Para Sahabat...

Bagaimana menggambarkan ini ya....
Ini adalah saat-saat kacau yang terjadi dalam hidup saya. Kuliah dan beberapa masalah lain yang datang dalam waktu yang bersamaan. Keadaan yang membuat kondisi diri saya menjadi terasa begitu kacau. Rasanya semuanya menumpuk dan tidak ada yang bisa saya selesaikan. Saya tidak paham apa yang saya baca, saya harus menolak permintaan simbok saya untuk menemani beliau ke Jakarta dan mengalihkan kegiatan itu pada kakak saya. Penolakan yang mengambyarkan diri saya sendiri... Yang agak parah saya jadi beberapa kali mendapatkan serangan tangis yang sporadis, sewaktu-waktu, di mana saja dan kapan saja. Itu membuat saya agak repot memang.
Kondisi ini membuat saya harus belajar untuk mengisolasi afek agar saya tetap bisa berfungsi dengan cukup normal lah minimal. Paling nggak saya tidak mungkin menangis heboh di tengah-tengah kuliah. Saya belajar untuk menggurung emosi saya agar bisa meledak di waktu yang saya inginkan. Bisa saya lakukan, tapi itu membuat tubuh saya rasanya seperti dipukuli dan biasanya saya langsung teler ketika pulang kuliah. Habis energi, terkuras! Ada satu suara kecil dalam kepala saya yang berharap saya bisa ambruk atau pingsan saja, agar saya punya alasan untuk berhenti, atau melarikan diri dari kenyataan. Agar saya punya alasan untuk meminta perhatian.
Tapi bagaimanapun juga saya tidak bisa mengklaim kalau saya ini sendirian dan tidak diperhatikan. Di tengah semua kekacauan ini, teman-teman yang dari luar kota sedang banyak berkunjung ke Jogja. Dalam beberapa minggu ini saya jadi banyak bermain dan bersenang-senang. Menonton film di bioskop, karaoke, makan di tempat-tempat yang baru, ngobrol, dan bermain sampai tengah malam. Berapa tahun sudah saya nggak main dan bersenang-senang dengan serombongan teman-teman wanita dan tertawa-tawa sampai tersedak.
Saya diingatkan bahwa ada cara bersenang-senang yang sudah lama tidak saya rasakan, karena rasa-rasanya beberapa bulan ini saya terisolasi dalam suasana yang terasa begitu menekan dan muram. Jadi saya bersyukur, bahwa di tengah semua kemuraman dan situasi yang menekan ini, saya terus ditemani.
Seperti dahulu pernah terjadi, kali ini Tuhan juga tidak membiarkan saya sendiri. Saya masih punya teman yang roh kudusnya menyala yang selalu datang tanpa diduga dan mengisi penuh baterai saya. Saya masih punya teman yang begitu hafal dengan karakter saya dan mengiyakan pemikiran dan keputusan aneh yang saya ambil. Saya masih bertemu dengan sahabat yang memarahi ide aneh yang saya lontarkan. Saya masih punya sahabat yang membully saya dan mengizinkan saya bermain-main dengan anaknya yang begitu bunder. Saya masih memiliki teman-teman yang memberikan saya pertimbangan yang baik dan memarahi saya karena pilihan-pilihan saya yang cenderung masokis. Saya masih punya psikolog yang walaupun menyebalkan memberi saya suatu perspektif waras. Saya masih dibela dan dieman.
Mungkin sahabat-sahabat saya ini tidak membuat saya mengambil keputusan yang berbeda karena saya memang begitu ngeyelnya. Saya mungkin masih akan kembali terjun ke lubang yang sama, dan karena saya melakukan itu dengan kesadaran, maka saya juga tidak akan berpura-pura menjadi korban. Tapi paling tidak, selama ada mereka, saya berani untuk terjun tanpa perlu berpikir panjang. Saya bisa terjun tanpa takut saya jatuh, terempas, dan remuk. Saya bisa terjun dan remuk sesuka saya, karena ada mereka semua. Orang-orang yang akan selalu ada dan menemani saya mengumpulkan serpih, menyusun bagian-bagiannya, dan mengelemnya lagi satu demi satu.
Semoga mereka belum bosan dengan rutinitas ini...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith