Milly & Mamet, ini Bukan Cinta dan Rangga (Spoiler)
Berada di lingkungan yang banyak
orang-orang film, dari aktor layar lebar,
film maker, sampai kritikus film, mau ngomongin film tu kok rasanya jadi
gagu ya. Apalagi saya ini bukan orang yang getol-getol amat nonton filmnya,
tapi berhubung ini salah satu orang yang karyanya saya ikuti sejak awal, jadi
saya kali ini mau berbagi sedikit pengalaman menonton filmnya.
Ernest Prakasa adalah salah satu
sutradara Indonesia yang karya-karyanya dianggap berkualitas dan selain
Ngenest, tiap filmnya pasti sudah dipastikan ditonton oleh lebih dari satu juta
penonton, termasuk akuh. Film-film
dari Ernest selalu mengambil genre drama komedi dengan latar belakang keluarga.
Saya tidak banyak menonton atau memahami bagaimana teknis suatu pembuatan film,
jadi saya hanya ingin sedikit berbagi mengenai pengalaman dan pendapat saya
setelah menonton film terakhir dari Ernest Prakasa ini, Milliy dan Mamet (ini
bukan Cinta dan Rangga).
Film Milly dan Mamet ini sedikit
berbeda dari film-film yang sebelumnya karena film yang merupakan spin off dari Ada Apa dengan Cinta
(AADC) ini sudah memiliki tokoh yang bisa jadi sudah dikenal oleh banyak orang
Indonesia. Tokoh Milly yang lugu dan cenderung lemot dan Mamet yang menjadi
“badut” di AADC pertama sudah melekat dalam benak para penggemarnya dan kali
ini Ernest harus mengembangkan ceritanya dari latar belakang tersebut. Bisa
jadi lebih mudah atau malah lebih susah ketika cerita yang harus dikembangkan
adalah salah satu film legendaris Indonesia.
Saya sendiri sebagai follower Ernest dan Meira di Instagram
sedikit banyak sudah mengetahui proses pembuatan film ini sejak awal. Bagaimana
mereka memulai proses pembuatan filmnya, dan siapa-siapa saja orang yang
terlibat, selain itu, saya termasuk telat untuk menonton film ini karena harus
mudik liburan dan baru bisa menonton awal tahun, yang berarti setelah dua
minggu film ini naik ke layar dan sudah banyak sekali komentar-komentar dan
potongan-potongan adegan film yang bertebaran di internet. Jadi posisi saya
saat menonton antara ingin membuktikan banyaknya komentar baik mengenai film
tersebut dan sebagian lagi sudah tahu adegan-adegan mana yang diharapkan akan
lucu di film ini. Saking seringnya ketemu dengan komentar yang memuji film ini,
saya sampai mencari review jelek untuk melihat sudut pandang lain. Apakah benar
film ini sebagus itu?
Saya menonton di bioskop yang
sudah sepi sore kemarin, mungkin hanya sekitar 20 orang yang mengisi studio.
Bisa jadi sedikitnya penonton ini yang membuat jengah jika ingin tertawa, namun
sepanjang film tidak banyak tawa lepas yang terdengar di studio. Adegan Isyana
Saraswati tentang hewan peliharaannya yang banyak dibicarakan sebagai adegan
lucu, ketika saya melihatnya sendiri dalam film malah menjadi suatu adegan yang
sebenarnya tidak terlalu penting untuk ada dan malahan memangkas durasi yang
bagi saya bisa digunakan untuk menyusun cerita agar lebih mulus.
Cerita yang diawali dengan reuni
SMA sekolah dari geng Cinta ini, mengkisahkan bagaimana akhirnya Mamet bisa
bertemu Milly dan akhirnya menikah. Milly yang merupakan anak dari seorang
pengusaha dan Mamet yang memiliki impian untuk memiliki restaurannya sendiri
karena passionnya adalah memasak. Impian yang pada awalnya harus Mamet
singkirkan karena ayah mertuanya membutuhkan bantuan untuk mengurus pabrik
garmen miliknya karena kepala pabrik sebelumnya ketahuan melarikan uang
perusahaan. Milly sendiri, yang pada awalnya adalah seorang pekerja di bidang
keuangan juga harus beradaptasi untuk menjadi ibu rumah tangga dengan kelahiran
anak pertama mereka, Sakti.
Melihat adegan-adegan Milly yang
kesepian dan mulai stress di rumah, saya langsung teringat dengan cerita dari
Meira sendiri di saat dia tinggal di Bali dan harus jauh dari Ernest yang
bekerja di Jakarta. Mungkin dari pengalaman pribadi tersebut jugalah kondisi
kehidupan awal pernikahan dari Milly dibangun. Milly yang digambarkan hanya
berpakaian piama ketika mengantarkan Mamet berangkat bekerja dan tidak memakai
make up. Milly yang juga sangat senang, ketika Jojo, tetangganya yang
berkunjung dan memberinya kesempatan untuk mengobrol dengan sesama orang dewasa
setelah seharian hanya mengurus Sakti.
Di sisi lain, Mamet juga memiliki
pergulatannya sendiri memimpin pabrik milik Ayah mertuanya. Di satu sisi dia
hanya ingin istri dan anak lelakinya bahagia dan berkecukupan. Di sisi lain ada
impian yang harus dia bunuh demi kebahagiaan tersebut. Sifat keras kepala dari
ayah mertua yang diperankan oleh Roy Marten ini juga semakin menyulitkan
kehidupan Mamet sebagai kepala Parbrik. Sampai pada akhirnya Mamet memutuskan
untuk mengundurkan diri dari pabrik setelah dimarahi oleh sang ayah mertua di
depan Milly dan para pegawainya.
Di sini malah saya merasakan
adegan paling lucu dari seluruh film. Adegan Somad yang tersedak dan gagal
minum itu terasa mulus masuk dalam cerita dibandingakan dengan perkelahian atau
cletukan-cletukan dari para komika yang terasa hanya menempel dan tidak
menambah pengetahuan dari alur cerita itu sendiri. Padahal pada beberapa adegan
terasa sekali pergantian antar adegannya terasa tiba-tiba. Seperti tiba-tiba
saja Milly menelepon Rama untuk urusan pekerjaan yang tidak ada kelanjutannya,
atau Milly yang tiba-tiba mencurigai bahwa ada praktik pencucian uang dalam
bisnis Mamet, atau adegan setelah perkelahian Mamet dengan Milly yang langsung berpindah
menjadi Mamet berantem dengan Alex. Bukannya tidak terpahami, hanya saja tidak
mulus berpindah dan membuat terkejut. Yang menarik adalah pemilihan dua tokoh
antagonis dalam film tersebut yaitu Ayah dari James, Hartono yang diperankan
oleh Pierre Gurno dan Om Herman yang diperankan oleh Agus Melaz. Saking
jelasnya kalau mereka itu tokoh antagonis, jadinya malah terlihat komikal
karena berlebihan.
Bagus atau tidaknya film ini,
memang masalah selera pada akhirnya. Bagi saya, Milly dan Mamet adalah drama
keluarga yang manis. Adegan komedi yang terasa nyelip di sana sini malah
rasanya mengganggu dari kuatnya premis cerita yang dibawakan Ernest dalam film
ini. Tidak membuat saya sampai tertawa terbahak-bahak atau sampai menangis
karena keduanya jadi berjalan tanggung. Cek Toko Sebelah masih menjadi master piece dari Ernest menurut saya.
Yang sekali lagi bisa jadi ini masalah selera dan kedekatan dengan alur cerita
yang diangkat. Dan geng Cinta tanpa hadirnya Rangga, membuat film ini jadi
terasa kurang micin. Kurang nendang!
Jadi dari 10, film ini nilainya
7.
Komentar
Posting Komentar