Jalanmu Bukanlah Jalanku

Perpisahan menjadi isu penting dalam hidup saya akhir-akhir ini. Penyebabnya jelas sebenarnya, seorang sahabat saya akan pulang kampung dalam beberapa hari ke depan, dan saya sebagai orang yang berada di lingkaran dalamnya ikut merasakan kegalauan yang dirasakannya. Kegalauan untuk meninggalkan kehidupan di Jogja yang tanpa disadari sudah begitu dia cintai.
Perpisahan bukanlah sesuatu yang baru dalam hidup saya saat ini. Kita jelas sudah pernah mengalami perpisahan dari ketika kita lulus sekolah TK, SD, sampai sekarang sudah berumur begini, pasti banyak sudah perpisahan yang sudah dialami.
Salah satu perpisahan terberat yang pernah saya alami selama masa dewasa saya adalah ketika saya ditinggal seorang teman mudika saya, Mas Gugus.
Siang itu, setelah rangkaian panjang yang menyenangkan dari Pekan Suci, si Kakak satu itu tiba-tiba bilang begini sama saya,"Aku besok mau berangkat ke Jakarta dan nggak tahu apakah akan balik lagi atau nggak."
Saya adalah orang yang lemot, terutama untuk masalah perasaan. Butuh loading yang cukup lama buat saya untuk memahami apa yang saya rasakan saat itu. Dan ketika sadar, saya yang waktu itu sudah pulang, langsung balik lagi ke gereja dan mencari Mas Gugus yang sudah tidak ada.
Berminggu-minggu saya dan teman-teman mudika mengalami masa berkabung. Kami banyak menulis di buku curhat, memasang pakaian yang dipakai Mas Gugus saat drama Jumat Agung, menangis dan meratapi kepergiannya di trotoar bersama teman-teman, seakan-akan dia sudah mati. Aneh sekali sebenarnya kalau saya ingat sekarang ini.
Ya, waktu itu kami memang sedang dekat-dekatnya. Mudika kami sedang berjaya, banyak acara yang kami adakan dari Natal sampai Paskah tahun itu. Dan Mas Gugus adalah jagoan kami semua, sehingga kehilangan dia adalah pukulan yang berat buat kami yang kala itu masih alay dan ababil.
Saya jadi teringat dengan pembahasan di kelas kemarin mengenai cerita dari Pram yang berjudul "Yang Sudah Hilang." Kita sangat senag untuk mengingat dan menyimpan kenag-kenangan mengenai apa-apa saja yang sudah hilang dari kehidupan kita, padahal itu malah mempertegas rasa sakit yang kita rasakan. Kita malah berkeras untuk mengingat apa saja yang sudah hilang dari hidup kita.
Perpisahan dengan Mas Gugus itu adalah perpisahan pertama yang saya alami, dan setelah itu saya lebih bisa menerima perpisahan-perpisahan yang terjadi dalam hidup saya. Ya saya kecualikan perpisahan saya dengan Mas Mantan ya, saat itu malah lebih parah dari sekadar nangis di trotoar. Perpisahan dengan Mas Mantan bagi saya sekarang, saya ulangi lagi, sekarang, bukamlah perpisahan karena saya kehilangan orangnya, tapi saya kehilangan hubungannya dan fasilitas yang menyertainya. Karena sampai sekarang saya bisa dengan mudah bertemu dia dengan segala kecanggungan yang menyertainya tentu saja.
Namun perpisahan karena perpindahan seorang teman tidak membuat kita kehilangan hubungan pertemanan di antara keduanya. Kita hanya akan berpisah jalan, dulu yang jalan sama-sama, main sama-sama, makan sama-sama, ngegossip sama-sama sekarang akan berjalan di jalannya sendiri-sendiri. Rutinitas-rutinitas yang akan mengalami perubahan. Tapi di zaman modern seperti ini dengan fasilitas komunikasi ada beribu-ribu cara, rasanya perpisahan karena pidah tempat saja tidak menjadi sesuatu yang terlalu menggalaukan.
Ya bukannya saya tidak kehilangan juga. Kalau teman saya ini pergi, maka tidak ada lgi orang yang akan menyelamatkan saya ketika saya lupa bawa dompet waktu di warnet, seperti sekarang ini. Saya tidak akan bahagia karena melihatnya dibully. Saya akan kehilangan saat-saat menyenangkan menganalisis perilaku semua orang. Saya akan kehilangan lawan curhat dan berdebat yang sangat menyenangkan, dia bukan orang yang akan mengiyakan saya begitu saja, karena dia belum menyerah dan lelah dengan kengeyelan saya. Tidak ada lagi orang di mana saya bisa berekspresi apa adanya saya, menunjukkan kejengkelan dan mood saya yang jelek begitu saja, tanpa takut membuat orangnya marah. Iya, saya akan sangat kehilangan.
Tapi saya teringat dengan omongan Mas Mantan zaman dulu, "Yang pergi itu pasti lebih sakit. Yang ditinggal  hanya akan kehilangan satu orang, tapi yang pergi akan kehilangan semuanya."
Ya, di luar apa yang akan dia dapat dan temui di tempat barunya nanti, dia akan kahilangan banyak hal. Tidak ada lagi bermain dengan anak-anak yang sangat dicintainya. Ia tidak akan lagi melihat Gunung Merapi yang sangat dikaguminya. Tidak ada lagi jalan-jalan pagi ke candi dan menikmati matahari terbit di tengah ketenangan Sambisari atau Candi Plaosan. Tidak ada lagi para sahabat yang akan menghabiskan malam bersamanya dan tertawa.


Berpikir dan bersiap-siap untuk berpisah itu memang terasa lebih sakit dan menggelisahkan daripada perpisahan itu sendiri. Saya sudah membuktikannya. Namun saya selama ini selalu berada di posisi yang ditinggal pergi, bukan saya yang pergi dari Jogja yang berhati nyaman ini.
Jadi, saya tidak tahu bagaimana rasanya ketika teman saya ini bagun di suatu pagi, dan ia tidak bisa lagi melihat Gunung Merapi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith