Postingan

Conclave dan aku yang suka mengamuk

Disclaimer: Bukan review film tapi spoiler. Sebagai orang yang senang sekali dengan film Spotlight, suka juga dengan Two Pope, saya penasaran dengan film Conclave. Apalagi setelah mendengar review dari Cine Crib, jadi langsung memantapkan diri untuk nonton walau mata masih burem banget waktu itu. Habis pendarahan. Jadinya nonton filmnya sama setengah burem dan tidak yakin teksnya kebaca. Ternyata sesuai dugaan, saya senang banget sama filmnya. Rasanya ada orang dengan posisi yang sama dengan saya dalam memandang gereja dan mempertontonkannya di layar lebar. Conclave yang menceritakan tentang bagaimana pemilihan Paus dengan semua intrik politiknya. Bagaimana ada Kardinal yang sudah menjadi calon kuat, ternyata sudah memiliki anak dengan seorang suster. Ada lagi Kardinal yang memiliki pandangan konservatif yang ingin memerangi Islam, apalagi ada pembomban yang dilakukan oleh teroris pada saat yang sama, dan tentu saja digambarkan dilakukan oleh teroris Islam. Kardinal lain memang ber...

Narasi dan Identitas

Sudah beberapa bulan ini saya kepikiran dengan bagaimana narasi terkait dengan identitas yang kita miliki. Hal ini terasa sekali ketika saya mengerjakan tulisan dan banyak membaca mengenai pembantaian orang keturunan Cina yang terjadi di tahun 1947 di Indonesia. Cerita-cerita itu rasanya memengaruhi saya secara pribadi. Apa yang terjadi pada orang-orang itu, bisa juga terjadi pada saya sebagai pemilik identitas yang sama, orang keturunan Cina. Apalagi sejarah di Indonesia selama ini melegitimasi bahwa hal itu berulang kali terjadi. Kegelisahan yang mirip terjadi lagi ketika membaca buku dari Ester Lianawati, Dari Rahim ini Aku Bicara. Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana wacana-wacana yang membentuk perempuan bisa terjadi sedemikian rupa sampai saat ini dan bagaimana seluruh perempuan menjadi korban dari wacana dominasi tersebut. Rasanya menyebalkan dan frustasi sekali kita membaca dan mengetahui adanya ketimpangan yang jelas terlihat, tapi terasa tidak ada tindakan yang bisa di...

Membaca Sejarah Cina di Indonesia

Beberapa bulan terakhir ini saya sedang banyak bergelut dengan kasus pembantaian massal orang keturunan Cina di Indonesia pada periode Agresi Militer Belanda di tahun 1946-1948. Dari salah satu sumber yang saya baca, TIonghoa dalam Pusaran Politik karya dari Benny G. Setiono, dia menceritakan bagaimana kejadian pembantaian tersebut dengan cukup mendetail. Tempat mana saja terjadi pembakaran pabrik, rumah, ataupun pemukiman penduduk sipil. Berapa perkiraan kerugian yang terjadi akibat keputusan untuk bumi hangus di masa itu. Berapa banyak orang Tionghoa yang tinggal di satu kota, dan apa yang terjadi pada mereka. Seperti di kota Salatiga, pada waktu itu ada 3000 orang keturunan Cina yang tinggal di kota tersebut, dan tersisa 12 orang. Sampai yang mengerikan adalah bagaimana penulis dari buku tersebut menceritakan dengan mendetail bagaimana pembunuhan yang terjadi.  Orang-orang tionghoa banyak yang dikumpulkan dan dibawa ke hutan, diminta untuk menggali lubang, dan dibunuh bersama di...

Duapuluh dua buku yang lalu

 "Ternyata aku sudah rewel bodo sama kamu sejak 22 buku yang lalu." Ketikku sambil tersenyum. Send!  Kukirimkan teks itu ke Adi, kekasihku sejak sembilan tahun yang lalu.  Sore tadi aku sedang sumpek di kamar yang sudah kutinggali sejak 30 tahun yang lalu. Rumah masa kecilku. Ya paling tidak aku mengusahakan untuk pulang satu bulan sekali untuk mengunjungi Mama dan Papa. Rasanya pulang menjadi berbeda ketika kita sudah semakin dewasa. Mungkin hanya untukku, tentu saja tidak bisa disamaratakan untuk semua orang. Untukku pulang tidak lagi karena aku rindu rumah, mencari tambahan uang saku atau perbaikan gizi. Di satu titik, kebutuhan giziku sudah bisa kuasup dengan berlebihan di tempat rantau ini.  Tapi pulang juga tidak menjadi kewajiban yang harus aku tunaikan. Memastikan kedua orang tua itu senang, sehat, dan hidup dengan baik. Membuat lebih mudah hari-hari mereka selama beberapa hari, atau malah membuat repot mereka dengan permintaan masakan yang sama sejak bertahu...

Sakit, Nyeri, dan Trauma

Disclaimer:  Nyeri:  a  berasa sakit (seperti ditusuk-tusuk jarum atau dijepit pada bagian tubuh); rasa yang menimbulkan penderitaan n Psi  pengalaman fisik dan emosional yang diakibatkan karena luka pada jaringan Sakit:  Berasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu (demam, sakit perut, dan sebagainya) Trauma:  n  keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani n  luka pada tubuh atau fisik Sumber:  KBBI VI Daring (kemdikbud.go.id) Tulisan ini akan menggunakan pemahaman saya sendiri mengenai sakit, nyeri, dan trauma. Sakit saya maknai sebagai kondisi yang tidak seimbang di badan, bisa jadi kita tidak merasakan sesuatu yang signifikan dalam keseharian, seperti sakit diabetes misalnya. Tidak ada rasa nyeri yang dirasakan di situ, tapi tubuh juga tidak berada dalam kondisi seimbang. Bisa jadi kita tahu ada ketidakseimbang...

Tubuh yang berubah dan bagaimana kita menerimanya

Gambar
Kemarin adalah untuk pertama kalinya aku menjalani prosedur suntik mata di RS Dr. Yap. Suntik mata itu ternyata beneran suntik, matanya ditusuk gitu. Walau ternyata proses sebenarnya tidak semenakutkan itu sih. Setelah antri di pendaftaran, lalu antri lagi di persiapan one day care. Di situ pasien di panggil bersama keluarga untuk tanda tangan inform consent, dilakukan pemeriksaan tekanan darah, tekanan mata, dan diberi gelang berwarna pink. Biar tidak tertukar sama orang lain. Di kening di atas mata yang akan dilakukan tindakan juga dikasih tanda biar tidak salah suntik nanti dokternya.  Kemudian setelah menunggu lama sekali dan baru dilakukan tindakan. Pasien dipanggil satu demi satu, diajak masuk ke ruang tunggu ruang operasi yang semi steril tulisannya. Sebelumnya semua pasian diminta melepaskan alas kaki di luar ruangan.  Kami sekitar 5 orang diminta duduk dulu dan diabsen satu demi satu. Ketika ada satu nama yang ternyata belum ada, semua perawat jadi bingung dan mencari...

Membuat batas

Aku ini termasuk orang yang terbuka, terbuka banget malah sama apa yang sudah dialami dan terjadi dalam hidup. Apalagi untuk orang-orang yang sering main sama aku, pasti tahu bahkan tanpa diminta aku  akan update sendiri untuk kondisi kehidupan yang dialami. Termasuk juga untuk perkembangan terakhir kesehatan ini. Ke dokter aja aku bisa laporan ke beberapa orang, buat hiburan. Tapi yang bikin aku biasanya jadi malas dan menarik diri adalah reaksi dari orang-orang yang heboh, kaget, lalu menyarankan banyak hal. Walau terbuka, aku tu canggung menghadapi emosi, apalagi malah jadi aku yang perlu memberikan ketenangan ke orang lain. Respon ini menjadi salah satu alasanku enggan periksa gula ke apotek. Aku sudah tahu ni hasil pemeriksaan akan tinggi, yang aku engga siap adalah reaksi kaget dari orang yang memeriksa dan jadi merasa harus menjelaskan apa yang sudah aku lakukan, atau memang hal itu sudah terbiasa terjadi.  Mulai minum obat ini juga jadi perlu ancang-ancang kalau pergi ...