Autoetnografi apaan sih?

Berbulan-bulan ini saya sedang bergulat dengan satu istilah ini, autoetnografi. Istilah yang menghantui saya dan membuat saya berdebat dengan beberapa orang mengenai kesahihan penggunaan istilah ini. Lalu apaan sih sebenarnya autoetnografi ini? 
Ambil dari sini http://doingautoethnography.org

Autoetnografi sendiri adalah suatu merode penelitian yang meneliti manusia tetapi fokusnya adalah pada diri sendiri. Pada kisah hidup penulisnya sendiri sesuai tema yang diangkat. Hal ini sebenarnya sudah terlihat dari asal katanya itu sendiri, penulisan autoetnografi adalah penulisan yang memberikan penekanan dalam proses penelitian (graphy), pada budaya (ethno), dan pada diri (auto) (Heewon Chang, 2008).
Lalu kemudian apa yang menjadi masalahnya dengan ini. Saya kurang begitu paham sebenarnya dengan maksud dibalik istilah-istilah ini, tapi begini kata teman-teman dan buku mengenai perdebatan seputar metode ini, 
"Bagi orang-orang yang beraliran positivistik, metode ini dianggap sebagai suatu metode yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya karena sangat subjektif. Sangat sulit untuk membiarkan diri tetap netral dan berjarak ketika kita meneliti diri kita sendiri atau lingkungan di mana kita hidup selama ini. Singkat kata, penelitian ini tidak objektif." 
Salah satu kritik yang saya baca adalah kritik dari Sara Delamont dalam artikelnya yang berjudul Arguments againts Auto-Ethnography. Tulisan ini adalah tulisan yang pernah dipresentasikan oleh Delamont pada European Sociological Association conference; ‘Advance in Qualitative Research Practice’ pada September 2006. Tulisan ini juga diterbitkan kembali di Qualiti (halaman 2-4), suatu terbitan mengenai penelitian kualitatif dari Cardiff University pada 4 Februari 2007 (artikel saya unduh pada Kamis, 12 Maret 2015 dari sini). Dalam artikel ini Delamont melakukan kritik yang cukup keras terhadap metode autoetnografi ini, dia mengatakan bahwa metode ini adalah metode yang malas, malas membaca dan malas meneliti (literally lazy and also intellectually lazy). Metode ini juga dikatakannya sebagai metode yang mengambil kewajiban para peneliti karena peneliti itu seharusnya terjun ke lapangan dan bukan malah meneliti diri sendiri di rumah saja. Ya tidak saya kutip dengan tepat di sini, tapi kira-kira begitulah isinya.
Lalu kemudian saya yang tadinya hanya sekadar ingin menggunakan metode ini, mau tidak mau harus mulai memelajarinya dengan lebih sungguh-sungguh agar saya bisa mempertanggungjawabkannya di depan publik. Bahkan dosen pembimbing dua saya saja tidak menyetujui penggunaan metode ini. Main-main sekali kan ya hidup saya ini. Tapi untuk mendebat pernyataan mbak Delamont ini, atau mbak-mbak dan mas-mas yang lain, saya merasa tidak sanggup. Ya... siapalah saya ini. Saya belum lama belajar mengenai metode ini, saya belum pernah menggunakan metode ini untuk melakukan penelitian. Baru saya mau pakai sekali ini saja, saya diperdebatkan. Tapi ya sutralah, maju terus saja. Kata Mbak Katrin, Ibu Dosen Pembimbing, karena sudah dinyatakan dengan eksplisit dalam proposal dan sudah diloloskan, berarti boleh. Alhamdulilah ya...

Naaa... lalu beginilah kira-kira penelusuran saya, tapi untuk tulisan kali ini saya akan lebih banyak refleksinya, soalnya ini blog curhat bukan blog yang ngilmiah.

Saya tidak tau ada masalah apa antara orang-orang yang positivis dengan orang-orang postmodernisme, yang pasti, ketika katanya orang-orang positivis menentang penggunaan metode yang dianggap menye-menye dan emosional ini, metode autoetnografi malah tumbuh di atmosfer postmodernisme. Begini katanya Chang (2008) Perkembangan dari autoetnografi tidak terlepas dari trend di mana subjektivitas dan refleksifitas dari peneliti mulai dihargai dalam pandangan postmoderenisme (Chang, 2008; Wall, 2008). Nah! Saya ini kan cuma mahasiswa ndeso yang nggak tau apa-apa dan harus terseret-seret dalam pertentangan kedua kubu ini. Kubu yang eksistesinya saja tidak saya pahami dan tidak saya ketahui. 
Omongan mengenai tulisan itu subjektif juga diamini oleh Paula Saukko. Semua tulisan itu ya subjektif, nggak ada yang objektif, pasti punya agendanya sendiri, punya sudut pandangnya sendiri (Saukko, 2003: 3). Saukko sendiri pernah menulis pengalaman pribadinya mengenai dirinya sebagai orang yang menderita anorexia, judulnya adalah The Anorexic Self. Tapi saya nggak berani ngomong soal buku ini soalnya saya bacanya belum beneran. 
Tetapi ya, mengenai masalah subjektifitas ini saya juga setuju sebenarnya. Coba beberapa orang diberi masalah penelitian yang sama dan suru mengerjakan sendiri-sendiri, pasti hasilnya akan berbeda. Saya dan teman saya Mas Alwi itu sama-sama meneliti mengenai orang Cina di Indonesia, tetapi apa yang saya baca tidak sama dengan apa yang dia baca. Sudut pandang dia yang bukan orang Cina, dengan sudut pandang saya yang Cina, juga pasti akan membuat perbedaan di tulisan. Minat dia yang sastra dan minat saya yang suka makan, pasti juga akan membuat penelitian dengan tema yang sama ini akan bermuara di tempat yang berbeda. Kata Saukko dalam bukunya Doing Research in Cultural Studies perbedaan-perbedaan dan pengetahuan yang sudah kita bawa itu namanya sosial baggage.
Lalu kemarin ketika saya melihat pertunjukan teater dari Tony Broer yang sepemahaman saya, pertunjukan itu merupakan bahan dari desertasinya, saya jadi bertanya, bukankah itu juga auto? Entah pakai kata etnografi apa bukan tapi autonya. Mas Tony, dan mungkin juga penelitian dalam bidang seni lainnya, dituntut untuk menghasilkan karya dalam tugas ilmiah yang mereka lakukan. Dan selain produk pertunjukkan atau karya, juga pasti ada produk tertulisnya kan ya? Lalu apakah itu juga dipertanyakan keilmiahannya? Kan itu malah bikin karya sendiri, dianalisis sendiri. Iya bukan sih? Apa saya yang gagal paham ya? Apakah kita bisa bilang itu ilmiah jika di dunia seni tetapi tidak ilmiah dari sudut pandang yang lain? Kalau gitu berarti autoetnografi juga pasti memiliki ruang ilmiahnya sendiri kan ya kalau pandangannya begitu. Mungkin tidak ilmiah di sudut pandang antropologi tapi ilmiah di astronomi, siapa juga yang menentukan kan ya? Lalu ilmiah itu yang kaya apa sih sebenarnya? Saya juga ga yakin...
Hal lain yang diangkat adalah izin penelitian atau publikasi (informed consent) dari orang yang kisahnya kita masukkan dalam cerita. Sebagai contoh yang diangkat Mbak Delamont (2007) adalah jika penulis menceritakan tentang ibunya yang mengalami gangguan mental, pasti penulis itu tidak meminta izin terlebih dahulu sama ibunya kalau dirinya akan dimasukkan dalam penelitian. Tapi, sejauh yang saya ketahui, jika saya mewawancara seseorang, sebut saja Bunga, maka saya akan meminta izin dan memberikan informed consent itu pada si Bunga. Perkara di situ nanti Bunga menceritakan tentang ibunya, neneknya, tetangganya, atau pacarnya kan itu termasuk data dari si Bunga kan ya? Saya nggak usah meminta izin juga pada neneknya atau pacarnya karena mereka ada dalam kehidupan Bunga. Tapi itu saya juga nggak yakin, itu cuma pikiran saya semata, belum ada bukti tertulisnya, makanya saya nulisnya di sini bukan di Artikel Ilmiah yang saya tulis.
Lalu kemudian kalau ada yang bilang metode ini malas, pasti para pelakunya sangat tidak setuju dengan hal ini. Ini memang kisah hidup, tetapi kisah hidup ini tidak hanya kita sajikan dan tidak kita apa-apakan lagi. Beberapa penelitian akan mencari apa wacana yang ada di balik kisah hidupnya. Beberapa menggunakan pengalaman prbadinya untuk menentang wacana dominan yang ada. Sebagai contoh penelitian mengenai jilbab pada akhirnya sampai pada permasalahan gender dan feminisme, tidak hanya bagaimana orang tersebut mendapatkan hidayah lalu memakai jilbabnya begitu saja. Dan kesulitannya adalah sama seperti yang banyak diperdebatkan selama ini, bagaimana caranya kita bisa menganalisis itu semua dan mengambil jarak dari apa yang terjadi. Kami sadar kami ini nyemplung dalam permasalahan dan kondisi yang seperti apa. Kami harus terus menerus menyadari bahwa ada jarak yang harus diambil. Bahwa ketika analisa dimulai, data adalah data. Bisakah? Saya belum mencoba...
Autoetnografi ini memang bukan metode penelitian yang pas untuk semua tema. Sama dengan statistik yang tidak bisa untuk mengungkap ideologi, atau metode wawancara untuk membuktikan pertumbuhan mikroba. Tema-tema apa saja yang pas? Na itu saya juga belum yakin, kalau saya tau saya sudah akan melakukan revisi di bab 1 saya. Yang pasti beberapa masalah mengenai religiusitas, relasi, pengalaman kebertubuhan, gangguan mental, dan permasalahan ras sudah banyak diteliti dalam metode ini. Dan datanya sejauh yang saya tau adalah berupa kisah atau narasi. Boleh hanya diri penulis, boleh juga dibandingkan dengan pengalaman yang sama dari pihak lainnya. Ilmiah atau tidak, Carolyn Ellis sudah jadi profesor dengan penelitian model ini dan mengajarkannya ke mana-mana. Mungkin beliau bisa membantu saya berargumen mengenai masalah ini. Yang pasti, Ellis (2004), menyatakan bahwa metode ini juga memiliki efek menyembuhkan bagi penulisnya. Pernyataan yang diamini beberapa pelaku penelitian autoetnografi lainnya. Dan sosial baggage yang saya miliki adalah saya orang psikologi, saya peduli dengan kesehatan mental, baik mental saya yang tidak baik, maupun mental orang-orang lain. Saya ingin ini bisa dipakai sebagai salah satu alternatif metode penelitian di bidang psikologi, walaupun orang-orang psikologi lebih suka mencari hubungan dan perbedaan dengan uji t. Tapi apa salahnya kan ya jika kita mencoba. Lebih Mudah Dikatakan daripada Dilakukan, begitu kata Sarah Wall seperti yang bisa kita lihat di bawah ini.





Komentar

  1. Saya ingin menggunakan metode itu buat meneliti hukum adat. Sudah banyak terjemahan belum ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. haloo, lama tidak buka blog. Lebih baik telat lah ya daripada ga ada sama sekali. Untuk terjemahan saya belum menemukan untuk teorinya.

      Hapus
  2. Halo..bolehkah saya minta kontak mbaknya? Mau bertanya tentang autoetnografi. Salam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, maaf telat setahun. Silakan kalau mau kontak bisa dm di Instgram. Semoga masih berguna.

      Hapus


  3. Izinkan saya sebagai mahasiswa tahun kedua program 4 tahun di belahan benua biru share ide.
    1. Setiap penelitian, idealnya didasarkan pada alasan epistimologi & ontologi apapun paradigma risetnya (positivist, intrepretivist, social constructivist, atau yg lainnya). Alasan itu idealnya utk kebaikan manusia dg menaati etika penelitian menghindari efek yg merugikan partisipan. Di sini, sudut pandang mana yg akan dipakai oleh peneliti. Apakah dia melakukan penelitian dg perspektif deontology, utilitarianism, atau virtue ethics. Semua berpangkal dr landasan filosofis seorang peneliti melakukan penelitian. Mungkin perlu ditilik di bagian ini dulu sebelum terjun di perdebatan bagaimana autoetnografi dikritik dan mempertanyakan apa salahnya.
    2. Mengenai pernyataan Delamont ttg informed consent tdk didapat dr org gangguan mental, ya itu benar. Org dg gangguan mental ga memenuhi syarat utk ngasih konsen. Yg bisa dilakukan adl minta ke gate keepernya dg catatan apakah si calon partisipan yg gangguan mental ini valid sebagai partisipan? Untuk urusan research ethics ini ndilalah ketentuan riset di Indonesia belum segarang di Eropa. Informed consent ini wajib didapat di ranah penelitian di Eropa, bahkan untuk eksperimen binatang. Bagi partisipan yg dinyatakan vulnerable & disinyalir 'tidak mampu memberikan konsen secara sehat fisik dan mental' maka butuh persetujuan gate keeper.
    3. Autoetnografi memanglah metodologi problematis. Jangankan meneliti diri sendiri, meneliti orang lain saja tendensi biasnya besar. Pitfall autoetnografi adl pada sisi 'membenarkan tindakan diri sendiri' seolah itu objektif. PR-nya bagaimana penggunaan instrumen data gathering & interpretasi data mjd objektif?
    4. Social baggage atau istilah lainnya reflexivity merupakan tantangan di setiap penelitian dg payung qualitative. PR-nya adalah bagaimana reflexivity ini dipakai utk membuat penelitian qualitative menjadi objektif & bisa dipertanggungjawabkan scr empiris?
    5. Perdebatan akan selalu ada apapun pilihan metodologi penelitian yg dipilih. Good luck!!

    BalasHapus
  4. Menurut saya, dalam bidang ilmu sosial dan ilmu humaniora jenis penelitian autoetnografi sangat sah untuk digunakan. Objektif maupun subjektif sudah bukan menjadi suatu pertentangan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith