The Geography of Faith

Eric Weiner
Sebuah Catatan Autoetnografi



Melihat buku dari Eric Weiner ini dari awal sudah membuat saya merasa tertarik. Diawali dengan buku awalnya The Geography of Bliss, buku yang menceritakan tentang perjalanan Eric untuk mencari tempat-tempat yang paling bahagia di dunia. Saya tidak terlalu ingat isi detailnya karena membacanya sudah bertahun-tahun yang lalu. Tetapi kesan awal saya waktu itu tidak terlalu menyenangkan, isi dari bukunya rasanya tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan saat sebelum membacanya. Sampai kemudian saya menemukan edisi lain dari tulisan Weiner ini, The Geography of Genius dan The Geography of Faith, dan saya melupakan pengalaman pertama saya bersama Weiner dan ingin memberinya kesempatan kedua dan membacanya lagi.
Setelah berbulan-bulan saya tidak membeli buku dari toko dan lebih menikmati mencari gratisan pdf dan mencetaknya, akhirnya saya setelah berjualan kastengel selama bulan Ramadhan dan mendapat sedikit selisih penjualan, saya memutuskan untuk membelinya.
Awalnya saya mengincar yang edisi Genius, tampaknya menarik untuk membaca di mana ilmu pengetahuan berkembang dan negara-negara mana yang menghasilkan banyak orang Genius, ternyata saat ke Togamas, hanya tersisa yang edisi Faith. Saya ini orang yang tidak percaya kebetulan dan merasa bahwa segala sesuatu terjadi karena ada alasannya, jadinya saya memutuskan membeli buku yang tersisa ini dengan anggapan pasti akan berguna nantinya.
Weiner dalam buku ini mengawali cerita dengan kisah kehidupannya. Dia sebagai seorang Yahudi yang tidak pernah melakukan ibadahnya dihadapkan pada pertanyaan apakah dirinya sudah menemukan Tuhannya, ketika dia sedang terbaring sakit di sebuah ruang gawat darurat. Pertanyaan yang membuat dirinya mengawali sebuah perjalanan mengenali agama-agama yang membuatnya tertarik.
Sebagai seorang yang tumbuh di Indonesia pada masa Orde Baru, saya hanya mengetahui bahwa agama itu ya ada lima, atau enam, dan paling banter dengan semua agama-agama lain yang ada di dunia ini ya sekitar duapuluhanlah misalnya. Tetapi ternyata dari apa yang ditemukan Weiner ada lebih dari sembilan ribu sembilan ratus agama dengan dua atau tiga agama baru yang muncul setiap harinya.[1] Saya jadi merasa betapa cupetnya padangan saya tentang jumlah agama yang ada di dunia ini. Ke mana saja saya selama setahun mengikuti kuliah kajian religi di kampus sampai tidak tahu bahwa ada sedemikian banyak agama dan aliran kepercayaan yang bertebaran di dunia ini. Setahun kuliah itu hanya membuat saya mengingat Thomas Tweed dengan Crossing and dwelling-nya karena harus presentasi bagian tersebut.
Weiner ini kemudian hanya memilih delapan agama yang ingin dikenalnya lebih lanjut dengan berbagai pertimbangan. Ada agama-agama dunia yang dia pilih seperti Islam dan Katolik, ada agama alam seperti samanisme dan ada juga seperti Raelisme dan Wicca yang mempercayai UFO dan Ilmu sihir. Weiner mengklaim, jika semua agama itu benar, berarti sama saja dengan tidak ada yang benar, pasti ada jalan yang paling benar, atau paling tidak lebih benar dari yang lain.
Perjalanan dan pencarian yang bagi saya saat ini adalah suatu proses yang menarik. Perjalanan yang menceritakan bagaimana pengalaman Weiner sendiri dan pengetahuan mengenai agama yang didalaminya dan itu menyatu pada bagaimana proses itu memengaruhi pemahaman penulis tentang dirinya sendiri. Sampai pada titik ini, saya malahan jadi menyadari kenapa saya tertarik dengan buku ini, ternyata ini adalah buku autoetnografi walaupun tidak dinamai demikian. Ternyata secara tidak sadar saya memang sukanya dengan model-model beginian, menikmati membaca proses perjalanan dan penemuan diri yang dituturkan dengan cara seperti ini. Sama seperti saya juga suka Commited dari Elizabeth Gilbert yang menceritakan perjalanannya memahami pernikahan.
Iman dan agama adalah isu yang sedang besar dalam kehidupan saya. Pengalaman hidup yang terjadi akhir-akhir ini, tempat di mana saya belajar dan lingkungan pertemanan di mana saya bertumbuh membuat saya banyak mempertanyakan, jika tidak mau dikatakan sedang sinis dengan agama yang saya anut. Saya sering berkata bahwa saya tidak ada masalah dengan Tuhannya, tetapi saya merasa bermasalah dengan agamanya, tapi bisa jadi tidak benar-benar demikian. Mungkin masalahnya adalah pada saya dan diri saya sendiri.
Saya banyak mendengar dan terkadang juga ikut terlibat dengan pencarian teman-teman di sekitar saya. Bisa jadi ini adalah permasalahan yang memang banyak dan umum ditemui, seperti malas beribadah dengan berbagai alasan, sampai pada urusan mengenai agama dan pasangan yang seringkali tidak bisa disatukan. Apapun itu, bagi yang mengalaminya merupakan perjalanan pencariannya sendiri dan kita sama sekali tidak bisa menghakimi seberapa berat bobot dari pencarian yang dialami. Entah akan happy ending pada ujungnya, atau malah berakhir pada keputusan dan kekecewaan akan Tuhan yang selalu saja salah direpresentasikan. Apapun itu, pergulatan mengenai Tuhan dan agama tidaklah pernah mudah.
Agama seturut pengalaman saya dan teman-teman adalah sesuatu yang begitu menubuh dan menyatu dalam diri kita. Bisa saja kita sampai pada suatu kondisi di mana secara intelektual kita entah marah, entah kecewa, entah tidak lagi percaya, tetapi kebiasaan mengenai agama dalam tubuh kita ini akan lebih susah hilangnya. Butuh waktu untuk tidak lagi dikuasai dengan berbagai kebiasaan dan kepercayaan yang sudah dilakukan selama berulang kali bertahun-tahun.
Bagi Weiner, pencarian akan Tuhan yang dilakukannya ini berhasil, dia memahami bahwa agama adalah sebagai suatu sarana untuk meninggikan kemanusiaan kita dan kemanusiaan orang lain. Untuk menyadarkan kegelapan kita. Dan kutipan yang paling saya sukai dalam buku ini adalah bawha kita tidak memilih agama, agamalah yang memilih kita. Yang diminta dari kita adalah semacam tindakan pasif. Kita perlu melakukan bagian kita—berdoa, bermeditasi, membaca—dan kemudian menunggu. Seperti kata orang, menunggu adalah bagian tersulit.
Sedangkan saya sendiri, saya masih terus mencari sosok Tuhan dalam hidup saya. Saya masih bertanya-tanya, apakah saya masih akan marah-marah ketika misa? Saya masih enggan mencari tahu jawabannya.




[1] Weiner, 2011, hlm 29. Mengutip dari David B, Barrett

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan