Dilemanya Warga Budaya Konsumsi

Seminar
Seminar “Dilema Warga Budaya (Konsumsi) & Ruang Publik” yang diadakan sama IRB baru saja selesai. Rasanya masih heboh dalam ingatan bagaimana rempongnya mempersiapkan itu. Dari bahan-bahan publikasinya, pendaftarannya, pembicaranya, sampai materinya. Sebenarnya saya nggak ngapa-ngapain lo dengan semua itu. Yang bikin TOR, poster, sertifikat, backdrop, daftar peserta, dan materi semuanya bukan saya. Saya cuma ikut mbingungi aja sebenarnya…
Naaa… tapi saya bukan mau cerita soal seminarnya kok kali ini. Saya cuma mau cerita kalau saya tadi habis jalan-jalan ke Amplaz dan saya langsung ingat sama materi seminar yang membahas warga budaya konsumsi itu. Selain itu, saya sebagai warga IRB yang baru saja belajar mengenai Baudrillard tentang teori konsumsi dan segala macam mengenai analisis wacana kritis, rasanya itu sudah jagoan.
Rasanya saya sudah bisa membongkar konspirasi kapitalisme yang membuat kita mengkonsumsi terus menerus. Mengkonsumsi untuk mendapatkan identitas dan prestise, bukan karena nilai guna dari barang tersebut.
Tapi kenyataan itu pahit, teman-teman. Saat saya masuk Amplaz, rasanya Baudrillard itu langsung menguap dari kepala saya. Saya langsung dengan gembira meleburkan diri menjadi warga budaya konsumsi di Amplaz dan mengamini kewajiban sebagai warganya, berbelanja.
Amplaz adalah salah satu surganya konsumsi di Jogja. Amplaz sendiri sebenarnya belum lama berdiri di Jogja, bandingkan dengan mal Malioboro dan Galeria. Saya masih ingat ketika baru awal-awal dibuka lalu ada gempa tahun 2006 itu dan Amplaz harus tutup lagi karena ada temboknya yang ambrol. Tapi setelah dibuka, Amplaz menjadi salah satu tempat paling happening di Jogja. Mengalahkan teman sebayanya yang sekarang kukut, Saphir Square.
Setelah sekian lama nggak ke Amplaz, main ke situ itu rasanya sangat menyenangkan. Adem, terang benderang, liat display barang yang keren-keren, nyobain sample parfum dan kosmetik di gerai kosmetik, nyobain baju tapi nggak beli, main di timezone dan makan kalau sedang punya uang. Istilahnya hedon.
Kunjungan kemarin ini adalah kunjungan pertama saya ke Amplaz setelah saya berinteraksi dengan Nick Stevenson dan Baudrillard terutama. Dan sedikit banyak cara pandang saya juga ikut berubah bersamaan dengan interaksi saya dengan mereka.
Saya bersama dengan teman-teman kemarin itu duduk-duduk di warung donat dan makan frozen yogurt. Ketika saya memperhatikan sekeliling saya lalu mulai mengalami fase cermin. Saya melihat anak-anak seusia SMP dan SMA bergerombol, pake baju cantik, pakai rok unyu, makan donat sambil foto-foto selfie. Saya jadi merasa gembel. Saya cuma pakai celana pendek sobek-sobek, kaos hitam yang sudah nggak begitu hitam, sandal japit, untunglah bukan daimatu, tapi tetep foto-foto juga kok.
Di situ saya lalu melihat yogurt yang saya makan dan saya mulai bertanya-tanya. Kenapa saya makan yogurt itu dan duduk di situ? Apakah karena fungsi si yogurt, ataukah saya ingin mendapatkan identitas sebagai pemakan yogurt? (Identitas apaan tuh?)
Ya pada intinya saya mulai mempertanyakan dan mengalami dilema seperti judul seminar kemarin. Di satu sisi saya tahu ada wacana dan ada orang yang mengeruk banyak keuntungan dari dompet tipis saya, di sisi lain saya bahagia jadi pemakan yogurt di mal.
Padahal ya, kalau dipikir lagi nih ya, yogurt yang cuma semangkok mungil itu, harganya enambelas ribu rupiah. Puding setoples kecil harganya sepuluh ribu rupiah, padahal teman saya pernah jualan dengan ukuran yang nggak beda jauh dan pake vla pulak, cuma seribu. Puding yang less sugar harganya duabelas ribu, padahal lebih nggak manis malah lebih mahal. Lain waktu saya makan di restoran jepang, semangkok ramen pake telor dan ayam harganya, enampuluh dua ribu tujuh ratus rupiah, plus pajak lima belas persen taruhlah tujuh puluh ribu rupiah sekali makan (Terima kasih Cicik, sudah bayarin… *sungkem). Bandingkan dengan mi ayam Dab Supri pake bakso, saya nggak tau harganya, soalnya biasanya saya beli bakso kuah pake nasi, itu sepuluh ribu rupiah, minum sudah termasuk.

Sushi di restoran baru yang tulisannya ijo nyala-nyala itu, yang topingnya telor, isi dua potong empat belas ribu rupiah, yang topingnya unagi atau belut, lebih spektakuler lagi, limapuluh lima ribu rupiah, dua potong. Padahal mungil, unyu gitu. Lebih gede lemper seribuan beli di pasar deh, suer. (Apakah mulai terlihat bahwa saya Cina?)
Sekarang mari kita lihat kalau dari bahan pembuatannya. Sushi yang yang hanya seukuran dua jari itu butuh seberapa banyak nasi sih? Mungkin nasi sekilo bisa jadi 200 potong sushi. Misalnya nih, nasinya impor langsung dari Jepang, taruhlah tigapuluh ribu sekilo—bandingkan dengan beras Indonesia yang suma sepuluh ribuan—sepotong sushi cuma butuh nasi seharga seratus limapuluh rupiah. Yo anggaplah dengan bumbu dan toppingnya, prakiraan ngawur saya, hanya untuk bahan dan bumbu-bumbu nggak nyampe duapuluh ribu deh buat sepiring sushi belut. Apalagi yang sushi telor, indomi pake telor aja empat ribu doang harganya. Mau telor dari ayam apa sih yang sebutirnya sampe sepuluh ribu? (NB: Di situ juga ada paket lobster seharga delapan ratus ribu, saya masih penasaran kaya apa bentuknya deh…)
Ngambil dari blog orang keropokman.com

Tapi toh tau begitu saya tetep aja penasaran untuk mencoba. Dan kalau ada yang mau bayarin saya ikhlas kok makan lagi di tempat-tempat itu. Saya nggak akan idealis dengan bilang, “Nggak mau, saya sudah berhenti mengkonsumsi tanda.” Saya akan tetap dengan senang hati ikut menikmati tanda-tanda itu. Teman-teman, ada yang tertarik? Anyone?
Jadi sebenarya apa yang dicari dan apa yang kita makan di situ?
Di satu sisi iya, saya mengkonsumsi identitas. Dengan ikut makan di situ, saya jadi sama dengan teman-teman saya. Saya jadi bisa menjadi satu kelompok dengan para pemakan sushi atau ramen yang lain. Jadi saya juga bisa ikut cerita kalau sushi di restoran A lebih spektakuler dari sushi di restoran B, dan wasabinya juga lebih pedas. Atau jahe merahnya juga lebih mak nyuss. Ada yang nggak ngerti wasabi? Nggak mengkonsumsi tanda sih kamu…
Tapi ada fenomena yang lain juga. Saya punya teman anak mahasiswa yang kemarin cerita kalau dia akan menabung selama dua bulan untuk makan di restoran sushi yang saya ceritakan di atas. Dan sebagian besar teman-teman dalam kelompoknya juga mau melakukan hal yang sama. Apakah iya itu mengkonsumsi identitas kalo semuanya sama-sama susah selama beberapa bulan cuma untuk sekali makan. Jadi mau cerita enak dan kerennya makan sushi, atau malah cerita susahnya menabung buat melakukan itu? Ya mungkin bisa jadi cerita heroik juga perjuangan untuk menabung tersebut. Keduanya sama-sama distiction kok, jadi sah, tetep bikin tampil beda.
Selain itu, kulineran ini juga saya lakukan untuk mengonsumsi relasinya. Hal ini juga diamini sama Bapak Baudrillard, beliau bilang kalau kebutuhan itu tidak pertama-tama akan suatu objek, tetapi untuk tampil beda, maka tidak pernah ada kepuasan penuh. Jadi bukan fungsi kebutuhan seseorang yang menentukan, tetapi fungsi sosial, komunikasi, distribusi nilai melalui tatanan tanda. Bukan pertama-tama fungsi kenikmatan, tetapi lebih pada fungsi kolektif (Haryatmoko, hal.22). Dengan kulineran saya bisa duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol dengan teman-teman. Menjadi sarana dan alasan untuk mengajak beberapa orang teman yang sulit ditemui. Warungnya menjadi ruang publik tempat kita bertemu dan ngobrol nggak jelas selama berjam-jam dengan hanya minum satu gelas teh susu pake bola-bola. Jadi kita membeli minum untuk membeli ruangan yang akan memberi kita tempat untuk ngobrol bersama teman-teman. Mungkin begitu ya ceritanya…
Kemudian lagi, karena makanan itu pada dasarnya sama saja. Fungsi utamanya juga sebenarnya sama saja, yaitu bikin tetap kenyang dan tetap hidup. Maka para penjual makanan mulai mengeksplorasi atau malah membuat-buat makanan menjadi memiliki beragam fungsi yang lain. Seperti kenapa less sugar lebih mahal, karena itu yang dijual kesehatannya. Padahal nggak usah dikasih gula kan malah irit dari sisi produksinya (pasti ada yang protes kalau itu pakai gula pengganti, makanya lebih mahal). Lalu banyak tempat dan makanan yang berlomba-lomba menjual makanan yang pedes. Dari level satu sampe seratus, dari level manusia sampai level demit. Dan tempat-tempat seperti itu malahan laris. Banyak orang yang tertantang untuk mencoba level terpedas. Membuktikan dan menantang diri, keluar dari zona nyaman—nggak  pedes itu nyaman, kalo tetep di zona nyaman nanti nggak bisa berkembang. Padahal dengan makan pedes banget gitu ya, walaupun mulutnya kuat, seringnya perutnya yang ambyar, bener kan? Jadi hal itu malah menghilangkan fungsi utama dari makan, makan tidak lagi untuk hidup tapi malah untuk bunuh diri. Bagi yang tertarik mau bunuh diri dengan tukak lambung, bisa dicoba. Baudrillard lewat Haryatmoko juga bilang kalau konsumsi itu mengeksploitasi secara sistematis semua kemungkinan kenikmatan.
Maka saudara-saudara, dari sini saya bukan mau bilang kalau saya nggak mau lagi makan makanan enak dan itu seringnya mahal. Tetapi saya mau menyampaikan omongan Bapak Baudrillard kalau, makan bukan lagi suatu representasi yang real, namun sudah menjadi penciptaan yang hiperreal. Apakah artinya? Saya juga nggak yakin.
Yang pasti sekarang, harga makanan semakin gila-gilaan. Ada makanan yang sekali makan sudah seharga kehidupan satu keluarga di Pingit selama sebulan, tetapi masih ada Texas di dalam gang sempit itu tempat kita bisa makan banyak di bawah sepuluh ribu rupiah. Tinggal kita aja mau milih yang mana, mau menuruti perut atau mau menuruti mulut. Mau makan untuk hidup atau mau makan untuk gaya hidup. Atau malah makan untuk bunuh diri…
Kita juga butuh ruang publik tempat kita bisa berbicara dengan nyaman dan bersenang-senang dengan teman-teman selama berjam-jam dengan gratis tanpa harus membeli sesuatu untuk mendapatkan kenyamanannya. Tapi tempat itu tetap harus ada colokan listriknya. Colokan listrik sudah menjadi kebutuhan yang lebih primer dari makanan itu sendiri.
Saya juga masih berharap ada makanan yang makin mahal harganya maka kenyangnya akan semakin lama. Jadi kalau harga lima ribu cuma kenyang dari siang sampai malam, kalau makan seharga limapuluh ribu jadi bisa kenyang selama lima hari tanpa makan. Kalau ada yang begituan, pasti pertanyaannya akan diganti, bukan lagi “mau makan di mana?” menjadi “mau makan buat berapa lama?”
Dan jawabnya tetap, “Manuuuttt...”


Tulisan di sini mengutip bagian Baudrillard (hal. 19-25) dari buku Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi, karya dari Haryatmoko.

Komentar

  1. Yhonas sukak tulisanmu, terutama bagian "mengonsumsi untuk mendapatkan identitas dan prestise" karena itulah yang membuat aku kelarisan

    BalasHapus
  2. Kalau kamu yang sukak sama tulisanku itu sesuatu, rasanya jadi keren banget.
    Ternyata belajar ilmu kritis itu juga bisa untuk menyusun strategi meningkatkan penjualan lo... Hahahaha.

    BalasHapus
  3. Kewreeeenn...sukak sama tulisanmu Ne. Berat tp enteng hehe. Aku jg pernah ngalamin fase cermin, tp ga tau kalo itu namanya :D.

    BalasHapus
  4. Berat tapi enteng... piye iku?? hehehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith