Sekali Lagi, Terima Kasih
Akhirnya, perjalanan panjang yang dimulai 2013 lalu bisa diakhiri,
dengan baik. Belum seluruhnya berakhir memang, masih ada perbaikan dan satu dua
hal yang harus dilakukan sebelum bisa benar-benar selesai dari tempat ini, tapi
boleh lah ya sombong dulu sekarang.
Setelah ujian kemarin, beberapa teman menanyakan, bagaimana rasanya?
Bagaimana ya... rasanya biasa saja sebenarnya. Sampai saat ini tidak ada
perubahan yang besar dalam hidup saya, rutinitas juga masih sama saja, jualan
keliling-keliling, ke kampus, ke sana dan kemari. Teman saya yang sudah lebih
dahulu lulus juga menyatakan hal yang sama, biasa saja rasanya, hanya ada yang
aneh karena apa yang biasanya dilakukan, sekarang tidak ada lagi. Bumi tetap
berputar seperti biasa. Proses ujian yang terjadi pun rasanya tidak benar-benar
saya alami. Melayang. Mungkin karena gugup dan tidak bisa tidur semalam
sebelumnya. Walaupun saya sudah susah payah mengisolir diri dan mengalihkan
perhatian, tetap saja serangan panik datang dan membuat tegang.
Sampai beberapa hari yang lalu, saya pulang ke rumah untuk mengambil
beberapa foto yang akan saya masukkan ke dalam tulisan. Seperti biasa,
berkendara selama dua jam membuat saya bisa banyak berpikir dan melamun. Saya
kemudian mengingat kembali apa yang sudah terjadi, merunut kembali perjalanan
saya. Hingga pada suatu titik, sosok teman saya ini muncul, dan terasalah bahwa
saya sudah menjalani proses panjang selama lima tahun ini.
Proses ini tidak diawali dari saya yang bersekolah di IRB, ini
dimulai jauh sebelumnya. Saat saya masih mahasiswa S1 yang terancam tidak
lulus. Saya waktu itu dengan masalah yang saya tidak pahami apa, sangat takut
dengan yang namanya menulis skripsi. Sangat enggan bimbingan sampai harus
diantar, berlari ke sana kemari mencari kegiatan yang terasa penting untuk
menghindar. Orangtua saya yang melihat anaknya ini tidak ada harapan untuk
lulus sampai bersedia membayar jasa pembuatan skripsi agar saya bisa lulus.
Saya sudah bertemu dengan orang yang akan membantu saya itu, tetapi waktu itu
saya tetap tidak menindaklanjuti, bukan karena harga diri akademisi—waktu itu
saya belum tau harga diri akademisi itu makanan jenis apa—tetapi karena walau
akan dibuatkan, saya tetap harus bimbingan, apa gunanya kan ya? Kan saya
takutnya bimbingan dan mendengarkan pendapat dari hasil yang saya tulis.
Pokoknya saya tidak tertolong lah di waktu itu. Sedangkan waktu yang disediakan
kampus juga semakin menipis.
Saya kemudian ketemu teman saya ini, sebut saja Koko. Koko yang
karena pekerjaan harus menerima saya sebagai anak buahnya. Yang kalau saya
ingat lagi, saya itu ngga berguna-berguna amat, tapi berisik. Koko dengan rasa
tanggung jawabnya sebagai koordinator yang baik, melihat anak buahnya yang
kepentok-pentok skripsi ini kemudian meluangkan waktunya untuk membantu saya
mengerjakan skripsi. Tidak membuatkan, hanya menjadi teman diskusi dan memberi
petunjuk di sana sini, walaupun pada akhirnya tetap saja menghina hasil tulisan
saya yang menurutnya tidak memenuhi standarnya yang dari lulusan filsafat dari
sekolah tinggi filsafat yang terkenal itu.
Singkat cerita saya berhasil lulus waktu itu, walaupun termasuk
dalam rombongan sapu bersih di akhir tahun ajaran. Puas, tetapi tetap saja
rasanya lulus karena dipaksa lulus. Waktu itu rasanya lebih tidak terasa dari
sekarang lulusnya. Semuanya serba terburu-buru. Dan karena hidup itu
berlapis-lapis, ada aspek-aspek lain juga di luar kuliah yang kadang terasa
lebih genting dan lebih mendominasi, membuat selesai kuliah itu berlalu begitu
saja.
Kuliah sudah selesai, pekerjaan juga ada dan lumayan juga sebagai
editor. Tetapi rasanya waktu itu saya belum siap untuk melangkah lebih jauh
sebagai orang dewasa yang mencari uang untuk menghidupi diri sendiri. Di sisi
lain, saya menemukan asyiknya menulis selama proses skripsi saya berlangsung
yang membuat saya menimbang untuk sekolah lagi.
Saya kemudian mencari alternatif untuk melanjutkan sekolah.
Psikologi jelas pilihan pertama. Saya mah
mainstream. Waktu itu kuliah profesi tidak terlalu menarik mata kuliahnya
untuk saya, saya juga tidak mempertimbangkan sebenarnya akan menjadi apa
setelah kuliah. Keinginan saya seumur hidup itu cuma satu, menulis, dan apa
yang saya lakukan, ya untuk mengejar hal itu sebenarnya. Ketika saya menimbang
untuk kuliah psikologi yang sains, dosen pembimbing skripsi saya tidak
menyarankan. Maka saya mundur dan menimbang ulang.
Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan dosen yang jarang sekali
berkomunikasi dengan saya. Kami kemudian bercerita tentang rencana dan apa yang
saya lakukan kala itu. Saya bercerita bahwa saya menulis untuk majalah dan ke
depannya saya ingin menulis dengan lebih baik, dan beliau menyarankan IRB.
Saran yang akhirnya saya tindaklanjuti. Melihat mata kuliahnya dan harganya
yang murah, tidak sampai setengahnya kalau saya kuliah psikologi, IRB kemudian
menjadi salah satu pilihan yang saya pertimbangkan. Pilihan yang akhirnya saya
sampaikan ke Koko pada suatu acara makan bersama rutin kami. Tanpa pernah kami
bicarakan sebelumnya, dan mungkin Tuhan memang suka becanda, Koko ternyata juga
akan melanjutkan S2-nya di tempat yang sama.
Akhirnya kami sekolah bersama, sekelas. Saya tidak tahu apa
keuntungan yang Koko dapatkan dengan sekolah bersama saya. Buat saya, sekelas
dengannya adalah keuntungan besar. Saya jadi tidak sendirian di hari pertama
sekolah di antara banyak orang yang tidak saya kenal. Saya itu masih penakut.
Dengan latar belakangnya yang terbiasa belajar, belajar berasamanya di
awal-awal perkuliahan sangat membantu saya, dan mungkin juga teman-teman yang
lain mamahami materi yang seakan-akan turun dari langit. Nama-nama yang belum
pernah saya dengar, teori-teori yang saya tidak tahu kalau teori itu eksis di
dunia ini. Pokoke mumet lah.
Saya bersyukur dia ada. Dia yang saya cari ketika harus patah hati
dari TK di mana anak yang saya daftarkan ditarik kembali oleh orangtuanya dan
diajak kembali ke jalanan. Dia yang ada memeriksa presentasi saya di awal
perkuliahan, apakah saya menterjemahkan noble
savage dengan benar. Menjadi orang yang saya mintai pertimbangan ketika
harus memutuskan berbagi hal mengenai seminar yang akan kami laksanakan.
Menemani bermain ke sana kemari ketika kuliah terasa begitu membuat pusing dan
penat. Membuat saya mempresentasikan semua materi tentang etnografi dan
rasisme, pokoknya setiap ada tawaran presentasi materi itu, dia selalu
meneriakkan nama saya dengan suaranya yang mengelegar itu. Dia yang pada
akhirnya tetap saya cari ketika harus membenahi perasaan saya yang rusak atau
remuk redam karena kebodohan rutin yang saya lakukan. Menemani saya menangis
dan mengumpulkan kembali diri saya.
Perjalanan saya, perubahan saya, tugas-tugas kuliah maupun tugas
kehidupan yang saya perjuangkan, hingga pada akhirnya kelulusan saya, baru saya
rasakan ada artinya ketika saya memperhitungkan keberadaannya. Mengingat
waktu-waktu yang disediakannya untuk saya tangisi dan saya hubungi di tengah
malam atau pagi buta. Yang tidak pernah melarang saya bertindak bodoh, jatuh
cinta, atau meremehkan apa yang saya lakukan. Jadi, sekali lagi, terima kasih
sudah menemani. Sisanya, bonus.
Komentar
Posting Komentar