Manusia Tidak Dapat Hidup Hanya dari Ayam Penyet Saja

Tahun ini adalah tahun ke-13 saya hidup merantau dan menjadi anak kos di Jogjakarta yang walaupun sering macet hebat tetapi masih saya rasa menjadi rumah yang nyaman bagi saya. Salah satu hal yang sangat menjadi pertanyaan setiap harinya sebagai anak kos adalah, “Mau makan apa hari ini?”

Mungkin tidak semua orang yang mempertanyakan hal ini, tapi dari lingkungan saya yang hobi makan, pertanyaan mau makan apa itu menjadi pertanyaan yang sangat sering muncul. Bisa sehari sampai tiga kali. Ditanyakan kepada diri sendiri ataupun ditanyakan kepada teman yang sedang bersama-sama. Belum lagi kalau lapar di antara jam makan, “Mau ngemil apa sore ini?” Dan jawaban yang paling menyebalkan adalah terserah atau manut. Tambah nyebelin lagi kalau sudah diajukan alternatif yang menjawab terserah itu nggak mau makan alternatif yang kita ajukan. La buat apa coba jawaban terserahnya…
Jogja saat ini dengan Jogja 13 tahun yang lalu tentulah mempunyai warna dan alternatif tempat makan yang berbeda. Dulu menurut saya tidak mungkin seorang sekali makan habis sampai satu juta rupiah tanpa mati kekenyangan, sekarang hal itu sudah mungkin dilakukan di Jogja. Jogja juga memberikan alternatif petualangan kuliner yang beragam. Dari kawasan Prawirotaman yang menyediakan berbagai macam makanan barat. Tempat makan ramen dan shusi yang semakin menjamur untuk memberi kita kesempatan merasakan masakan Jepang, ditambah dengan kedai takoyaki yang semakin menjamur. Masakan India, peranakan, Thailand, dan trend baru yang sekarang banyak muncul adalah makanan Korea. Di sisi lain ada pertumbuhan jenis makanan yang bergenre inovatif atau menganut suatu paham tertentu. Seperti ada festival jajanan kekinian yang mengusung makanan sejenis es krim pot, pancake, dan berbagai jenis dessert ataupun minuman dengan bentuk yang semakin ajaib. Ada juga jenis makanan yang tumbuh karena munculnya kesadaran akan kesehatan dan lingkungan, seperti makanan organik dan vegetarian. Semuanya ada, semuanya tersedia untuk dicoba.
Saya ini termasuk orang yang sangat menikmati petualangan rasa. Ada teman saya, dan biasanya teman ini cowok, yang bisa setiap hari makan di burjoan atau indomian—bukan sponsor tetapi memang begitu orang Jogja menyebut tempat makan yang jualannya mie instan—tetapi saya ini orang yang memilih berganti menu setiap kali makan. Bicara soal mie instan ini, sebenarnya mie ini sudah dibuat instan dan begitu praktis agar orang-orang bisa memasaknya sendiri di rumah kan ya. Hanya tinggal rebus air masukan mie, campur dengan bumbu-bumbu dan jadilah. Rasanya pasti begitu sebenarnya, hanya tinggal presisi mencampurkan air untuk mie rebus. Tapi, di Jogja ini orang-orang, terutama kami yang anak kos ini, tetap menuju warung indomie untuk makan mie instan, bahkan ada tempat-tempat favorit di mana kami merasa mie instan di tempat itu lebih enak. Saya sadar ini absurd, tetapi ya begitulah.
Nah… kembali ke pembicaraan utama kita. Saya cukup beruntung bisa menikmati dan memiliki kesempatan untuk mencoba berbagai macam tempat makan yang ada di Jogja. Saya selama ini selalu memiliki teman-teman yang sama-sama rela berkendara jauh-jauh untuk mencoba sesuatu. Seperti makan nasi goreng sampai pinggir kali code, atau berkendara jauh-jauh dari Jogja sampai Bantul untuk makan ayam goreng atau mangut lele. Saya juga punya teman-teman yang murah hati yang membayari saya makan sushi di tempat makan yang mahal itu, makan steak, sampai makan sop buntut di dalam hotel yang keren bingit. Saya juga berteman dengan orang-orang yang menggemari keju dan pasta dan hal ini membuat saya juga tertarik untuk mencoba berbagai macam pasta yang memang menjamur di Jogja ini. Padahal 13 tahun yang lalu ketika pertama kali mencoba pizza di Pizza Hut (maklum saya anak desa jadi tidak tau makanan kota besar) saya benar-benar tidak suka dengan rasa keju dan diare setelahnya. Sedih ya…
Jadi buat saya, apa yang kita suka dan apa yang tidak disukai itu adalah suatu proses belajar dan pembentukan selera. Saya ingat pertama kali makan sate padang dengan bumbunya yang kental dan berwarna kuning itu saya sangat tidak suka dengan rasanya dan merasa aneh dengan teksturnya. Tetapi karena teman saya suka dan beberapa kali mengajak saya makan di tempat itu, saya jadi merasa sate padang itu baik-baik saja, dan terkadang saya malah kangen untuk makan. Selama di Jogja ini saya juga untuk pertama kalinya makan kepiting, makan nasi padang, makan sushi, makan pete, makan terong, makan pare, makan jengkol, makan keju yang beneran, makan steak, makan papeda, sampai mencoba belalang.
Tidak semua jadi saya sukai memang, saya tidak masalah dengan rasa belalang, tetapi saya tetap bermasalah dengan bentuknya. Saya yang dulunya tidak berani makan jengkol, sekarang bisa makan walaupun sedikit setiap kalinya. Sama-sama mencoba di saat yang sama, yaitu saat KKN, saya sekarang lebih suka makan pare daripada terong. Alhamdulilahnya, saya itu orang yang penasaran untuk mencoba banyak hal dan saya tidak alergi dengan berbagai jenis makanan dan saya juga doyan banyak hal. Dari yang matang banget, agak matang, setengah matang, sampai yang mentah-mentah. Saya bisa makan dari kimci, blue cheess, sampai wasabi.
Tetapi semakin ke sini, setelah mencoba berbagai macam hal, pada akhirnya saya merasa bahwa saya tetap lebih suka untuk makan nasi dengan lauk dan sambal. Dengan harga yang sama saya ternyata lebih memilih untuk makan nasi empal dan sambal daripada sepiring carbonara. Bagi otak saya, rasa kenyangnya beda dan kepuasan psikologisnya juga berbeda. Walaupun saya suka makan aneh-aneh, setiap harinya saya tetap lebih suka untuk sarapan soto dan makan siang dengan ikan pindang dan tumis sawi. Selain itu, makan aneh-aneh itu bukan makanan dengan budget sehari-hari.
Di sisi lain lagi, saya ini juga mengalami penuaan dan kondisi kesehatan yang buruk. Tanpa saya sadari ternyata saya hidup dengan gula darah yang tinggi. Sampai pada tahun 2011 saya periksa darah dan ternyata angka gula darah puasa saya menembus angka 280 dari yang seharusnya di bawah 100. Saya sebenarnya sekarat kalau tidak mengganti gaya hidup dan gaya makan saya. Dari 2011 itu saya mencoba untuk mengganti gaya hidup saya. Walaupun masih tidak banyak yang saya lakukan sampai sekarang, olahraga masih kadang-kadang, makan juga masih seketemunya. Yang pasti sudah saya ubah adalah gaya minum saya. Sebelum saya tau gula darah saya tinggi itu saya hampir setiap hari minum teh atau jus buah kemasan, yang ternyata gula di dalamnya sangat tinggi dan hal itu saya hentikan. Sekarang saya sering merinding sendiri melihat orang-orang yang tiap hari minum soda atau minum jus jeruk dengan bulir dalam botol, gulanya Saudara… Saya juga baru paham kenapa dulu saya juga sering mengantuk saat berkendara sampai tidak bisa ditahan. Mengapa dulu sering begitu haus dan tidak bisa dipuaskan dan membuat saya minum lebih banyak minuman dingin yang manis. Dan ketidakseimbangan gula ini juga yang ternyata membuat gigi saya mudah bolong dan jika saya tidak salah diagnosis, ada masa-masa di mana saya dulu tiba-tiba merasa mual, mulut menjadi pahit, dan berkeringat dingin yang kemudian saya simpulkan sebagai hipoglikemik. 
Yang kemudian menjadi kendala saya saat ini untuk hidup lebih sehat adalah keterbatasan sumber daya, dan ya, malas juga sih. Saya ini tetap anak kos yang bagi saya repot untuk memasak makanan yang lebih sehat dan ramah dengan tubuh saya. Alat yang saya miliki terbatas, kemampuan dan minat saya untuk memasak baru berkembang setahun belakangan ini. Berbelanja juga biasanya menuntut waktu dan barang yang ada juga dalam jumlah banyak yang tidak habis sekali makan. Saya pernah membeli wortel dua biji dan itu bisa saya masak untuk empat kali makan. Dan yang pasti, saya memiliki uang yang terbatas.
Saya bisa mengakses dan menjangkau makanan sehat di Jogja ini, tetapi makanan sehat yang tersedia itu harganya bisa dua sampai tiga kali lipat makanan sehari-hari. Sepiring salad dengan dressing minyak zaitun itu harganya bisa tiga kali lipat dari harga ayam penyet. Jika siang hari saya masih mungkin untuk memilih nasi sayur bayam dengan tahu dan tempe di warung simbok-simbok di sekitar kos atau kampus, tetapi mencari makan di malam hari itu menjadi tantangan tersendiri. Malam di mana badan sudah lelah karena aktivitas yang padat, dan ingat, kondisi tubuh saya juga kembang kempis, saya terkadang sudah tidak ingin makan yang nasi yang berat, atau lauk-lauk yang digoreng dan penuh minyak. Ingat lagi, ini kadang-kadang, karena ada malam saya juga kangen nasi goreng pete ataupun gudeg. Tetapi pilihan makan ‘normal’ di Jogja itu terbatas. Silakan ditelusuri sepanjang jalan Kaliurang atau jalan-jalan lain yang berderet begitu banyak tempat makan, pilihan yang banyak disediakan adalah penyetan, nasi goreng, mie jawa, rumah makan padang, atau babi-babian, atau sate, sengsu, sop di beberapa tempat, dan masakan cina. Dari sekian banyak tempat makan tersebut yang menyediakan cukup banyak sayuran palingan hanya masakan Cina dan sayur ubi tumbuk yang menyertai babi panggang Karo. Di mana sehatnya kalau makan sayur ubi tumbuk dan itu tidak murah juga sih. Ada malam-malam di mana saya ingin makan salad saja yang segar dan tidak dimasak, tetapi untuk menjangkau salad itu harus masuk ke rumah makan Itali, dan harganya biasanya 30K.
Ya mungkin pengetahuan saya untuk mengakses tempat makan yang sehat itu yang kurang, sehingga saya tidak tau jika ada tempat makan yang menjual makanan sehat yang terjangkau dengan dompet saya. Mungkin pemahaman saya tentang makanan sehat yang salah sehingga saya beranggapan bahwa makanan yang sehat adalah sayuran yang banyak dan disiram dengan ekstra virgin olive oil. Mungkin dompet saya yang salah karena tidak bisa menjangkau makanan sehat yang tersedia di pasaran. Mungkin juga saya yang malas karena tidak mau memasak makanan sehat untuk diri saya sendiri. Yang pasti terkadang saya ingin ada tempat makan yang menyediakan makanan alternatif selain yang saya sebutkan di atas dengan harga yang terjangkau di kantong sehingga bisa saya jadikan bagian dari menu makan saya sehari-hari—bukan menu perayaan. Menu makanan yang sehat dengan rasa yang akrab di lidah saya yang Indonesia ini. Makanan yang bisa menjadi bagian gaya hidup saya sepanjang hayat dan membuat umur saya lebih panjang, bukan memangkasnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith