Lulus




Beberapa saat ini saya mulai berpikir bahwa saya sering salah paham dengan diri sendiri. Saya merasa bahwa saya merupakan seorang yang introvert, penyendiri, tidak suka dengan manusia, jika bertemu dengan manusia terus menerus dalam jangka waktu lama akan membuat diri saya kelelahan, yang dalam kenyataannya ternyata tidak demikian.
Dalam waktu beberapa bulan terakhir ini, bersamaan dengan habisnya masa studi untuk angkatan di sekolah, beberapa teman mulai mondok di GAS University untuk menyelesaikan kewajiban penulisan mereka. Saya yang berperinsip ‘tidak penting ke mananya yang penting sama siapanya’ jadi ikutan berkumpul di rumah tersebut. Membacakan beberapa tulisan, melampiaskan marah-marah pada beberapa orang, atau sekadar numpang tidur siang, nonton bola bersama-sama, atau minta makan kalau sedang ada yang memasak. Tidak berguna sebenarnya keberadaan saya di situ itu selain ngerusuhi.
Kumpul-kumpul kali ini adalah tempat di mana saya belajar ulang bahwa sebagai seorang akademisi itu tidak harus melulu individual untuk menyelesaikan paper dan kewajiban lainnya. Saya melihat teman-teman dan alumni yang datang silih berganti untuk bekerja bersama dan membantu teman-teman lain yang sedang berjuang untuk lulus. Entah dengan menjadi teman diskusi, membantu membacakan dan melakukan editing, meluruskan pemikiran-pemikiran yang terlalu liar, atau sekadar ada untuk menemani dan menenagkan ketegangan yang semakin memuncak seiring dengan semakin habisnya waktu.
Saya melihat teman-teman saya yang tidak hanya memberikan waktu luangnya untuk teman yang lain, tetapi memang meluangkan waktu (secara aktif) di tengah berbagai kesibukan dan kewajiban mereka yang menumpuk untuk membantu pengerjaan tugas akhir ini. Bahkan beberapa orang mengungsi bersama pasangannya masing-masing karena waktu yang tersisa di tengah segala kewajibannya, ya dari tengah malam sampai dini hari. Dan itu bisa. Ternyata paper dan tesis tidak harus menjadi halangan untuk berteman.
Kebiasaan berkumpul ini juga yang akhirnya begitu saya nikmati. Saya jadi ikut menghabiskan hari-hari saya di rumah itu. Bisa hanya kunjungan singkat di siang hari, atau menginap sekali waktu. Rumah yang kosong tanpa gorden dan kasur yang cukup untuk menampung semua orang yang berseliweran di tempat itu. Menghabiskan waktu untuk main ceki, masak, berdiskusi tentang segala hal dengan semua orang yang ada di tempat itu, mengikuti simulasi ujian, atau mendengarkan khotbah kakak-kakak yang lebih menguasai materi.
Lalu saya melihat ke belakang, dalam kehidupan saya selama lebih dari sepuluh tahun ini ternyata ya sama saja begitu. Berkumpul di sana sini. Walau punya rumah untuk pulang dan tidur, tapi sepanjang waktu lain akan dihabiskan dengan sekelompok teman yang membuat hidup saya jadi terasa seru dan heboh. Masa-masa di basecamp dengan teman-teman mudika di Temanggung, kemudian bersama teman-teman Pingit. Saat di mana saya setiap akhir pekan bisa menginap di rumah teman, atau kemping di pantai begitu saja. Atau paling tidak jalan-jalan ke candi-candi di sekitar Jogja atau berjalan-jalan memungut sampah di Kaliurang.
Jadi kesimpulannya, saya tidak setakut itu dengan manusia. Saya tidak seintrovert yang saya bayangkan, dan saya juga punya lebih banyak teman daripada yang saya rasakan ketika saya gloomy karena hormon yang bergejolak. Saya memang butuh waktu untuk menyendiri dan tidak bisa jika harus bersama orang lain terus-menerus dalam jangka waktu lama karena akan bikin saya jadi galak dan merasa lelah, yang bisa jadi itu cuma salah sangkanya kepala saya saja, karena waktu main ke Sempu dari Sabtu siang, sampai Selasa pagi saya bersama dengan banyak orang terus menerus, di dalam mobil, di dalam tenda, jalan kaki jauh, naik kapal, naik bis, dan saya sehat-sehat saja.
Saat ini adalah fase saya pisahan lagi dengan teman-teman runtang-runtung saya selama lima tahun kuliah S2 ini. Sudah ada teman yang paham saya yang sudah ngecek apakah saya galau, karena saya galauan. Dan ya, saya mulai khawatir ketika GAS pada saatnya nanti akan kembali sepi. Teman-teman saya akan berpisah ke berbagai arah, bisa jadi yang pada pergi akan saling berjumpa di tempat-tempat lain, sial! Saya juga bukan orang yang bisa menjaga pertemanan jarak jauh dengan terlalu banyak orang, jadi pastinya akan ada perubahan konstelasi dari orang-orang yang berada pada lingkaran dalam saya. Paling tidak, di umur sebegini, dan sudah menghadapi perpisahan dengan sedemikian banyak orang, saya tidak akan lagi menangisi orang yang pergi tanpa pamit dari lingkaran saya di pinggir trotoar dan berkabung seakan-akan orang tersebut sudah mati. Saya belajar bahwa pada akhirnya saya akan menemukan kembali orang-orang baru, atau teman-teman lama yang muncul kembali dalam lingkaran dalam saya. Mungkin tidak sebanyak dulu, mungkin tidak dengan cara yang sama dengan yang pernah saya rasakan sebelumnya. Paling tidak, kali ini saya tahu kalau saya akan baik-baik saja. Kali ini, saya pun ikut lulus kembali bersama dengan teman-teman seangkatan saya. Love you, Gaess…

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith