Kemarahan-kemarahan ini

Marah-marah sebenarnya bukan problem baru dalam hidup saya. Bagi banyak orang yang mengenal dan mengikuti kehidupan saya sampai sekarang, pasti banyak yang sudah pernah melihat saya marah atau menjadi sasaran kemarahan saya. Sekarang hal ini mulai terasa menggangu saya dan saya perlu berbicara untuk memahami ini dan berharap menyelesaikannya.
Banyak hal yang membuat saya marah dan menaikkan darah ke kepala dan membuat saya menaikkan nada bicara saya dan melontarkan banyak kata-kata yang menyerang orang lain. Percayalah, saya ahli dengan hal itu. Salah satu hal yang paling membuat saya marah adalah ketika ada orang yang memaksa saya melakukan sesuatu dengan alasan demi kebaikan saya, dan ketika saya menolak, saya masih dipaksa juga. Ada satu kejadian yang sampai sekarang kalau saya mengingatnya saya masih merasakan tercekat di tenggorokan ini karena masih pengen marah juga. Ketika itu seorang teman memaksa saya untuk ke Bali dan memaksa saya dengan ancaman. Saya sudah menolak dengan baik dengan beberapa alasan. Dan saya tidak punya uang untuk membiayai perjalanan itu. Dan saya masih diminta untuk melakukan perjalanan itu. Maka meledaklah saya. Itu perjalanan yang saya lakukan, waktu yang saya miliki, dengan anggaran yang saya punya. Jika saya punya waktu, punya dana, ya saya akan berangkat. Kenapa harus dipaksa sih? Jadi karena hal itu, dan karena darah ngeyel saya yang mengglegak dalam diri saya. Ada masa-masa yang cukup lama di mana saya tidak mau ke Bali hanya karena saya tidak mau manut sama teman saya itu. 
Saya pernah meledak lagi karena ada teman yang janji-janji palsu. Sebut saja Joko dan ini bukan nama sebenarnya. Si Joko ini menjanjikan untuk mencetak poster. Hari ini dia bilang besok. Keesokan harinya Joko bilang nanti sore, sore harinya, dia bilang sedang melihat kura-kura. Jadi sebenarnya kalau mengingat ini, saya tidak menyesali alasan saya untuk marah dengan si Joko ini. Yang selalu saya sesali adalah produknya.
Saya marah lagi kalau ada orang yang bagi saya tidak logis. Contoh paling dekat adalah masalah toilet degan seorang teman yang lain lagi. Kita sebut saja dia Mawar. Saat itu kami masih di kampus dan saat akan naik motor, Mawar yang posisinya membonceng saya itu minta untuk berhenti di pom bensin dalam perjalanan karena kepengen pipis. Dan saya walaupun tidak meledak, saya mengeras kala itu. Bagi saya tidak logis untuk harus berhenti lagi di pom bensin karena mau ke toilet, sedangkan kampus itu berisi sangat banyak toilet dengan air yang banyak dan bersih dan boleh dipakai siapa saja. 
Lain waktu saya marah lagi karena ada teman saya yang merasa tidak layak berteman dengan saya karena dia merasa tidak cukup pintar. Atau saya marah lagi karena si Joko ini berusaha menghindar. Atau saya marah lagi karena ada orang yang menginginkan sesuatu tapi tidak mau mencoba atau berusaha untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Atau saya marah lagi atau biasanya berusaha mengabaikan, orang yang selalu minta diyakinkan bahwa keputusannya atau apapun itu tidak apa-apa dia lakukan. 
Ada beberapa kasus kemarahan saya adalah berupa ledakan begitu saja yang tidak dapat saya kendalikan sampai ke produknya. Suara saya akan naik dan saya akan menyalak begitu saja. Di lain waktu saya sadar saya tidak suka dan saya langsung mengeras begitu saja. Saya marah tapi nggak keluar itu ya untuk sasaran orang-orang tertentu saja sih kayanya.
Yang membuat saya agak aneh adalah kejadian kemarin ketika saya tabrakan sama motor lain. Ketika itu saya akan membelok ke kanan, masuk gang dan saya ditabrak dari kanan. Saya dan mbak-mbak yang nabrak saya ini sama-sama jatuh. Saya ya jatuh aja begitu di aspalan. Alhamdulilahnya, saya pakai helm yang biasanya sudah langsung saya copot kalau masuk daerah yang aspalnya nggak ada garis-garisnya. Begitu terbangun, saya melihat mbaknya, dengan posisi masih duduk di aspal dengan sandal copot sebelah entah ke mana, saya bertanya, "Aku riting ngga ya tadi?" Dan si mbak menjawab tidak. Lalu berikutnya saya melihat motor saya dan lampu sen saya yang sebelah kanan masih ketip-ketip. Dan cerita ini berakhir begitu saja, kami sama-sama berdiri dibantumas-mas dari warung di sebrang gang. Saya dikasi air minum, dan bubar begitu saja.
Dan yang saya dapati adalah teman-teman saya heran dengan apa yang saya lakukan. Saya menangkap, teman saya si Joko ini menduga bahwa saya pasti akan langsung marah-marah sama mbak yang nabrak saya itu. Teman lain tampaknya heran karena saya tidak melanjutkan urusan dengan mbak penabrak. Saya tidak tahu dan tidak paham bagaimana sebenarnya prosedur tabrakan yang baik. Apakah saya harus bertanggung jawab atau meminta tanggung jawab? Yang pasti saya tidak marah pada saat tabrakan itu terjadi, saya tidak marah sampai dua hari kemudian saat saya mebuat tulisan ini. Saya juga bilang dengan teman saya Mas Mbek, kalau ini nama sebenarnya, kalau saya lebih marah dengan orang yang merasa tidak layak dari pada dengan orang yang nabrak saya. 
Saya juga tidak marah-marah sama Kenzie yang menyebarkan remah-remah di kamar saya, atau menumpahkan air ketika dia berusaha minum sendiri dari gelas. Tapi saya pasti marah-marah kalau yang rantap-rantap itu simbok atau bapaknya Kenzie. Jadi juga tergantung siapa pelakunya dan apa kelakuannya.
Jadi begitu kira-kira kisahnya ketika saya mencoba memahami dan menjawab pertanyaan dari seorang sahabat sekaligus pembimbing rohani sekaligus tukang bully saya. Pertanyaan: apa kecenderunganmu? Apa akar masalahnya?
Sering kali atau malah pada hampir setiap kemarahan saya akan menyesali apa yang sudah saya perbuat dan saya katakan. Walau demikian, mungkin juga ini hanya mencoba mencari pembenaran, saya merasa benar dengan alasan-alasan saya untuk tidak suka atau tidak setuju terhadap suatu hal. Saya jelas tidak setuju dengan janji-janji yang tidak bertanggung jawab dari si Joko yang bukan nama sebenarnya itu. 
Saya selalu merasa tidak cukup sabar dan tidak cukup rendah hati (jangan-jangan kalimat ini juga sudah sombong ya). Saya juga sering merasa bahwa saya akan mencoba lebih baik di kesempatan yang lain. Tapi kadang ketika kesempatan itu datang, saya menemukan alasan lain untuk marah. Atau bagaimana jika tidak ada kesempatan lainnya. Pada beberapa orang, saya merasa saya sudah tidak memiliki kesempatan lagi. 
Yang saya pikirkan sekarang adalah bagaimana produk dari kemarahan saya bisa keluar dengan cara yang lebih baik atau lebih lembut paling tidak lah ya... Atau kadang saya hanya merasa perlu untuk memastikan bahwa ada alasan yang benar dan kuat di balik kemarahan saya. Atau terkadang saya juga merasa tidak apa-apa untuk marah karena banyak orang di sekitar saya juga mengungkapkan kemarahan-kemarahannya. Sama seperti Simbok saya yang juga marah kepada teman-temannya, saya juga kadang merasa benar untuk marah. Di sisi lain, buat saya marah juga berarti meposisikan diri lebih tinggi dari orang lain, lebih benar, dan itu adalah hal yang bagi saya juga tidak benar. Ya saya memang ruwet begini adanya. Saya harap, ini hanyalah sebuah fase saja, suatu tahapan yang akan berakhir dan berlalu. Saya harap...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith