Gong Xi Fat Cai, pa?

Kalau biasanya Dewi Lestari atau Dee memberikan nukilan bukunya yang akan terbit di buku-bukunya yang lama, maka ini juga nukilan cerita dari tulisan yang saya harap akan jadi segera. Belum tentu untuk diterbitkan sih, tapi paling tidak akan diujikan. Entah kapan, jangan ditanya! Karena penelitian saya adalah autoetnografi, maka data pribadi menjadi isi dari bab 2 penelitian saya ini, dan ini adalah sepenggal darinya. Ini adalah pengalaman saya di malam Imlek kemarin, karena pengalaman ini masih segar dan ternyata masih terasa emosi dan ketidaksenangannya, kalau tidak mau dibilang marah, jadi sama Bu Dosen disuruh mengevaluasi lagi setelah bisa ambil jarak. Jadi daripada dibuang sia-sia, maka saya taruh sini saja.

Imlek tahun 2016 atau tahun Cina 2567, malam sebelum pergantian tahun baru, dan saya mendapatkan pesan dari seorang teman, “Kowe Imlekan ora?” Pertanyaan yang menanyakan apakah saya merayakan tahun baru Imlek. Saya jawab bahwa saya tidak merayakannya. Malam ini saya hanya berada di kamar kos seperti malam-malam biasanya. Tidak ada perayaan apapun, bahkan saya tidak ada rencana untuk pulang ke rumah Mamah besok paginya. Tidak ada…
Teman saya ini kemudian bercerita tentang ramainya kota Solo yang merayakan Imlek. Tidak banyak yang dia katakan, tetapi imajinasi aku sudah berjalan liar. Betapa ramainya kota Solo malam ini dengan semua kemeriahan khas Imleknya, lampion-lampion, musik yang meriah mengiringi tarian Barongsai atau Liong. Pastinya ada banyak masakan khas Cina di mana-mana, kue kranjang, warna-warna merah, dan semua kemeriahan lainnya. Lalu pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, “haruskah saya terlibat semua itu?”
Saya yakin malam ini di rumah saya kegiatan berjalan seperti biasa. Mamah saya juga akan buka dan menutup tokonya seperti biasanya. Yah, mungkin besok toko akan buka lebih siang dari biasanya. Tapi paling-paling hanya itu penanda dari Imlek di keluarga saya. Kakak saya, entahlah. Saya juga tidak merasa ada kewajiban untuk memberikan ucapan selamat kepada keluarga saya dalam hal ini. Ucapan selamat yang saya sampaikan malah kepada teman-teman yang tidak benar-benar keturunan Cina tetapi entah karena menikah, entah karena wajah yang mirip, entah karena hanya bercanda, jadi dianggap Cina di kalangan teman-temannya. Malahan ada beberapa hari kemudian ada seorang teman saya yang orang Jawa menikah dengan seorang wanita keturunan Cina yang malah meminta saya untuk mengucapinya selamat tahun baru karena dia sekarang merayakan Imlek mengikuti pihak istrinya.
Saya jadi mengingat beberapa saat yang lalu saat saya berkunjung ke sebuah toko buku diskon. Ada banyak buku yang dijual murah di tempat itu, termasuk banyak kamus tebal untuk berbagai bahasa. Tiba-tiba saja saat aku sedang melihat-lihat dan menginginkan kamus bahasa Spanyol, teman saya ini menceletuk, “kamu ngga beli kamus Tionghoa?”
Bagaimana aku harus merespon kalimat tersebut, ya? Saya merasa tidak bisa langsung meresponnya. Haruskah saya membeli kamus Tionghoa? Untuk apa? Sama seperti saat ini. Haruskah Saya merayakan Imlek? Haruskah saya mengerti bahasa Cina? Haruskah saya tahu di mana bisa membeli kue bulan? Hanya karena saya lahir di keluarga yang Cina dan membawa gen sipit ini, haruskah saya tertarik dengan semua yang berbau Cina?
Hari seperti Imlek ini adalah masa-masa di mana saya mengalami krisis identitas. Di mana saya mempertanyakan ulang keberadaan saya. Saya belajar untuk membuang dan tidak tertarik dengan semua yang terkait dengan Cina di masa kecil saya. Menjadi Cina itu tidak enak. Menjadi Cina itu berarti tidak bisa bercita-cita untuk menjadi polisi atau tentara atau presiden. Menjadi Cina itu berarti berpikir seratus kali untuk masuk ke sebuah sekolah favorit karena sekolah itu berstatus sekolah negeri. Menjadi Cina itu berarti dipertanyakan terus menerus, apakah bisa berbahasa Cina, siapa nama Cinamu? Rasanya aku ingin berteriak, apakah kita tidak tinggal di Indonesia yang sama? Tidak tahukah kalian bahwa semua hal itu dilarang, bahkan punya nama saja kami tidak boleh dan kalian masih bertanya? Seumur hidup saya tidak tahu apa itu Imlek. Seumur hidup saya tidak pernah menerima angpao dalam rangka Imlek. Dan kenapa semua orang meminta angpao kepada saya? Saya bahkan tidak doyan makan kue kranjang. Lebih enak jenang dodol, kalian tahu?

Saya kelelahan menjadi Cina, tapi saya tidak dapat menjadi yang lain. Dan sekarang ketika semua dirayakan kembali, ketika semua perayaan Cina ini menjadi trend di mana-mana, rasanya saya dipaksa untuk tertarik. Penelitian ini juga membuat aku terseret lebih jauh. Tapi saya tidak tertarik dengan semua warna merah dan perayaan ini.
Perayaan Imlek memang menjadi bagian dalam kehidupan saya selama ini. Tapi tidak dengan cara sebagaimana ini dirayakan sekarang. Imlek selama ini selalu hening dan hampir tidak terasa. Hanya menjadi satu penanda waktu yang rasanya berlalu begitu saja tanpa arti. Ketika hal itu menjadi publik dan semua orang merayakannya, merayakan dengan semua labelnya mengenai keberagaman dan toleransi, saya menjadi tersesat dan tidak tahu harus berdiri di mana.
Stereotipe tetaplah menjadi suatu dasar seseorang untuk mengenal dan memperlakukan orang lain. Sama seperti ketika diskriminasi dan penyingkiran dilakukan berdasarkan stereotipe yang beredar, ternyata hal yang sama terjadi ketika suatu kelompok diterima dan dirayakan. Saya diperlakukan berdasarkan stereotipe ketika teman saya itu menanyakan kenapa saya tidak membeli kamus tionghoa. Saya merasa diperlakukan berdasarkan stereotipe ketika orang-orang mengharapkan saya tertarik dengan perayaan Imlek atau segala hal lain yang terkait dengan Cina.
Saya punya ketertarikan dan minat-minat saya sendiri, dan ternyata itu tidak terkait dengan gen dan garis keturunan saya. Dan karena budaya atau tradisi itu adalah sesuatu yang performatif, maka ketika hal itu tidak performatif dalam kehidupan saya, bahkan ada masa-masa ketika hal itu dilakukan malah akan mencelakan berkali lipat, maka saya belajar untuk tidak menyukainya. Saya belajar untuk menghindari dan mengabaikan hal itu. Sampai saat ini, banyak hal yang terkait dengan kecinaan membuat saya masih menghindar dengan tidak nyaman. Tidak menjadi netral memang.
Saya sendiri tidak berbeda jauh dan juga memberlakukan standar ganda sebenarnya. Ada saat-saat di mana saya juga memperlakukan sesama orang Cina dengan stereotipe yang banyak orang pakai. Seperti ketika ada teman yang bercerita bahwa murid yang dia ajar adalah seorang keturunan Cina yang memanggil saudaranya dengan Mas dan adik, Saya juga merasa aneh. saya jadi bertanya-tanya, mengapa orangtuanya mengajari untuk memanggil kakak atau adiknya dengan istilah tersebut bukan dengan istilah yang biasa dipakai di keluarga Cina seperti Koko, misalnya. Walaupun saya sendiri juga sudah banyak menemukan bahwa sebutan dalam keluarga Cina semakin tidak tradisional, seperti dalam keluargaku sendiri juga sudah tidak memenuhi standar baku dalam rangka sapa menyapa. Semua disamaratakan dengan Om dan Tante, tidak lagi pakai Ko, Ku, Cik, Ik, Pek.
Yah... yang pasti saya merasakan keadaan sudah banyak berubah dan bergeser, Mungkin menjadi Cina tidak lagi sememalukan dan seberbahaya beberapa tahun yang lalu, dan saya juga harus menyesuaikan diri dengan itu. Mungkin begitu...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith