Stereotipe


Seminggu ini saya menggobrol dengan dua orang teman yang kebetulan adalah Frater dan kebetulan pula topik yang diangkat adalah masalah stereotipe. Stereotipe yang dikenakan kepada para frater dan biarawan pada umumnya.
Seorang teman frater saya secara jadwal seharusnya tahbisan bulan Juni ini, tetapi karena tesis yang belum selesai dikerjakan, maka jadwalnya harus mundur hingga entah kapan. Tergantung keputusan dari atasan. Untuk mengisi liburannya, Mas Frater ini kemudian jalan-jalan ke Flores. Saat berbicara dengan seorang umat tentang kepergiannya ke Flores tanggapan yang didapatnya adalah, “Frater dihukum ya?”
Seorang teman Frater yang lain juga bercerita dengan ketidaknyamannannya dengan perlakuan orang-orang yang memberikan penghormatan yang berlebihan kepadanya karena statusnya sebagai Frater dan sebentar lagi Romo. Penghormatan yang dirasa menempatkannya sebagai manusia dengan level yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya.
Tidak bisa disangkal bahwa kita sering tidak bisa terlepas dari stereotipe yang kita miliki tentang seseorang. Saya sendiri sebagai orang Cina juga merasakan berjalan dengan stereotipe yang menempel pada diri saya-terkadang sampai membuat saya sendiri percaya bahwa saya memang seperti yang distereotipekan-dan juga berteman dengan para Frater ternyata tidak juga jadi bebas stereotipe dan harapan sebagai umat kepada teman-teman saya yang frater ini.
Sudah menjadi sesuatu yang umum dibicarakan di kalangan umat kalau ada seorang Romo yang dipindahtugaskan ke tempat yang terpencil kemungkinan besar karena melakukan kesalahan, biasanya terkait dengan wanita, dan dipindahkan. Entah di-Kalimantankan, di-Floreskan, atau di-Papuakan. Pokoknya dipindahtugaskan ke tempat terpencil atau diasingkan. Kalau saya nggak berteman sama Mas Frater itu, mungkin saya juga akan mengambil kesimpulan yang sama. Tahbisan ditunda dan tiba-tiba ia berangkat ke Flores, maka kesimpulan umumnya dia pasti tidak beres sebagai biarawan.
Di sisi lain, sebagai umat, saya juga ada ekspektasi yang saya kenakan kepada mereka ini. Saya juga ingin seorang Romo yang ramah tamah, baik hati, tidak sombong, suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Pokoknya lebih hebat daripada Pramuka Indonesia. Saya sendiri pernah mengalami gegar persepsi ketika pertama kali mengenal mereka sebagai manusia dan tidak hanya mengenalnya sebagai seorang yang memimpin misa di altar yang komunikasinya terjadi hanya saat homili. Ternyata mereka manusia biasa yang rutinitasnya juga seperti manusia biasa, yang juga bisa emosi seperti manusia biasa. Mereka juga sombong seperti manusia yang lain, bisa jatuh cinta juga, bisa khilaf juga, suka mimik nakal juga, suka gadget juga, suka gaplek juga, suka bola juga, suka rokok juga, suka nge-bully juga.
Pernah saya membaca suatu surat pembaca di Majalah Hidup yang mempermasalahkan Romo yang merokok saat kunjungan di rumah pembaca tersebut. Di rumah itu para penghuninya tidak ada yang merokok. Pembaca ini merasa keberatan tetapi tidak enak untuk melarang karena yang meminta izin adalah Romo, dan dalam surat pembaca tersebut ia juga menyarankan agar para Romo itu tidak merokok. (Apalagi kalau dimintai rokok sama Romonya, pasti pembaca ini tambah shock.)
Dari sini saya melihat bahwa ada perasaan bahwa Romo adalah seorang yang diistimewakan dengan adanya ketidakmampuan untuk menolak permintaan Romo tersebut untuk merokok. Di sisi lain, ada juga tuntutan sebagai umat tentang ideal Romo di mana sebaiknya Romo itu tidak merokok.
Perlakuan yang kita berikan kepada para biarawan ini mungkin sebagian besar juga terpengaruh dari kakek dan nenek kita di masa lalu. Para biarawan yang masih dikaitkan dengan kekuasaan Belanda yang jelas diposisikan lebih tinggi oleh orang-orang di daerah jajahannya. Perlakuan penuh hormat yang masih menurun sampai sekarang bahkan ketika yang jadi Romo adalah anak tetangga yang dulu pernah mengejar layangan sama-sama. Tapi mungkin juga tidak sih… Ga yakin juga.
Walaupun diposisikan di tempat yang tinggi seperti itu, ketika berembus kabar yang agak miring sedikit tentang kaum biarawan itu maka umat juga akan bersemangat untuk menggosipkan. Saat saya ke Lampung beberapa waktu yang lalu, saat itu sedang ada gosip tentang seorang Romo yang memiliki anak. Gosip itu tampaknya sudah sangat santer berembus dan membuat suasana menjadi tidak kondusif sehingga pada suatu misa Minggu pagi, Romo yang memimpin misa (bukan Romo yang digosipkan) berkotbah, kira-kira begini bunyinya, “Kualitas seorang Romo tidak berpengaruh terhadap kualitas Tuhan yang hadir.” Kotbah yang malam itu juga menjadi pembicaraan baru lagi di rumah.
Stereotipe sendiri sebenarnya adalah hal yang sangat tidak adil untuk dikenakan kepada seseorang. Hanya karena ada seorang Romo yang dipindahkan karena skandal, tidak berarti perpindahan ke tempat terpencil yang lain juga merupakan suatu hukuman atau pengasingan. Apalagi area tugas para biarawan ini seringkali meliputi daerah misi yang jauh dari peradaban.
Seperti manusia pada umumnya yang berbeda-beda dan juga memiliki kelemahan yang berbeda-beda juga, kita tidak bisa memukul rata para biarawan itu dengan stereotipe dan pandangan ideal kita sendiri. Ada Romo yang memang sungguh sangat baik dan rendah hati, yang kartu nama saja ngeprint pakai kalender bekas dan dipotong-potong sendiri. Padahal beliau terkenal. Ke mana-mana naik sepeda, kalau bantuin orang nggak setengah-setengah. Keren banget lah pokoknya. Di sisi lain ada juga yang kebalikannya, rewel, galak, cerewet, punya pacar, khotbahnya bikin bosen, dst.
Romo Sindhu dalam Majalah Utusan menulis,
“Jangan kita mengira, para uskup dan imam adalah manusia yang serba kuat dan hebat. Mereka adalah manusia biasa yang lemah seperti kita, karena itu jangan lupa mendoakan mereka. “Kami, para uskup dan imam, membutuhkan doa-doa Anda semua, karena kami pun dapat digoda dan tergoda,” seru Paus Fransiskus.”
Lebih lanjut, Paus Fransiskus juga menyerukan agar umat Katolik mendoakan para uskup dan para imam tersebut.
“Berdoalah, berdoalah untuk para uskup dan imam. Kami sungguh membutuhkan doa-doa Anda, agar kami berdiri kukuh dan setia, menjadi orang-orang yang mengawasi kawanan umat dan diri kami sendiri, orang yang waspada akan dirinya, sehingga hati kami selalu dapat berpaling kepada umat. Berdoalah pula, agar Tuhan selalu membela kami melawan godaan, sebab jika kami pergi menuju jalan harta benda dan kekayaan, jika kami pergi menuju ke kesia-siaan, kami akan menjadi serigala dan bukan lagi gembala. Berdoalah untuk itu semua. Bacalah dan berdoalah.” (Utusan, No. 07 tahun ke-63, Juli 2013)
Jadi yang mari sama-sama saling berlaku adil. Jika para Romo ini tidak ingin dikenal dan diperlakukan hanya berdasarkan stereotipe, maka leburkanlah jarak dengan umat. Relasi itu bisa menghilangkan prasangka, tapi juga bisa menimbulkan prasangka baru juga sih. Jangan bersembunyi di balik tembok eksklusifitas yang malah semakin menguatkan stereotipe bahwa biarawan itu dewa yang serba benar karena stereotipe datang dari dua belah pihak. 
Umat sendiri juga berlakulah yang adil terhadap Romonya dan tidak menempatkan mereka ke dalam posisi yang semakin sulit. Tidak sekadar tidak suka jika ada biarawan yang melanggar janjinya sendiri, menjual pelayanan, membatasi kegiatan umat di gereja yang dibangun dengan keringat umat-bukan keringat Romonya, cuma jual omongan tanpa ada perbuatan yang signifikan, hidup mewah saat umatnya susah. Tidak hanya menghormati di depan dan membicarakan di belakang. Tegurlah kalau ada yang tidak benar. Laporkanlah kepada yang berwenang ketika ada penyimpangan. Berikan juga dukungan, bantuan, dan pastinya mendoakan seperti yang dimintakan oleh bapak Paus.

Doa Seorang Imam Pada Minggu Malam             
Michel Quoist

Malam ini, saya sendirian Tuhan, perlahan suara bising mereda di gereja.
Umat telah pergi, dan saya kembali ke rumah, sendiri.
Aku berpapasan dengan mereka yang kembali berjalan.
Aku lewati bioskop, sedang penonton berhambur seusai pertunjukan.
Aku bertabrakan dengan anak-anak bermain di jalanan, anak-anak Tuhan, anak-anak milik orang, dan tak pernah jadi milikku sendiri.
Aku disini Tuhan, sendiri, sunyi, menyesah diriku sepi menekan aku.

Tuhan, umurku sudah 32 tahun.
aku memiliki tubuh seperti orang lain, siap bekerja, hati ditakdirkan mencinta, tetapi segalanya kukembalikan kepadaMu, memang Engkau membutuhkannya.-

Aku telah memberikan segalanya kepadaMu, tetapi betapa berat Tuhan!
Betapa sukar membela diri, lebih mudah menyerahkan diri kepada orang lain.
Betapa sukar mencintai semua orang, sambil tak memilikinya.
Betapa sukar berpegang tangan, sambil tak menuntutnya untuk diri semata.-
Betapa sukarnya bahwa setelah mereka kuilhami cinta, aku harus menyerahkan seutuhnya bagiMu.
Betapa sukar menjadi tak berarti sesuatupun bagi setiap orang, sembari menjadi segala-galanya bagi mereka.
Betapa sukar menjadi seperti orang lain, berada di antara mereka dan bersatu dengan mereka.
Betapa sukar untuk senantiasa memberi tanpa boleh berhak menerima.
Betapa sukar mencari yang hilang, sambil tak diperhatikan
seorangpun.
Betapa sukar setelah menderita kedosaan orang lain, kita diharap mesti mendengar mereka dengan pengertian.
Betapa sukar diberitahu tentang segala rahasia, sambil sendiri tak kuasa menyelesaikannya.
Betapa sukar menopang yang lemah, sambil tak boleh ditantang sesuatupun.
Betapa sukar bersendiri, sendiri diantara manusia, sendiri di tengah dunia, sendiri menanggung derita, kematian dan dosa.

(sumber: http://www.pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Doa&table=issi&id=77)




Zaman berubah dan berkembang, tugas dan kewajiban sebagai Romo saat ini juga pastinya semakin rumit dibandingkan beberapa dekade yang lalu. Selamat tahbisan dan selamat berjuang semuanya! AMDG.



Untuk “Para Sahabat”
25 Juli 2013




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith