Catatan Harian Chindo-Demo
Senin, 1 September 2025
Baru empat hari dari kejadian Affan yang dilindas oleh polisi,
tapi rasanya sudah berlangsung lama sekali. Hari-hari setelahnya saya habiskan
untuk memantau berita di internet. Setelah malam itu demo berlangsung di tengah
hujan sampai pagi, lalu berlanjut ke keesokan harinya di semakin banyak tempat,
lalu berlanjut lagi sampai hari ini.
Hari ini sudah 7 orang yang tercatat pergi. Entah yang tidak
tercatat. Satu mahasiswa dari Yogyakarta yang katanya lehernya patah dan
tubuhnya penuh luka pukulan. Tidak bisa saya bayangkan menjadi orangtuanya dan
menerima jasad anak mereka yang penuh luka. Banyak gedung sudah terbakar,
mobil, halte. Museum dijarah. Rumah empat orang pejabat dijarah.
Live Tiktok yang selama ini menjadi alat untuk merekam kenyataan
di lapangan mati, fiturnya hilang dari aplikasi. Menariknya, suasana di Tiktok
yang tadinya mencekam, langsung berubah total. Beranda jadi berisi konten-konten
yang tidak lagi relevan dengan kondisi Indonesia terbaru. Perlu dicari dengan
kata kunci untuk bisa menemukan postingan mengenai demo, atau kondisi terbaru berbagai
wilayah. Semoga tidak lama, karena itu juga lapangan kerja bagi banyak orang.
Obrolan menjadi semakin terasa penuh kehati-hatian.
Bagaimana jika keadaan semakin memanas? Apa yang harus dilakukan jika internet
sampai dimatikan? Alat komunikasi apa yang bisa kita gunakan jika itu sampai
terjadi? Peta-peta zona merah juga sudah dibagikan. Banyak orang yang kembali
bekerja atau sekolah dari rumah masing-masing.
Pemerintah juga sudah memberikan pernyataannya. Saya yang
sempat penuh harapan akan perubahan karena sampai terjadi peperangan seperti
ini, ternyata sekali lagi harus kecewa. Pembahasan di awal adalah tindak tegas
para perusuh. Demo ini dianggap makar dan terorisme. Rasanya apa yang kita
rasakan sebagai rakyat di bawah sini, tidak sampai di telinga mereka. Bahkan
setelah kita menggedor dengan sedemikian kerasnya sampai mengorbankan nyawa.
Tidak ada permintaan maaf, tidak ada terdengar sedikit kesadaran, bahwa apa
yang terjadi juga akibat dari tumpukan frustrasi akan kebijakan yang seenaknya.
Rasanya ini adalah frustrasi yang sudah ditumpuk sejak pelemahan
KPK. Polemik Undang-undang Cipta Kerja. Saat kita protes dan diminta melalui
jalur yang benar. Setelah dituntut di Mahkamah Konstitusi, keluar Perpres. Apa
maksudnya? Kapan kepentingan orang banyak ini didengar dan menjadi prioritas?
Dan pembagian kekuasaan di atas juga semakin terang-terangan. Politik balas
budi dengan pembengkakan kementerian. Jabatan dibagi-bagian bahkan sampai begitu
memalukan. Semua orang yang berjasa mendapat posisi, entah wakil menteri, entah
komisaris, tanpa menimbang kompetensi.
Melihat semua itu, bagaimana rakyat tidak frustrasi? Bahkan tetap
diminta untuk percaya. Percaya ketika anak-anak berjatuhan keracunan MBG,
percaya ketika hutan dibabat untuk menanam jagung, dan gagal panen. Percaya
ketika IKN tidak jelas pembangunannya. Percaya pada apa sebenarnya?
Rasa marah ini semakin saya sadari ketika melihat bagaimana
rumah Sahroni dijarah, dan ada kepuasan di sana. Ternyata yang selama ini arogan
di atas sana bisa dijangkau. Ternyata bisa dipaksa mendengar dan mendapatkan
akibat dari apa yang dia lakukan. Ternyata mereka tidak seimun itu. Rasa yang
sudah hilang ketika Tiktok mati, ketika malam harinya penjarahan kembali
terjadi, sampai ke rumah Sri Mulyani. Apakah harusnya begini? Tapi sampai
seperti ini pun, pemerintah tetap berkutat pada pemikirannya sendiri. Asing,
makar, teroris, adu domba. Tidak adakah kata kunci lain? Kebijakan yang bersih,
pemberantasan korupsi, berpihak pada rakyat, misalnya.
Namun, semua kondisi yang bikin mumet ini bagi saya, adalah
kondisi yang penuh harapan. Sebagai Chindo dengan trauma 1998, ketika melihat
sosial media. Saya diyakinkan oleh banyak orang, ini 2025. Manusianya berubah,
apa yang dulu dilakukan, sudah dipelajari, dan kita semua sudah belajar dari
sana. Peringatan untuk tidak terprovokasi, pengingat untuk warga jaga warga.
Saat masih bisa melihat live saya juga melihat orang-orang yang saling menjaga
dan mengingatkan tujuan awal semua demo ini terjadi.
Belum lagi hiburan dengan melihat postingan netijen, demo
core. Ada yang pakai kostum kuntilanak saat demo dan duduk di atas gapura, ada
yang dengan sengaja pakai gigi drakula. Orang yang menjarah di rumah Sahroni
dan malah berenang di kolamnya. Iron man Sahroni yang jadi orang miskin karena
terlihat di rumah kecil yang sederhana. Demo yang malah goda-godain tentara,
mengelitiki polisi, mencabut kumis polisi, membelai paha polisi berkuda. Ngakak
sih. Gen Z yang membuat konten betapa magernya mereka semua. Bangun saja mager,
apalagi membakar fasilitas umum.
Saya jadi diingatkan lagi, betapa banyak orang menyenangkan
di negeri ini. Bahwa orang-orangnya yang chronically online ini sudah
belajar banyak, sudah lebih pintar dan memiliki kesadaran. Generasinya sudah
berubah, dan tidak lagi bisa lagi digerakan dan diprovokasi dengan cara lama.
Penyebaran informasi juga sudah berbeda. Atau mengutip Ferry Irwandi, “Karena
senjata kita adalah otak, sesuatu yang mereka tidak punya.”
Jaga nyawa teman-teman semua. Panjang umur perjuangan!
Komentar
Posting Komentar