci harus memakai mantol jika berpergian. Tapi temanku ini juga membenci matahari, dia takut akan menjadi hitam jika terpapar matahari terlalu banyak. Repot sekali.
Lain lagi dua orang temanku yang begitu mencintai hujan. Begitu hujan datang mereka justru meninggalkan rumah dengan sepeda atau sepeda motor atau berlarian dan merayakannya dengan membiarkan air mengguyur seluruh tubuh. Merayakan kebebasan, merayakan kehidupan. Menikmati kesenangan, atau dalam istilahnya "menyalurkan renjana."
Sebagai orang yang hobi galau, hujan membuat saya tambah menghabiskan banyak waktu untuk galau. Kalau kemarin saat Jogja begitu panas, berguling-guling di tempat tidur menjadi begitu gerah dan lengket, maka ketika hujan mulai banyak turun, dan udara mulai mendingin, bergelung di balik selimut menjadi terasa begitu nikmatnya. Tidak terlelap, hanya membiarkan pikiran melayang tidak tentu arah. Menyusun berbagai rangkaian kisah yangterlalu rumit untuk direalisasikan menjadi kenyataan yang dirasakan.
Ini salah satu hasilnya, menikmati kabut yang seakan-akan tidak mau terangkat dari jaringan otak. Mendengar presentasi, suara hujan dan dinginnya AC di kelas pagi Pascakolonial.

Komentar

  1. halooo mbak Anne, hujan bagi tetanggaku membawa berkah mbak, soale kebanyakan tani. mereka merayakan kehidupan nya dengan membawa cangkul sambil bersenandung ria...dan membawa harapan utk bisa nanam padi...semangat pak tani!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat Bu Sam. Walau hujan kita harus tetap sehat :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith