Belajar dari Paper
Sudah bertahun saya memiliki hubungan cinta dan
benci dengan makhluk yang bernama paper itu. Masih teringat jelas dalam ingatan
saya, ketika saya masih jadi mahasiswa S1 dan belum paham benar dengan makhluk
satu ini. Saya harus berebut perhatian dengannya, dan saya selalu kalah. Setiap
saya mengirimkan sms andalan saya kepada teman-teman saya, “Ayoo dolaannn…”
Jawaban yang saya dapatkan pasti, “bikin paper.” Seakan paper menjadi ini sudah
menjadi kemutlakan dan permakluman untuk nggak dolan-dolan. Kalau kala itu saya
ketemu sama si paper pasti saya pukulin karena dia bikin teman-teman saya nggak
bisa menemani jalan-jalan.
Hingga akhirnya saya merasa mendapatkan karma. Saya
kuliah S2 dan tugasnya jelas, bikin paper. Akhirnya saya mengalami apa yang
teman-teman saya kala itu pernah alami. Nggak seberat teman-teman saya kala itu
yang harus membaca belasan paper
dan membuat dengan jumlah yang sama banyaknya, hanya empat. Dan empat paper itu membuat saya belajar beberapa hal juga selain materi yang saya dapat dalam proses penulisannya.
dan membuat dengan jumlah yang sama banyaknya, hanya empat. Dan empat paper itu membuat saya belajar beberapa hal juga selain materi yang saya dapat dalam proses penulisannya.
Yang pertama adalah, menulis itu tidak membutuhkan
waktu lama. Dari pengalaman saya menulis kemarin itu, satu malam cukup untuk
mengetik sepanjang 3000-an kata atau sekitar 10 halaman. Yang jadi masalah
adalah apa yang akan ditulis. Dalam proses penulisan kemarin, dari satu bab
sampai satu buku yang saya baca, bisa jadi hanya akan masuk sebanyak satu
paragraf dalam paper. Paitnya hanya satu kalimat. Kalimat untuk melegitimasi
analisis kita, atau kalimat yang akan kita sangkal. Bayangkan saja, berapa
banyak yang harus dibaca untuk membuat tulisan segitu banyak. Dan… akan
terlihat dari kualitas tulisan kita seberapa banyak kita membaca dan sebagus
apa bacaan yang kita pilih. Jadi untuk ke depannya, sediakan waktu lebih
panjang untuk membaca. Mungkin bisa ikut jadwalnya Mas Alexander Koko yang
membaca minimal 15 halaman setiap harinya. Tapi berhubung saya kenal diri saya
sendiri, biasanya saya hanya akan membaca di awal dan di akhir masa
perkuliahan, entah bagaimana di tengahnya.
Walaupun menulis paper itu tidak membutuhkan waktu
yang lama, entah kenapa sangat menghabiskan energi. Padahal sebagian besar
waktu kita hanya akan dihabiskan di kamar, gegoleran sambil baca-baca buku yang
nggak jelas, ngalamun sambil mikir,
ini kalimat pertamanya apa ya, enaknya masuk dari mana, teorinya pake yang mana, atau alurnya mau
bagaimana ya. Rasanya hanya begitu-begitu saja, tidak ada pekerjaan yang
benar-benar “terlihat” untuk dilakukan. Tapi saya dan teman-teman saya
bertumbangan satu per satu. Bisa jadi karena manajemen waktu yang buruk, bisa
jadi karena psikosomatis. Beberapa demam, satu orang jadi merancau, dan saya mengalami ambrol lambung
karena kebanyakan begadang. Jam biologis saya berputar 180o. Saya
tidur sepanjang siang dan terjaga sepanjang malam. Mungkin penyakit saya,
mungkin juga karena sugesti yang saya tanamkan sendiri pada diri saya, saya
tidak bisa menulis dengan baik dan lancar kalau belum di atas jam 12 malam.
Mungkin hanya pikiran bodoh saya sendiri, karena sekarang jam 12 siang dan saya
menulis tulisan ini, dan lancar-lancar saja.
Belajar dari pengalaman ambyarnya lambung saya
kemarin, dan sampai sekarang masih sering terasa tidak beres, ke depannya saya
harus mengatur perbekalan baik-baik sebelum memulai peperangan dengan paper.
Ada teman saya yang butuh bir untuk menemani, ada yang butuh kopi untuk bisa
tetap terjaga, ada teman saya yang tertib, jam 10 sudah tidur, jadi nggak butuh
perbekalan. Dan yang saya butuhkan adalah perbekalan untuk makan tengah malam
dan obat maag. Rasanya saya sudah makan obat maag kaya makan kacang aja. Dan
jangan lupa pulsa internet yang banyak, mengetik paper sambil membuka sosial
media itu menyenangkan. Jadi nggak merasa menderita sendirian, ada teman-teman
seperjuangan dan tau kalau yang lain juga sama stressnya, sama-sama belum
selesainya, Sama-sama tidak tidur, sama-sama nggak ke mana-mana di malam taun
baru, sama-sama absurdnya. Sosial support itu selalu penting.
Selain perbekalan, saya pikir nyicil dari jauh-jauh
hari juga sebuah pilihan yang bijaksana. Itu berarti saya harus mengatasi
penyakit deadline saya. Penyakit yang membuat saya baru bisa bergerak dan
menulis kalau sudah mepet deadline. Deadline yang awalnya dihitung pakai
minggu, lalu pakai hari, lalu pakai jam, dan akhirnya dihitung pakai menit. Jadi
paper baru dikumpulkan pada H – 15 menit, atau malah H + 2 minggu?
Terus yang berikutnya tampak tidak jelas tapi
menentukan adalah mood. Kalau moodnya
nggak jalan, nulis juga pasti susah, seret, angel dijak maju. Ya saya bisa
sesumbar sih, tetap menulis saat mood jelek itulah profesionalisme. Tapi ya
ending-endingnya pergerakan saya juga dipengaruhi oleh mood. Tapi
alhamdulilahnya buat saya adalah, sejak skripsi yang penuh penderitaan itu
berakhir, otak saya ini menjadi otak yang bisa dipercaya dan selalu bisa saya
andalkan untuk menyelesaikan tugas-tugas saya tepat waktu. I love my self lah pokoke. Eh tapi selesainya tugas ini nggak
diikuti dengan jaminan kalau kualitasnya baik loh. Pokoknya pakai perinsip
belajar itu boleh salah, kerjakan sebisanya, kumpulkan tepat pada waktunya.
Begitulah…
Pelajaran berikutnya yang saya dapatkan adalah,
niat saya dalam menulis sebuah paper tergantung siapa yang saya duga akan
membacanya. Semakin hari kualitas tulisan yang saya tulis menurut saya semakin
kacrut. Yang paling sial adalah paper dengan deadline yang paling akhir.
Sialnya lagi, dosen yang mengajar adalah dosen yang tidak membangkitkan
motivasi saya untuk menulis. Jadinya ya dengan tema yang seadanya, dengan bahan
yang seadanya juga karena saya lupa kalau perpus tutup, saya menulis dengan
seadanya. Naaa… saya kumpulin nih papernya, eh pas dikumpul malah dibaca oleh
dosen yang terkenal pintarnya, yang keren sekali, yang katanya canggih banget.
Dosen yang paling saya takuti pada awal saya jadi mahasiswa karena dia terkenal
canggihnya itu. Dan paper itu dibaca di depan saya. Malunyaaa….. Sudah gitu
komentarnya adalah, “Dari judulnya saja sudah bisa dinilai.” Jleb! Jleb! Jleb!
Saya jadi mikir, kalau itu mata kuliah si dosen
yang kedua ini, saya pasti tidak akan menulis seperti itu. Saya pasti akan
memikirkannya dengan lebih sungguh-sungguh dan menulisnya dengan lebih
sungguh-sungguh juga. Iya, saya meremehkan dosen yang mengajar saya. Padahal
beliau juga nggak kalah pinternya lo, wong lulusan Amerika. Jadi, besok-besok
lagi kalau menulis paper, mungkin saya harus melandasinya dengan pemikiran
bahwa yang membaca adalah orang-orang yang canggih itu, jadi paling nggak
menulisnya dengan agak canggih dan lebih niat lah daripada yang kemarin.
Setelah sekian tahun ini, saya masih mengalami
hubungan yang ambivalen sama si paper. Tapi saya tidak lagi menganggapnya
sebagai makhluk asing yang merebut teman-teman saya dari kehidupan saya sebagai
tukang dolan. Sekarang saya yang harus menyusunnya sendiri dan bergelut sendiri
sama yang namanya paper. Iya, saya ngrekasa
kok dalam prosesnya, tapi entah kenapa saya menikmatinya. Saya senang
melihat huruf-huruf yang semakin memenuhi lembaran putih microsoft word. Saya
senang membaca dan menemukan sesuatu untuk saya tuliskan. Saya juga merasa
senang ketika saya membaca lagi dan menyesal kenapa nggak membaca hal tersebut
saat papernya belum dikumpul. Saya bahkan merasa bangga ketika ada yang
mengajak saya main dan saya menjawabnya, “Sory, ga bisa. Bikin paper.” Rasanya
keren gitu… Aneh ya… Hahahaha…
Dan dengan terkumpulnya
paper-paper kemarin tepat pada waktunya, maka resolusi tahun 2014 saya sudah
terpenuhi. Sederhana sekali
Komentar
Posting Komentar