Kamu Suci dan Aku Penuh Busa

Masih gelisahkah kamu? Aku di sini masih mencari. Entah kenapa begitu caraku menyembuhkan diiri. Ketika gelisah dan sakit masih terasa mengganggu, aku hanya bisa terus mencari. Bagiku, pemahaman adalah kesembuhan. Memahamiku, memahamimu, atau berdamai dengan pemahamanku tentangmu, memhami apa yang sudah terjadi.
Aku tau kamu tidak suka dibicarakan, tapi kali ini aku harus berbicara. Berbicara membuat pikiranku ini tertata dan terkadang, bertemu dengan orang yang tepat, membuatku bisa menemukan cara baru untukku bisa melihat.
Berbulan aku mencoba membaca apa yang kamu mau dan aku berjalan di atas imaji atas kehendakmu. Aku tidak berbicara, aku berjalan dalam diam, karena dalam benakku itu yang kamu suka. Sampai saat ini, ternyata masih tidak mudah untuk lepas dari garis yang aku buat. Kamu masih menjadi superego yang terasa menjerat kuat. 
Di sisi lain, tidak mensyukurimu akan menjadi ketidakadilan yang aku jatuhkan pada diriku sendiri. Kehilangan ini menjadi suatu hal yang aku sesali. Kehilangan teman dengan siapa aku bisa berbicara berjam-jam akan banyak hal yang menyenangkan. Berbicara denganmu yang selalu bisa membuatku tertawa. Becanda denganmu itu terasa becanda pada titik yang tidak aku bayangkan akan bisa aku dapatkan dengan orang lain. Kita, dulu, bisa sekadar menertawakan huruf dalam kata. Namun denganmu pula, aku bisa berdiri, sendiri. Tidak ada lagi rewel dan mencari-cari obat penenang di luar sana. Yah... itu memang apa yang kamu lakukan kan? Membentuk manusia.
Aku tidak pecah seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Entah kenapa, hidupku bisa terus berjalan dengan kualitas yang sama baiknya, bahkan mungkin lebih baik di beberapa sisi. Namun, dibilang mulus tanpa masalah, itu juga tidak. 
Kehilanganmu membawa akibat lebih luas dari yang bisa kubayangkan. Ada kemarahan yang tidak bisa kupahami pada awalnya, dan aku marah pada banyak orang. Marah pada setiap orang yang kurasa membawa kemunafikan. Menyatakan kebenaran, tapi apa kenyataan yang kutemukan di baliknya. Dan aku... masih berada di tempat di mana aku seharusnya percaya. Berdiri untuk mendengarkan kalian, masih membawa rasa muak dan keputusasaan. Aku belum bisa berdamai dengan itu.
Aku masih bertanya, setidak paham apa kamu dengan apa yang sudah terjadi. Aku, dalam diriku, sudah menghadapimu dengan semua kesungguhan yang aku punya. Semua yang sudah terjadi, adalah kesungguhan dari diriku. Apa yang aku katakan, apa yang aku lakukan, mengikuti aturan-aturan yang kamu tetapkan, membuka apa yang seharusnya aku sembunyikan, ya... itu kesungguhanku menghadapimu. Itu saja...
Hingga dalam perjalanan ini, seorang teman berkata bahwa kalimat yang sudah kamu nyatakan itu adalah kalimat yang dari seorang yang hidupnya setengah-setengah. begini kutipannya, "le donga kurang akeh, le nakal kurang jero, le bajing kurang nandes, le kekancan kurang tulus, le urip kurang tenan."
Mau tidak mau, aku kembali mengingatmu. Mengingat semua sumpah serapah yang kamu jatuhkan pada dirimu sendiri, kamu yang bedebah, kamu yang bajingan. Rasanya adalah salahku jika pada akhirnya ada apa-apa, toh aku seharusnya tau kamu bajingan sejak awal. Tapi bajinganmu itu memang kurang nandes. Aku hidup dengan lebih banyak bajingan sebelumnya, daripada mereka, kamu suci, bahkan setelah apa yang kamu minta, kamu masih suci.
Di sisi lain, aku ini merasa hidupmu juga kurang tenan. Tau seberapa banyak keluhan dan ketidaknyamanan yang aku dengar tentang kehidupan yang kamu jalani? Tau bahwa caramu berbicara itu terasa menggapai-gapai, seakan kamu terjerat dan mencari jalan keluar? Yah... seperti yang kamu pernah bilang, pikiranku itu urusanku kan tapinya... Jadi ya biarkan ini menjadi urusanku, walau dalam mengatakan ini rasanya masih ingin meledak marah.
Jadi begitu, aku masih belajar memahami, aku masih masih menenangkan diriku sendiri. Mencari di mana benarku dan mencari di mana salahku. Aku masih mencari jalan untuk menyalahkanmu. Ingat, di sini kamu yang suci dan aku penuh busa. Masih berdoa dan berharap kemarahan, kesedihan, dan kehilangan ini mencapai ujungnya. Dan baru saja ketika blogmu pun sudah tidak bisa aku akses, ternyata masih sesedih ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith