Mimpi untuk Mapan
Akhir-akhir ini rumah dan ingin
mapan sedang menjadi isu penting dalam hidup saya selain proposal yang
deadlinya semakin mendekat. Bapak Kos mengaku bahwa dia baru menyadari bahwa
kamar saya yang seluam 5x7m itu seharusmnya menjadi dua kamar dan untuk
ditinggali dua orang juga. Dari kesadaran yang baru tumbuh tersebutlah Bapak
Kos berencana membongkar kamar saya menjadi dua kamar.
Baiklah sebenarnya, ini rumah beliau
dan ini kamar beliau, saya menghargai hak kepemilikannya itu. Tetapi caranya
yang membuat saya begitu frustasi. Ahh… sebelumnya beerapa aturannya juga juga
membuat saya frustasi.
Pada awalnya kos ini baik-baik saja,
teman-teman saya bisa main dengan bebas, teman-teman perempuan saya juga bisa
menginap dengan nyaman dan senang. Dulu malah beberapa orang ada yang menginap
jangka panjang di kosan ini. Ada pula yang bawa kulkas, tv, komputer, tanpa ada
kesepakatan untuk menambah biaya listrik. Tidak ada kesepakatan sodara-sodara.
Lalu waktu berlalu, aturan juga
berubah tanpa ada sosialisasi yang jelas, tanpa ada konsistensi juga untuk
menegakkannya. Salah satu kejadian adalah suatu jam dua belas malam, saya
pulang bersama seorang teman saya, cewek. Di depan gerbang, teman saya dicegat
begitu saja dan tidak boleh masuk. Katanya, tamu boleh menginap jika masuknya
kurang dari jam 9 malam, walaupun pemilik kos boleh masuk kapan saja. Oke. Saya
manut, saya menginap di rumah teman saya yang lain. Saya juga ikut menginap.
Jadi ya, malam itu saya cuma masuk ke dalam rumah ambil baju ganti dan sleeping bag kesayangan.
Buat saya itu sadis sodara-sodara.
Itu tengah malam, dan teman saya adalah perempuan kecil yang bisa saja dibacok
sewaktu-waktu jika dibiarkan ada di jalanan. Banyak orang mau menampung orang
yang tidak dikenal, kenapa saya tidak bisa menginapkan teman saya sendiri.
Padahal penjaga kos kala itu juga sudah membuat peraturan untuk membayar biaya
menginap, jika teman menginap lebih dari dua hari maka harus membayar sepuluh
ribu perharinya. Akhirnya aturannya adalah tidak boleh menginapkan siapa pun
dan tidak boleh memasukkan teman lelaki ke dalam kamar. Pada akhirnya saya sih
jadi tidak menerima tamu siapapun baik siang ataupun malam, baik menginap
ataupun tidak. Saya malas teman saya diusir tiba-tiba saat kami ngobrol.
Mungkin saya cuma suudzon tapi males
aja sih saya jadinya dengan kondisi beginian. Bahkan beberapa anak kos kemarin
ada yang protes sama Bapak Kos, mereka memprotes bagaimana jika yang mau
menginap sodara atau ibu, apakah tidak boleh juga. Dan hasil akhirnya, kayanya
hanya ibu yang boleh menginap.
Kembali ke masalah pembangunan.
Masalah ini diawali dari suatu pagi, sekitar bulan Juni. Saya dibangunkan
pagi-pagi, jam 7 kayanya, untuk ketemu bapak kos. Nah, kamar saya itu kan ada
bagian jendelanya yang menonjol keluar, Bapak Kos berencana untuk membongkar
itu dan membuatnya lurus dengan tembok-tembok di sebelahnya. Pagi itu dia
bilang begini, “Halaman di sebelah kamarmu itu mau saya bikin garasi mobil,
tapi bagian jendelanya kan menjorok keluar. Nanti sore itu akan dibongkar dan
bibuat lurus dengan sebelah-sebelahnya.” Nanti sore, Sodara-sodara. Dia
membangunkan saya pagi hari untuk mengatakan bahwa nanti sore kamar saya akan
dibongkarnya. Dan jendela itu tidak kecil, lebarnya dua meter dan hanya 50cm
dari atap sampai ke lantai. Praktis, kamar saya akan bolong kan. Gede pula.
Akhirnya pada pagi itu saya mengemas baju dan laptop dan mencari tumpangan ke
rumah teman. Saya pergi sepanjang hari dan tidak pulang-pulang. Rasanya saya
paham perasaan anak-anak broken home
yang memilih di jalanan atau di mana saja karena nggak suka di rumah. Saya
akhir-akhir ini juga di kampus dari pagi sampai malam, setiap hari dan pulang
saat weekend. Saya lelah…
Ide membongkar kamar saya berakhir
begitu saja. Pembongkaran akan dilakukan setelah lebaran katanya. Oke saya
selamat sementara. Tetapi sejak saat itu ide untuk pindah kos terus digodok.
Akhirnya Bapak Kos datang lagi. Oh
iya… beliau ini tinggalnya di Jakarta, dia akan datang secara periodik ke
Yogyakarta. Nyetir sendiri di usianya yang mungkin sudah 70an tahun, dan
mobilnya ganti-ganti terus tiap ke Yogya. Orang kaya… Naaa… Setiap Bapak Kos
datang saya begitu merasa tersiksa dan terteror, terutama sejak ide membongkar
kamar saya ini mengemuka. Dan entah bagaimana caranya juga membuat saya begitu
galau. Dia mulai mengukur kamar saya, pernah jam enam pagi saat saya di
Temanggung saya ditelepon dan beliau menanyakan kunci pintu kamar saya—kamar
saya ada dua pintunya, pintu bagian luar dan bagian kamar tidur, yang
ditanyakan pintu bagian luar. Kamarnya memang saya kunci dan saya bawa pulang,
dan karena akan membongkar meteran listrik, akhirnya pintu kamar saya
dibongkar.
Saat saya balik ke Jogja pada hari
Minggunya, listrik belum kembali seperti semula. Kamar saya masih mati
listriknya. Kamar anak kos lain deret utara juga mati semua listriknya.
Untunglah dapur saya menyala, jadi saya bisa mengerjakan tugas ringkasan untuk
hari Senin di dapur. Saya juga menyambungkan listrik dari dapur ke dalam kamar
buat nonton TV. Lumayan lah ya, walaupun kamar sama kamar mandi gelap gulita.
Pernah suatu kali dia mengunjungi
kamar saya untuk mengukur atau melihat apalah dan saat itu TV saya menyala.
Begini katanya, “Loh kamu bawa TV to? Tau gitu kan saya minta tambah uang
listrik. Kan saya sudah kasih TV di ruangan bersama.” Bapak, itu bukan kali
pertama Bapak masuk ke kamar saya. Kenapa kesannya saya membawa TV itu dengan
sembunyi-sembunyi. Saya sudah dari 2011 di sini, dan sudah dari saat itu pula
saya bawa TV. Dulu saya juga bawa PC segala dan nggak ada permasalahan atau
omongan soal bayar listrik. Kenapa tiba-tiba sekarang terinspirasi begitu?
Dan beberapa hari ini si Bapak ini
datang lagi ke Kosannya. Saya yang juga dikejar deadline ini jadi begitu galau. Kalau kabur terus kapan saya bisa
mengubah dunia dan menulis proposal kan ya. Beliau sudah mengukur kamar saya,
sudah menaruh pintu-pintu di bagian luar kamar saya. Karena meja yang ada di
kamar saya adalah meja milik Bapak, dia sudah menawarkan meja-meja itu ke
seseorang. Kami sudah bersepakat kalau kamar ini akan dibongkar ketika saya
libur, saya juga sudah membayar kamar ini sampai Desember. Jadi ya menurut
saya, saya masih punya hak sampai bulan Desember berakhir sih, tapi tanggal
yang muncul adalah 20 Desember ini kamar saya akan dibongkar. Bapak sudah menanyakan
bagaimana barang-barang yang saya miliki, mau diapakan, mau dikemanakan. Tempat
tidurnya mau diapain. Dan saya ya cuma bisa bilang, “Iya Pak, nanti saya
bereskan.” Beberapa juga sudah saya bawa pulang sih.
Saya lelah sekali dengan proses dan
perdebatan ini. Saya menghargai hak Bapak Kos saya sebagai pemilik rumah,
tetapi caranya memproses ini membuat saya begitu tidak nyaman. Saya jadi malas
tidur di kamar karena ada orang-orang yang memasukkan pintu dan bak cuci
piring. Saya jadi malas di rumah karena meja yang masih ada buku saya di
atasnya, dan dispenser di situ ditawarkan ke orang lain. Mengapa tidak langsung
bilang saya agar saya segera pindah? Apa salahnya kalau dia bilang kamar ini
tidak bisa lagi diperpanjang karena akan dibongkar? Kenapa harus dengan cara
teror yang begitu rumit ini?
Jika saya sedang sehat dan mood saya
baik, maka saya akan dengan mudah menerima ini. Tetapi ketika lelah dan semakin
ketekutan karena proposal saya ini tidak juga selesai, saya mulai berpikir
destruktif. Saya ingin menyakiti Bapak Kos, saya ingin merusak kamar ini. Saya
ingin melakukan pembalasan kepada Bapak Kos saya. Pikiran yang juga membuat
saya semakin lelah untuk mengendalikannya. Saat di mana saya ingin lupa kalau
saya itu percaya sama Tuhan, jadi saya bisa bebas memikirkan bahkan mungkin
bisa melakukan perusakan ke mobil Bapak, atau malah ke Bapak Kos sendiri. Tapi
sayangnya otak saya sudah diset sebagai orang baik.
Ini juga saat-saat di mana keinginan
saya untuk menikah itu meningkat drastis. Bagi saya, menikah adalah suatu jalan
untuk punya rumah saya sendiri. Rumah milik saya sendiri dengan aturan yang
saya buat sendiri. Saya bisa menginapkan siapa saja yang datang, saya bisa
menulis sepanjang hari, terserah saya, tanpa saya harus melayani Bapak Kos yang
datang mengukur kamar mandi. Saya bisa bebas keluar masuk kapan saja. Saya bisa
bebas pakai baju, atau tidak pakai baju di rumah saya sendiri. Rumah, home. Jadi mungkin saya sebenarnya tidak
ingin menikah sekarang. Sekarang saya cuma ingin punya rumah. Rumah yang nyaman
dan memberi saya keamanan. Rumah yang memberi saya ruang, bukan malah mengimpit
seperti ini.
Ada yang mau memberi saya satu
milyar buat membeli rumah di Merapi View? Atau adakah yang punya informasi kos
atau kontrakan? Saya cuma pengen istirahat dan menulis dengan nyaman saja kok.
Komentar
Posting Komentar