Hidup Senyatanya

Dalam satu atau dua bulan ini saya tiba-tiba mendapatkan pengalaman mengantarkan teman yang sakit dan kecelakaan ke IGD. Yang satu karena vertigo, yang lain karena kecelakaan dan dirujuk untuk rongsen karena dicurigai terjadi retakan di tangannya. Kedua kejadian yang di satu sisi saya sedikt banyak harus mengambil keputusan apakah saya harus membawa teman saya ke rumah sakit karena kondisinya yang memang sudah kesakitan, di sisi lain saya merasa tidak berdaya karena sulit untuk saya memutuskan membawa mereka ke rumah sakit karena kami sama-sama miskinnya.
Keduanya akhirnya saya temani ke IGD di dua rumah sakit swasta yang berbeda di Jogja ini, keduanya menghabiskan sekitar tiga ratus ribu rupiah. Bagi orang dengan penghasilan UMR Jogja yang hanya sekitar satu juta, belum lagi salah satu teman saya itu adalah pekerja informal yang gajinya bahkan tidak sampai satu juta, tiga ratus ribu itu pastinya sudah memakan jatah hidup lebih dari satu minggu. Di lain pihak, tidak membawa ke rumah sakit, rasanya juga bukan pilihan yang bisa saya ambil. Melihat teman-teman saya yang terkapar karena pusing berat dan menahan nyeri itu juga sama tidak menyenangkannya.
Setelah sekian lama. saya akhirnya bertemu kembali dengan permasalahan mendasar manusia, hidup dengan pemahaman paling mendasarnya, bisa bernapas dan bergerak dengan baik. Masalah kesehatan adalah masalah mempertahankan fungsi kita sehari-hari dengan sebaik-baiknya, tanpa menanggung nyeri jika bisa. Hidup yang tidak lagi dipahami dengan barang-barang konsumsi, liburan jarak jauh, sekolah tanpa henti, gadget, bersenang-senang, atau bahkan aktualisasi diri. Akhirnya saya kembali bertemu dengan diagram kebutuhan Maslow bahwa kebutuhan paling dasar manusia yang harus dihadapi dan dipenuhi terlebih dahulu agar kita bisa berfungsi secara minimal ya kebutuhan fisiologisnya. 
Bagi sebagian orang, bagi orang-orang dengan tidak banyak pilihan pekerjaan yang bisa dipilih, buruh dengan gaji minimal, apalagi orang-orang yang mendapatkan penghidupan di jalanan, memenuhi kebutuhan mendasar saja adalah perjuangan. Mungkin mereka memang bisa makan setiap harinya, jika dilihat secara sekilas, gaya dan gadget yang dibawa juga tidak kalah keren dengan apa yang kita bawa. Kita hanya tidak tahu, berapa banyak hutang yang harus ditanggung untuk mendapatkan kesenangan itu. Kesenangan dari sedikit pilihan yang bisa mereka ambil. Beberapa dari orang-orang yang saya kenal ini adalah pekerja yang bekerja setiap harinya dengan libur hanya satu atau dua hari sebulan, dengan jam kerja antara 10-12 jam, dan tanpa kehidupan lain selain bekerja. 
Saya jadi ingat pembicaraan dalam diskusi yang saya lakukan, saya bertanya mengenai apa yang bisa dipahami mengenai istilah real life yang digunakan dalam buku tersebut. Kehidupan sesungguh-sungguhnya yang dituliskan di situ adalah merujuk pada kehidupan yang dialami oleh para buruh. Saya sempat ingin melawan, karena saya merasa bahwa kehidupan saya ini juga sama nyatanya kok. Apa yang saya alami ini juga nyata. Kata teman saya yang lebih berpengalaman membaca, para borjuis dan borjuis kecil ini kehidupannya tidak nyata, karena walaupun orang-orang ini terlihat mengendalikan kehidupan dan memiliki kuasa, tetapi sesungguhnya ketika para buruh ini behenti berfungsi sebagaiman sistem mengharuskan mereka berfungsi, kehidupan para borjuis ini akan ikut berhenti. Saat itu saya masih mengiyakannya dengan setengah-setengah, dan pengalaman kemarin ini membuat saya jadi mengiyakan dengan sepenuh hati.
Saya jadi menyadari bahwa memang apa yang mereka hidupi adalah kehidupan yang senyatanya. Pergulatan yang mereka hadapi memang benar-benar pergulatan mengenai hidup atau tidak hidup. Dan ketika meraka tidak berfungsi, bisa jadi tempat mereka bekerja juga akan jadi berhenti beroperasi juga, walaupun tidak akan lama karena bos yang baik akan tetap mengusahakan usahanya terus berjalan, siapapun yang mengusahakannya. Di sisi lain, saya juga menemukan betapa tidak berdayanya beberapa orang yang saya temui ini. Oke lah istilah ini kolonialis atau apapun, saya belum menemukan padannannya. Mereka adalah pekerja yang datang dari kota kecil entah dari mana, bekerja dengan ikut majikan mereka, tidur dan makan disediakan oleh kantor, dengan latar belakang keluarga petani yang miskin dan minim akses, dengan pendidikan sampai SMP itu juga sudah bagus bisa mereka rasakan. Saat bekerja gaji yang didapat juga pas-pasan. Bahkan membuat keputusan untuk diri mereka sendiri saja tidak bisa. Apakah mereka akan mengobatkan diri atau tidak, apakah mereka akan mengambil keputusan A atau B, itu juga tidak bisa diambil begitu saja. 
Saya juga tidak bisa mengambilkan keputusan apapun bagi mereka karena saya juga tidak bisa mengambil tanggung jawabnya, minimal menanggung biaya rumah sakit saja saja tidak bisa. Saya sendiri saja biasanya minum jamu-jamuan kalau sakit dan alhamdulilah tidak perlu masuk rumah sakit. Kalau kiranya perlu pengobatan yang agak mahal, saya akan pulang menggunakan orangtua asuransi. Lagipula alhamdulilahnya orangtua saya cukup peduli kesehatan dan pakai BPJS. Paling tidak dengan BPJS ini saya bisa merasakan sedikit-sedikit ke dokter. Yah... apa yang mereka alami itu ternyata lebih susah lah daripada dengan saya yang merasa sudah susah karena triple minority.
Ternyata saya perlu bersentuhan dengan manusia lain untuk bisa berbicara, dan ternyata lagi, apa yang dirasakan oleh hati itu lebih bisa membuat saya bergerak untuk menulis daripada apa yang cuma saya pahami dengan kepala saya. Pengalaman ini membuat saya menyadari, bahwa saya kurang bersentuhan dengan manusia dan kehidupan yang sesungguh-sungguhnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith