Selembar Akte


Yesus pernah bilang begini lewat Matius 6:26, “Pandanglah burung-burung di langit yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di surga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?”
Begitulah kata Yesus kala itu, dan saya percaya itu. Ada banyak teman dan ada banyak orang juga yang percaya dan berbagi cerita dengan saya mengenai betapa Tuhan itu selalu ada dan selalu menjaga. Ketika besok harus bayar sekolah untuk anak, pasti ada rezeki yang datang. Saat jatuh sakit, ada biaya entah dari mana, tapi pasti ada. Ada teman saya, anak kos, susah, tapi dengan hanya dua ribu di kantong dia tidak pernah kelaparan. Ada saja ajakan makan yang datang padanya. Saya percaya.
Pagi tadi, saya mengantar dua anak dampingan saya untuk mencari panti asuhan tempat mereka diharapkan bisa tinggal di sana untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Nur, delapan tahun dan belum pernah sekolah sama sekali, dan Febri, kakak perempunnya. Sebelas tahun dan baru merasakan satu semester bersekolah dan itu entah kapan.
Kami datang di sebuah panti asuhan yang sangat bagus di daerah Sleman. Di panti ini anak-anaknya diberikan pendidikan dan pendisiplinan yang baik dari ibu pemilik panti. Mereka juga disekolahkan sampai jenjang kuliah. Dalam perjumpaan pertama saya dengan Ibu pemilik panti, saya bisa merasakan betapa pedulinya beliau dengan pendidikan anak-anak asuhnya dan betapa beliau mengusahakan yang terbaik untuk anak-anak asuhnya.
Setelah berbagi pembicaraan singkat mengenai latar belakang kehidupan Nur dan Febri. Ibu itu menjadi bingung tentang apakah beliau bisa menyekolahkan Nur dan Febri ke sekolah. Apalagi jika dilihat dari umur yang memang sudah jauh dari usia anak kelas satu, sedangkan kemampuan mereka mungkin masih belum memadahi untuk masuk ke kelas satu SD. Jadi pagi tadi, kami belum berhasil mendapatkan panti asuhan buat Nur dan Febri.
Kendala lain yang juga sudah menjadi kegalauan saya selama berbulan-bulan ini juga adalah masalah surat-suratan. Keluarga ini tidak memiliki surat kependudukan apapun. Dari KK, KTP, Surat Nikah, apalagi Akte Kelahiran. Syarat utama untuk masuk sekolah sekarang.
Saya buta hukum. Saya buta birokrasi. KTP saya selama ini Papah yang menguruskan. Saya cuma datang, foto, tanda tangan, sudah. Saya tidak tahu bagaimana seseorang yang tidak punya domisili, tidak punya kartu keluarga, tidak jelas sudah pindah ke mana saja, harus mulai mengurus itu semua. Tapi buat saya itu harus, itu penting. Kalau tidak anak-anak itu tidak akan bisa sekolah selamanya.
Saya sudah merasakan sekolah dari TK sampai lulus kuliah sekarang. Jujur, saya tidak melihat relevansi pelajaran di sekolah dengan pekerjaan dan kehidupan yang saya jalani saat ini. Tapi saya tidak tahu cara lain untuk membuat hidup anak-anak itu menjadi lebih baik selain mengusahakan pendidikan untuk mereka. Dan sejauh yang saya tahu, ya itu, memasukkan mereka ke sekolah. Tapi buat Nur dan Febri, akses itu masih tidak terbuka sampai sekarang. Saya sudah bertanya ke sekolah, dan akte adalah salah satu syaratnya.
Umur mereka akan terus bertambah setiap harinya, dan akan semakin tidak mungkin memasukkan mereka ke SD. Tapi tanpa akte, mereka bisa sekolah di mana? Jika pemerintah menetapkan wajib belajar, adakah jalan agar mereka berdua bisa menjalankan kewajibannya?
Pagi tadi saya berpikir, jika Tuhan menjaga manusia seperti Ia menjaga burung-burung-Nya, maka tidak usah sekolah, anak-anak itu juga akan baik-baik saja kan tentunya? Haruskah saya cemas akan masa depan mereka? Harus sekolahkah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik?
Sudah banyak anak yang saya lihat putus sekolah dan turun ke jalan. Sudah banyak permasalahan dari hidup di jalan yang saya dengar. Saya mungkin tidak akan bisa mencegah mereka turun lagi ke jalan, tapi jika bisa saya ingin memperlambatnya. Setahun, sebulan, bahkan sehari pun akan saya usahakan.
Tuhan, Saya tidak meragukan perlindungan-Mu. Saya hanya ingin memberi tahu mereka bahwa ada arah lain untuk mereka bisa terbang. Sesuatu yang belum bisa saya berikan.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith