Catatan Harian Chindo-Agency

Jumat, 5 September 2025


Sudah seminggu sejak 28 Agustus kemarin. Situasi rasanya sudah berhasil dideeskalasi. Tidak lagi terdengar ada demo besar yang sampai membuat adanya kebakaran atau penjarahan. Rasanya semua pihak bekerja sama untuk menurunkan tensi. Netizen saling mengingatkan, DPR juga sudah mulai merespon berbagai tuntutan masyarakat, bahkan kemarin sudah secara resmi menerima perwakilan rakyat yang diwakilkan oleh beberapa influencer.

Tentu keadaan tidak reda semudah itu. Masih ada beberapa anggota pemerintah yang melakukan blunder susulan dengan pernyataan kontroversial, lalu klarifikasi. Ada hoax dan isu baru di masyarakat, seperti isu penggunaan warna pink yang tiba-tiba saja jadi polemik. Sesuatu yang bukannya tidak diduga sebelumnya. Semakin berjalannya waktu, maka kondisi akan semakin terfragmentasi kupikir.

Dari banyak hal yang terjadi, untukku yang menarik adalah pada beberapa demo terakhir, aparat melakukan pendekatan yang berbeda. Seperti di Jepara dan di Kalimantan Selatan. Di Jepara, mahasiswa diterima di kator polisi oleh Kapolresnya, dan dipersilakan masuk. Bahkan ada seorang Polwan yang menyambut dan menjadi MC seperti di acara-acara kawinan.

Pilihan itu selalu ada. Seperti yang dikatakan oleh Made Supriatma dalam postingan facebooknya pada 31 Agustus yang lalu,

Rakyat tidak bodoh. Rakyat adalah 'agency' yang punya pikiran dan mampu membuat keputusan. Dan keputusan mereka sekarang ini adalah memberontak melawan sistem arogan yang tidak adil. Mereka melawan artis-artis dan pengusaha yang mendominasi DPR—yang sama sekali tidak mewakili mereka; yang hanya bisa menari-nari dan mendapat tunjangan besar sementara hidupnya dibayari rakyat.

Agency. Rakyat, aparat, DPR. Pada dasarnya kita semua memiliki agency untuk membuat keputusan kita sendiri. Ketika pemerintah pusat mengkomandokan untuk bertindak tegas, aparat selalu punya agency dan kehendak bebas untuk membuat keputusan mereka sendiri dan mengambil cara yang berbeda untuk menghadapi situasi yang bisa jadi sama. Sama seperti rakyatnya juga memiliki pikiran dan keputusan bebas untuk bertindak macam apa dalam situasi seperti ini.

Waktu 1998 terjadi, aku menghadapi situasi yang terjadi dari sudut pandang anak SD dan tidak ada informasi sebanyak sekarang. Saat ini kupikir situasinya berbeda. Ada banyak teman sesama Chindo yang ternyata tidak terdiam dalam ketakutannya atau mencari selamat sendiri. Banyak yang memiliki keresahan yang sama dan ikut bersuara kali ini. Bahkan dari pandangan Chindo sendiri, kami merasa kagum ketika orangtua atau orang-orang di sekitar kami dari generasi yang lebih tua yang ternyata ikut bersuara untuk Indonesia dengan semua trauma yang dimiliki.

Namun, sampai saat ini yang masih tidak bisa aku pahami adalah pemerintah pusat dengan semua idenya akan dalang asing yang tidak ingin Indonesia bangkit. Aku tidak bilang 100% tidak mungkin itu terjadi, bisa saja demikian, ada informasi intelijen yang mungkin mereka punya tapi aku tidak miliki. Namun, rasanya bagiku, dan bagi banyak orang lain yang aku dengarkan, masalahnya itu jelas. Pemerintah Indonesia ini terlalu lama mengabaikan suara rakyat. Terlalu lama bersenang-senang dan bagi-bagi kue antar mereka sendiri dan tidak melihat di masyarakat ini sedang terjadi apa.  

Seruan yang sudah lama dinyatakan dengan demo damai pelemahan KPK, demo lagi Gejayan Memanggil, lalu masih ada lagi Indonesia Gelap yang dianggap ditunggangi asing. Dan hanya itu yang dilihat, asing, orang yang tidak mau Indonesia damai, adu domba. Tanpa mau memperbaiki proses legislasi yang senang sekali dilakukan secara mendadak dan diam-diam. Membiarkan koruptor kembali menduduki jabatan publik, undang-undang yang tidak jelas keberpihakannya, komunkasi yang buruk dan tidak transparan. Dan banyak lagi daftarnya yang membuat frustasinya semakin panjang.

Salah satu hal yang mengherankan untukku, dan sebenarnya banyak ditemui pada sistem atau lembaga dengan gender order maskulin adalah senang sekali menjaga nama baik. Apa yang dikedepankan adalah nama baik keluar dengan menampilkan citra seakan-akan tidak ada masalah. Seperti tidak ada pengakuan akan kerusuhan 1965 atau 1998, dalihnya adalah nama baik dengan menyangkal apa yang terjadi.

Bukankah nama baik malah akan diperoleh ketika ada tindakan benar yang dilakukan ketika terjadi kejahatan? Bukankah nama baik itu bisa didapatkan dengan adanya penegakan hukum yang baik dan perlindungan HAM? Kenapa malah yang menuntut kebaikan dianggap sebagai penjahatnya? Atau jangan-jangan nama baik itu bukan untuk negara, bukan untuk nama baik bangsa? Apakah menjaga nama itu baik itu dilakukan untuk menjaga nama baik pelakunya agar tetap duduk di kekuasaan tanpa terusik?

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gajah dalam Ingatan

Membaca Sejarah Cina di Indonesia

Narasi dan Identitas