Kisah



Triingg…
Suara dari messenger itu membangunkan Nadia dari tidurnya. Tidur yang sudah tidak pernah nyenyak sejak satu bulan yang lalu. Matanya langsung terbuka, dirabanya kasur di sekitar kepalanya untuk mencari sumber bunyi itu.
Dugaannya tepat. Siapa lagi yang menghubunginya di tengah malam buta seperti ini selain orang itu. Rey, Reynato.
“Nad…” Hanya sepotong kata itu saja dan itu sudah cukup membuat Nadia gelisah, seperti biasa.
“Kenapa Rey?”
“Baru sampai rumah nih, capek banget…”
Nadia melirik jam di sudut atas smartphone dalam genggamannya, 01.39. Ia menghela napasnya.
“Tidur sana. Besok pagi kamu ada liputan kan?” Jari-jari Nadia mengetikkan jawaban itu dengan cepat dan mengirimkannya. Kantuknya hilang sudah. Percakapan ini mungkin bisa berlangsung lama seperti biasanya. Atau bisa jadi Nadia hanya akan menanti jawaban sampai pagi menjelang tanpa tau Reynato sudah hanyut dalam mimpi-mimpinya.
Reynato tanpa sengaja masuk dalam kehidupan Nadia. Nadia yang masih merupakan pegawai baru di kantor majalah ini tiba-tiba saja harus menemani Reynato di sebuah konfrensi pers. Konfrensi tentang apa dan apa alasannya dia yang seorang pegawai di bagian sirkulasi ini diajak menemani Reynato. Ia hanya ingat bahwa pada akhirnya, lelaki pendiam yang sudah menarik perhatiannya sejak pertama kali Nadia menginjakkan kaki di kantor ini, berbicara dengannya.
Sore itu tidak hanya diakhiri dengan sekadar berbicara. Nadia dan Reynato menghabiskan separuh malam di atas tikar di sebuah warung nasi goreng pinggir jalan. Tidak peduli bahwa malam semakin melarut, tidak peduli pengunjung yang datang silih berganti. Nadia terserap sepenuhnya oleh suara lembut Reynato. Melarut dan membumbung bersama asap rokok yang sesekali mengepul dari bibir Rey yang tidak berhenti bercerita. Perjalanan hidupnya, pekerjaannya, petualangannya mencari berita, cintanya, rasa sakitnya… Rey memang seorang pencerita yang andal, dengan jemarinya maupun dengan suara lembutnya. Tapi pada malam itu juga Nadia mengenal satu nama baru, Kisah. Nama dari masa lalu Reynato yang terus menerus memanggilnya. Nama yang tidak pernah benar-benar ada tetapi juga tidak pernah pergi.

***

Sejak malam itu dunia Nadia seakan berpindah poros. Reynato menjadi porosnya dan ia mengorbit dengan penuh ketekunan di sekitar lelaki itu. Nadia akan sangat menikmati ketika Reynato sedang berkeliaran di kantor, dan akan menjadi begitu gelisah jika Reynato harus pergi meliput. Kepergian yang membuat Nadia tidak dapat melihatnya berhari-hari. Kepergian yang membuat poros hidup Nadia berpindah ke smartphone dalam genggamannya. Menanti sapaan yang terasa semakin akrab dan semakin dekat di matanya.
“Nad, Kisah mau balik ke sini bulan depan…”
Sekali lagi Nadia membaca tulisan itu di layar komputernya, dan tulisan itu tidak berubah.
Rasa sakit itu tidak datang bagaikan petir yang menyambar. Ia merayap perlahan-lahan ke dalam kesadaran Nadia. Mulai menghapus banyak kisah lain dengan intensitasnya, hingga Nadia mulai merasakan sesak napas dan mengalirlah air matanya tanpa disadari. Pikiran Nadia tidak mengerti apa yang terjadi, tapi hatinya tau akan tiba waktu dirinya menjadi serpih.

***
Ban serep. Kata itu seakan menguasai pikiran Nadia beberapa hari ini.
“Aku tau kamu suka sama dia. Tapi masak kamu terima-terima aja gitu? Dia tau kan kamu suka sama dia?”
“Nggak tau…” Nadia menjawab pelan sambil melihat dengan bingung sahabatnya yang mondar-mandir tidak jelas di ruang tengah rumah kontrakannya. “Duduk sini…” Nadia menepuk sofa di sebelahnya.
Fajar mengempaskan tubuh besarnya di sisi Nadia. Melesakkan sofa merah maroon itu sampai di batas ketahannya.
“Aku tau aku cuma ban serep.” Nadia bergegas memotong sebelum sahabatnya itu mengeluarkan suara.
Percakapan yang sama dengan pembahasan yang terus berulang-ulang selama berhari-hari ini. Rey yang bercerita kepada Nadia tentang Kisah yang tidak juga berhasil didapatnya. Kisah yang mengacaukan hari-harinya. Kisah yang membuat tulisannya berantakan dan sudah tidak terhitung berapa tenggat yang Rey langgar karena seorang Kisah.
Nadia yang menceritakan sakit hatinya kepada Fajar. Semua pesan dan semua kegelisahan Rey yang Nadia coba tenangkan. Ketakutan hatinya yang akan kehilangan eksistensinya. Kegelisahannya. Dan rasa cintanya yang membuat Nadia tidak bisa beranjak pergi. Dia terjebak. Disandarkan dirinya pada sahabatnya itu. Membiarkan pikirannya berkelana mencari jalan untuk berlari, jalur untuk berputar balik, tempat untuk bersembunyi. Bersembunyi dari hatinya sendiri yang sudah berlari dari kendali pikirannya.
“Pada akhirnya aku harus menerima bahwa perasaan ini, bahwa cinta ini, bahwa apa yang aku rasakan adalah sesuatu yang tidak bersyarat. Hati ini tidak benar-benar peduli apakah dia mencintaiku atau tidak, apakah dia akan ada untuk aku atau tidak. Harga diri ini yang meminta itu. Pikiranku yang meminta itu. Selama hati bekerja, ia hanya menginginkan kebahagiaan lelaki itu. Lelaki yang tidak pernah mencintainya.”

Triinggg…
“Nad”
“Kenapa Rey…”

Komentar

  1. Mengapa perempuan hampir selalu menulis dengan lebih rapi ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmmm... Tapi alurnya masi belum runtut. Aku nggak cukup sabar buat bertutur dan merangkai kisahnya...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith