Cita-cita


Pertanyaan mengenai cita-cita pasti sudah sering kita dapat ketika kita masih anak-anak dan sering kita ajukan kepada anak-anak yang kita temui. Biasanya seiring dengan semakin dewasanya seseorang pertanyaan “Apa cita-citamu?” akan berganti menjadi “Mau meneruskan ke mana?” atau “Mau kerja di mana?” Jadi, apakah cita-cita itu memang hanya monopoli anak-anak semata? Rasanya memang iya.
Dari pengalaman saya sendiri, saya merasa menjadi alien karena di umur saya yang sudah tua ini rasanya hanya saya yang masih mempunyai cita-cita dibandingkan teman-teman saya. Saya ingin menulis, entah menulis apa dan di mana. Teman-teman saya ingin bekerja di perusahaan besar yang bergaji besar. Saya ingin juga si dapat gaji besar, tapi saya tidak bisa membayangkan harus bekerja di kantor, bekerja mengurusi data entah apa dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Saya tidak ingin menjadi marketing dan menjual barang yang tidak bisa saya gunakan atau menjual barang yang saya sendiri tidak mempercayai apa gunanya. Saya kakehan syarat. Dan alhamdulilah, sampai hari ini simbok saya masih mau memaklumi anaknya yang nggak umum ini.
Mungkin kalau ditanyakan pada beberapa teman saya, mereka juga tidak mau bekerja di kantor setiap hari, tidak mau menjadi marketing juga, tidak mau ketemu bos yang galak setiap hari, tidak mau berada di lingkungan yang mereka tidak suka dengan pekerjaan yang juga mereka tidak sukai, mereka sama tidak maunya seperti saya. Tapi ketika saya tanya apa yang mereka inginkan, apa yang ingin mereka lakukan, mereka juga tidak tau pengennya ngapain.
Saya sendiri merasa perjalanan saya ini tidak realistis. Saat anak-anak lain mulai bercita-cita jadi dokter, jadi pilot, saya juga sama. Saya juga mulai bercita-cita. Karena saya maniak membaca sejak SD, saya mulai ingin jadi penulis cerita. Saat orang-orang lain mulai meniti karier menuju kemapanan dan kemandirian, saya masih ingin jadi penulis cerita dan masih berjuang untuk itu.
Mulai dari Enid Blyton, STOP, Trio Detektif−saya tidak pernah bisa suka membaca Ghosebom. Kelas empat mulai membaca Agatha Christie, Sidney Sheldon, dan Jhon Ghrisam membuat saya mempunyai cita-cita baru menjadi detektif, karena semua buku tersebut menceritakan tentang detektif dan petualangan sejenis.
Saya tumbuh dengan buku-buku tersebut dan tanpa saya sadari banyak hal yang memengaruhi saya dalam membuat keputusan-keputusan besar dalam hidup saya. Saya memilih dan sejak SMP bercita-cita kuliah psikologi karena saya terkesan dengan Hercule Poirot. Detektif canggih yang bisa menentukan tersangka dari pembicaraan dan sifat-sifat mereka, Poirot berbeda dari Sherlock Holmes. Poirot lebih mengeksplorasi sifat manusia, bukan dari jejak kaki dan percikan lumpur seperti Holmes. Maka kuliah psikologilah saya.
Membaca banyak cerita tentang kehidupan dalam Chiken Soup dan tokoh-tokoh dalam buku Jhon Ghrisam yang bekerja Pro Bono, membuat saya juga tertarik untuk bekerja sosial. Sayangnya di Indonesia tidak ada gereja yang membagikan sop seperti di buku The Street Lawyer. Ketika saya dipertemukan dengan Pingit dan ke sana dua kali seminggu, rasanya khayalan saya praktek Pro Bono menjadi nyata dan impian saya dikabulkan sama Tuhan.
Dan sejujurnya, cita-cita saya ini tidak saya barengi dengan usaha yang sepadan. Tulisan yang saya produksi hanya sebatas cerita-cerita setengah jadi di buku pelajaran waktu SMP, puisi-puisi saat saya jatuh cinta, dan buku harian yang saya tulisi dengan setia dari tahun 1999. Di luar itu saya tidak pernah jadi pengurus mading, tidak jadi pengurus majalah sekolah, tidak pernah kirim artikel atau cerpen ke majalah. Saya hanya sekadar punya cita-cita.
Menyadari bahwa menulis itu sulit, menyadari bahwa membuat sebuah kasus pembunuhan di ruang tertutup itu rumit, saya tidak tahu beda M-16 dan AK-47, saya tidak tau kapan mayat akan menjadi kaku, saya tidak tau apakah kapalan di jari tengah itu menunjukkan orang tersebut berprofesi sebagai petenis atau penjahit. Karena saya banyak tidak taunya maka ada satu titik di mana saya menggeser cita-cita saya dari menjadi penulis menjadi seorang editor. Saya pikir saya bisa membaca banyak cerita dan agak menulis lah. Dan thanks God, teman SMA saya membuka penerbitan dan saya bisa menjadi editor. Satu cita-cita tercapai.
Seiring berjalannya waktu, ada sedikit-sedikit celah yang membuat saya menulis. Menulis tugas akhir, jelas. Lalu ada note facebook tempat saya bisa membuat tulisan saya dibaca orang, ada juga blog. Pada awalnya saya nggak mau tulisan dan blog saya dibaca orang lain, rasanya mengerikan ada orang yang membaca tulisan saya. Saya nggak siap dikritik, bahkan oleh dosen pembimbing saya, makanya saya benci bimbingan skripsi pada awalnya.
Tapi, ada kesempatan saya menulis tandem dengan teman-teman dan tulisan itu terbit di majalah Utusan, dan ada satu artikel lain yang saya tulis dan terbit juga. Masih banyak diralat, masih dengan bimbingan banyak orang. Tapi saya mulai berani mengakui bahwa saya penulisnya. Baik atau buruk, itu tulisan saya.
Kemudian ada satu kesempatan pelatihan menulis gratis yang diadakan Kompas yang membuat saya banyak belajar. Pada awal muncul nama-nama peserta, saya sudah putus asa. Nama saya tidak muncul. Tapii lagi, 3 hari sebelum pelatihan gelombang kedua saya dipanggil untuk bergabung. Rasanya waktu itu saya dapat restu dari Tuhan.
Di pelatihan itu saya bodoh sendiri, hampir semua pesertanya anggota pers mahasiswa, anak-anak komunikasi dan sudah sering menulis. Mereka sudah punya dasar. Saat membicarakan mengenai sembilan elemen jurnalisme dari Bill Kovach, saya nggak tau sama sekali itu apa. Tapi, dari para pembicara dan pembimbing saya disadarkan, bahwa menulis itu proses. Tidak ada orang yang bisa langsung menulis dengan bagus. Semuanya juga belajar. Menulis sajalah, tidak usah takut dengan pendapat orang lain dulu, kalau belum-belum sudah takut, kapan menulisnya.
Dari situ saya mulai mencoba mempublikasikan tulisan saya lewat blog ini. Saya memperbaiki beberapa hal dan mulailah saya mengisi ini lebih rutin dan berani nge-share lewat twitter dan Facebook. Salah satu hal yang membuat saya mulai berani untuk berbagi adalah blog teman saya ploceusmanyar. Blog itu membuat saya melihat bahwa memproduksi tulisan yang keren itu bukan suatu kondisi tanpa proses.
Saya nggak tau sampai kapan saya bisa terus bertahan untuk berjalan di sini. Ini bukannya pilihan tanpa konsekuensi. Ada saat di mana saya juga ingin ganti hape saya yang menjadi hape yang lebih smart, ada saat di mana saya pengen lebih sering makan pasta, lebih tidak khawatir berbelanja atau siap-siap mudik kalau kehabisan uang. Sudah saatnya saya berdiri sendiri.
Saya tidak tau apakah ini benar atau salah, saya hanya tau kalau jalur ini tidak biasa. Saya tidak tau apakah saya akan benar-benar bisa menulis buku. Tapi seperti kata seseorang, “Kita tidak akan mendapatkan sesuatu yang tidak pernah kita impikan.” Saya harap saya masih punya waktu untuk bermimpi.

Komentar

  1. Wohohoh... Tyt kita sm Nye.. Wkt kcl aku jg suka baca buku2 gituan, dan bermimpilah ak jd detektif.. Tp tyt rada susyah jg jd detektip ky di novel2 klo di negri ini.. Jdilah ak realistis, dan banting stir ke psikologi :Dtapiii, passionku tetep seni.. Sesuatu yg ga mkn kuingkari.. Utg psikologi msh bs mewadahi.. Di akhir kuliahku, yg notabene udh hmpir jd psikolog beneran, msh sj ak mencari.. Merenung dan berpikir ulang, sungguhkah ini tempat yg tepat untukku? Pencarian jati diri rupanya PR seumur hidp dr Tuhan.. Selamat mencari Nye.. Mari mencari bersama.. :)

    BalasHapus
  2. Wohohoh... Tyt kita sm Nye.. Wkt kcl aku jg suka baca buku2 gituan, dan bermimpilah ak jd detektif.. Tp tyt rada susyah jg jd detektip ky di novel2 klo di negri ini.. Jdilah ak realistis, dan banting stir ke psikologi :Dtapiii, passionku tetep seni.. Sesuatu yg ga mkn kuingkari.. Utg psikologi msh bs mewadahi.. Di akhir kuliahku, yg notabene udh hmpir jd psikolog beneran, msh sj ak mencari.. Merenung dan berpikir ulang, sungguhkah ini tempat yg tepat untukku? Pencarian jati diri rupanya PR seumur hidp dr Tuhan.. Selamat mencari Nye.. Mari mencari bersama.. :)

    BalasHapus
  3. kalo saya sudah bosan mencari...saya cuma pengen dicari...dicari Tuhan...hahahaha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith