Takut akan Perbedaan

Hari-hari terakhir ini, rasa-rasanya banyak hal yang terjadi di sekitar saya adalah mengenai hal ini, ketakutan akan perbedaan. Mulai dari yang dekat ada Ahok dan semua permasalahannya yang masih belum selesai dan menjalar ke mana-mana, yang jauh ada Bapak Trump yang ingin memmbangun tembok di negaranya yang membatasi masuknya orang-orang Mexico, di Eropa sana, ada ketakutan akan banyaknya imigran Syria yang berbondong-bondong masuk ke Eropa mencari perlindungan.
Saya merasakan ketakutan akan perbedaan atau dibedakan ini sudah sejak zaman dahulu kala. Takut dikucilkan di sekolah karena saya berbeda, takut tidak diterima dalam pergaulan karena saya berbeda. Ketakutan yang sebenarnya jika mau ditilik secara lebih dalam membawa banyak gangguan pada aspek-aspek lain dalam kehidupan. Sayangnya, saya hanya mengalami ketakutan ini dari sisi saya sebagai minoritas, dari sisi orang yang disingkirkan dan saya anggap termarjinalkan. 
Hari-hari ini saya juga melihat banyak ketakutan dari orang-orang yang mayoritas. Baiklah kita ambil anggapan bahwa apa yang terjadi pada Ahok adalah masalah politik yang dimainkan oleh para elit, tetapi kita tidak bisa pungkiri akan akibat yang terjadi di tataran masyarakat. Hipotesis saja lah ya.,. jika di tengah masyarakat tidak ada ketakutan akan yang lain dari dirinya, maka isu mengenai agama dan ras ini tidak akan menjadi begitu panasnya. Permasalahan mengenai ketidaknyamanan akan perbedaan ini sebenarnya sudah ada, dan yang pintar-pintar ini memantiknya sehingga menjadi masalah yang pada akhirnya berkembang dan melebar ke mana-mana.
Ahok yang ditangkap dan dihukum karena penistaan ini mengakibatkan riak yang berkembang ke mana-mana. Saat ini dapat kita lihat munculnya perlawanan dari banyak tempat yang menyuarakan persatuan dan meminta keadilan hukum di Indonesia. Di sisi lain kebencian akan yang berbeda juga mulai tumbuh dan banyak terdengar. Ada berita-berita muncul yang berbicara mengenai ketidakadilan karena tidak bisa menjadi ketua OSIS karena bukan Islam, atau keprihatinan ketika ada anak-anak yang mengkafirkan temannya. Di sisi lain, teman saya yang guru dari sekolah Kristen juga menghadapi kebencian yang sama.
Saya ini adalah orang dari aliran sinis. Ketika orang-orang bersedih karena seorang Ahok akhirnya dipenjarakan, ketika orang-orang menuntut adanya keadilan hukum, saya sampai pada titik mati rasa. Bukankah sejak dahulu kita tahu bahwa Indonesia ini memang tidak adil? Jika adil, mengapa sampai ada aksi Kamisan yang menolak lupa menuntut kejelasan hukum akan peristiwa 1998. Jika Indonesia ini adil Ibu-ibu di Kendeng itu tidak akan menyemen kakinya sampai ada yang harus mati dalam perjuangannya. Bagi saya, Ahok adalah orang yang tahu di mana posisinya dan tahu apa konsekuensianya, tidak seperti para nenek yang mengambil kayu dan harus dipenjara karenanya dengan tuduhan pencurian. Hal lain yang membuat saya bertanya juga masalah pengkafiran yang terjadi, kenapa komnas anak baru sekarang ini prihatin? Rasanya masalah kafir-kafiran ini sudah ada sejak dahulu, rasanya saya sudah dikafir-kafirkan sejak masih anak-anak. 
Di sisi lain, sebagai orang Kresten, yang menuntut diperlakukan dengan adil, apakah kita juga sudah berlaku adil, apakah kita sudah adil sejak dalam pikiran? Apakah sekolah dan institusi Kresten tempat kita berada juga memberikan kesempatan memegang jabatan strategis yang sama kepada orang-orang Muslim? Apakah kita sudah menyediakan tempat beribadah yang memadai di dalam institusi kita? Tidak hanya ruang sempit di balik loker untuk sholat? Jika kita menuntut keadilan yang sama di level yang lebih luas, sudahkah kita memberikan keadilan di tempat di mana kita bisa memberikannya?
Namun, mari lihat dari sisi yang lebih positif dan optimis, bahwa pada akhirnya Indonesia ini mendapatkan momentumnya untuk bergerak dan menuntut keadilan dan kesetaraan bagi para warga negaranya. Bahwa pada akhirnya, saat ini saya tidak merasakan kekhawatiran akan dimusnahkan. Entah kenapa, semua unjuk rasa ini sampai sekarang tidak membuat saya terlalu khawatir akan adanya kerusuhan lagi. Semoga optimisme ini tidak dikhianati lagi oleh negara. 
Di sisi lain lagi, saya mulai lagi bertanya-tanya, bagaimana ini sebaiknya. Bagaimana mengatasi ketakutan-ketakutan akan yang lain, akan yang berbeda dari kita. Saya sendiri menjalani kehidupan akan keputusan-keputusan yang didasari oleh ketakutan. Saya memilih atau dipilihkan sekolah yang bisa menerima kecinaan saya, saya memilih berdasarkan ketakutan. Memilih pekerjaan yang tidak menakutkan, memilih lingkungan pergaulan yang juga tidak menakutkan. Padahal terkadang ketakutan itu hanyalah hantu yang ada di dalam kepala saja. Saya pada akhirnya bisa berteman dengan banyak orang dari berbagai latar belakang yang berbeda, dan saya bisa memberikan kepercayaan saya kepada para sahabat saya yang berbeda itu. 
Jika berbicara mengenai toleransi. saya merasa itu juga bukan suatu kata yang tepat untuk menghadapi perbedaan. Toleransi itu seakan adalah sikap untuk menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti toleransi akan rasa sakit, apakah perbedaan itu adalah sesuatu yang memang membuat sakit? Rasanya tidak...
Kemarin saya ditanya oleh teman saya, bagaimana sebaiknya, saya sendiri juga belum bisa menjawab. Saya tidak menyetujui akan perilaku yang dipilih karena ketakutan, hal itu lama-kelamaan akan menumpuk dan menjadi ledakan yang bisa jadi menyerang orang lain, sama seperti yang kita lihat banyak terjadi akhir-akhir ini di banyak tempat. Kita takut, kita curiga akan orang yang tidak kita kenal, akan orang-orang yang berbeda dari diri kita. Kita percaya dan mendasari perilaku dan keputusan kita dengan stereotipe yang kita tahu akan sesama kita, walau terkadang apa yang ditemui di lapangan memang mengkonfirmasi stereotipe tersebut. Saya belum tahu bagaimana caranya, saya belum melihat bagaimana bentuknya, tetapi hidup berlandaskan ketakutan ini harus dihentikan dan dicarikan jalan keluarnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith