Apa Agama Saya?

Beberapa hari yang lalu saya sedang berada di sebuah tempat perawatan kecantikan dan berencana untuk melakukan pembersihan wajah di sana. Saat mendaftar ternyata untuk bisa melakukan perawatan di tempat itu harus tercatat sebagai anggota. Maka dimintalah kartu identitas yang saya miliki. Karena KTP saya saat itu sendang menjadi jaminan meminjam buku di perpustakaan, maka saya menyerahkan SIM. Saya juga dimina untuk mengisi formulir pendaftaran dan mengisikan data diri saya seperti alamat dan tempat tanggal lahir. Kemudian data tersebut dipindahkan ke komputer, saat itu saya kemudian ditanya, agama saya apa.
Rasanya langsung ada suatu tombol yang menyala di kepala saya. Apa relevansinya menanyakan agama di salon kecantikan? Saya masih menanyakan relevansi tersebut dan teman saya akhirnya yang menjawabkan apa agama saya. Perdebatan yang kemudian masih saya panjang-panjangkan lagi di sosial media. Ada yang kemudian berkata agar saya tidak negatif thinking dahulu dengan pertanyaan tersebut, nanti saya tidak cantik katanya, karena kecantikan itu berasal dari dalam diri.
Saya kemudian memikirkan apa yang saya rasakan mengenai pertanyaan ini. Ada ketidakterimaan dalam diri saya mengenai pertanyaan tentang agama di sebuah salon kecantikan. Saya heran dan penasaran mengenai apa relevansi dan dan kepentingan dari salon tersebut akan data agama ini. Apakah akan ada pembedaan perlakuan, ataukah akan ada promo yang terkait dengan agama? Dalam benak saya, ya hanya itu pentingnya data agama di salon kecantikan.
Beda urusan jika tempat itu adalah kantor pemerintahan, sekolah, atau rumah sakit. Agama menjadi faktor penting untuk tempat-tempat ini. Sekolah sebagai sarana penyalur ideologi, dan rumah sakit menjadi tempat di mana banyak negosiasi dengan Tuhan dilakukan. Maka tahu agama dari para penggunanya adalah suatu faktor yang perlu diperhitungkan.
Saya ini orang yang memang berada di sekolahan yang mempermasalahkan hal-hal yang lumrah semacam memasukkan data agama di KTP. Saya belajar untuk mempertanyakan itu. Jika data agama dibutuhkan untuk mengisi KTP, maka adalah lumrah untuk menanyakan apa agama seseorang di salon kecantikan. Tidak. Buat saya itu tidak lumrah.
KTP di Indonesia pernah menjadi sarana jahat untuk menandai seseorang dan melakukan diskriminasi pelayanan. Pada suatu masa KTP itu menjadi penanda apakah seseorang itu seorang ekstapol atau orang keturunan Cina. Efeknya, ada yang membayar lebih mahal untuk jasa tertentu, ada pelayanan yang tidak bisa diberikan untuk orang dengan kode tertentu, ada tempat-tempat atau posisi yang tidak bisa diperoleh dengan KTP bertanda tersebut.
Lebih jauh lagi saya kemudian memertimbangkan diri saya ini, jika tahun 1965 itu tidak pernah ada, dan kemudian pemerintah tidak memberikan undang-undang agar semua warga negaranya memeluk agama dari lima agama yang diakui negara, bisa jadi, saat ini saya beragama Kong Hu Chu. Bisa jadi akan ada banyak agama lain yang beragam dan mewarnai Indonesia. Bisa jadi juga akan terjadi perpecahan yang lebih semarak, bisa jadi.
Ternyata apa yang menjadi pilihan dari diri kita itu tidak bisa benar-benar bebas kita pilih begitu saja. Ada banyak faktor tidak langsung yang ternyata berpengaruh besar dalam menentukan jalan hidup saya. Segbagai contoh dalam hal agama ini, saya menjadi Katolik ya karena agama orangtua saya Katolik. Orangtua saya Katolik karena Kong Hu Chu dilarang waktu itu yang kemudian semua warga negara harus mencantumkan apa agamanya dari lima agama yang diakui itu. Bagaimana jika misalnya ada yang bersikeras untuk tidak memilih satu dari kelima agama tersebut? Efeknya akan panjang pastinya.
Jika tidak beragama atau memilih agama yang diakui, maka KTP tidak bisa diisi, atau diisi dengan kebohongan. Jika menikah tidak sesuai dengan lembaga-lembaga yang diakui tersebut, maka pernikahan yang dilakukan tidak akan diakui negara. Itu berarti tidak akan mendapatkan surat nikah, itu juga berarti anak yang lahir akan lebih sulit dalam mendapatkan akte kelahiran, jika bisa dapat setatusnya adalah anak yang lahir di luar pernikahan. Jika tidak punya akte maka sekolah akan lebih sulit lagi. Dan anak yang tanpa agama pasti akan menjadi rebutan para Ideological State Aparatus untuk mengajaknya bergabung dengan salah satu lembaga tersebut. Tanpa agama, seseorang akan dianggap tersesat dalam perjalanannya di dunia ini. Mmm… mungkin bukan di dunia, tapi di Indonesia.
Saya sendiri merasa bahwa agama yang saya jalani sekarang sudah menjadi pilihan bebas saya. Saya pernah menimbang lagi dan pilihan saya tidak berubah. Tapi apakah benar ini pilihan bebas saya? Terlalu banyak faktor yang terlibat, dari budaya dan gaya hidup yang sudah saya jalani selama ini, pandangan orang-orang dekat saya, pandangan orang-orang sekitar saya, pola pikir yang membentuk saya, sampai relasi saya pribadi dengan Tuhan dalam benak saya. Itu bukan suatu hal yang mudah untuk dilepaskan dari pertimbangan. Belum lagi minimnya akses pengetahuan untuk mempelajari ajaran yang lain. Saat saya sedikit belajar tentang ajaran Budha, saya merasakan papan-papan yang membuat kotak di kepala saya berderak-derak terpaksa membuka, dan itu bukan hal yang nyaman. Mengetahui ada konsep benar lain selain apa yang saya tau selama ini. Mengetahui bahwa ada superego jenis lain yang bisa dipilih dan itu juga benar.
Sampai saat ini, bagi saya sendiri, dengan semua pertarungannya, agama itu merupakan suatu hal yang penting dalam hidup saya, terlepas itu memilih atau dipilihkan. Tapi di sisi lain, saya sebagai orang yang sering diminoritas-minoritaskan ini merasakan betapa tidak enaknya dikotak-kotakkan karena sesuatu hal yang sulit kita ubah, karena suatu hal besar yang menjadi penanda identitas diri saya. Jadi bagi saya, selama tidak usah dikotakan, tidak perlulah menambah kotak dan golongan. Jadilah saja suatu tempat penanda gaya hidup yang kapitalis sajalah dan biarkan penanda-penanda itu menjadi urusan pribadi masing-masing.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith