Pandemi dan Berbagai Ritual yang Hilang Bersamanya
Hari kedua
Idul Fitri 2020, dua bulan setelah semua pembatasan skala besar mulai
dilakukan, baik resmi maupun lockdown mandiri,
saya memutuskan untuk pada akhirnya mengeksekusi niat yang sudah ada sekian
lama untuk sowan Ibuk di Sendangsono.
Mengatasi berbagai memeng karena
jauh, rute yang naik turun begitulah, dan kondisi pandemi yang tidak menentu
ini. Jika gereja tutup, sebenarnya bisa dipastikan tempat itu juga tutup.
Pernah saya tanyakan kepada seorang kenalan yang tempat tinggalnya dekat lokasi
apakah bisa masuk, katanya untuk doa pribadi masih bisa masuk. Satu lagi alasan
saya berangkat karena saya disuruh berangkat oleh sahabat setelah saya sambati.
Saya yang sudah ingin menyerah saja, yang apinya sudah tidak lagi bisa saya
rasakan nyalanya, yang rasanya hidup menjadi rutinitas yang menyenangkan untuk
dijalani, tapi tetap saja menjadi rutin. Saya lelah, saya ingin menyerah.
Rencana
awalnya saya berangkat Sabtu lalu, tapi karena satu dan lain hal saya urungkan
menjadi hari Senin ini. Perjalanan yang sudah saya niatkan menjadi perjalanan
saja, apakah sampai ke tujuan atau tidak, saya sudah tidak berharap apa-apa.
Terakhir kali saya datang ke Sedangsono hampir setahun lalu dan itu dengan
berjalan kaki dari Yogyakarta. Perjalanan yang buat saya lucu-lucu bodho, ngapain
juga jalan jauh-jauh sampai 12 jam perjalanan plus kesasar-sasar ketika bisa
ditempuh dengan kendaraan selama 45 menit. Perjalanan yang membuat saya bisa
lupa pada apapun selain nyeri di kaki dan bagaimana membuatnya jalan terus
sampai tujuan. Perjalanan yang membuat saya bertanya di mana batas saya akan
berhenti, yang ternyata, alhadulilah saya bisa sampai di tujuan walau
terseok-seok.
Perjalanan
kali ini saya harapkan menjadi perjalanan yang menyenangkan dan lucu-lucu bodho
juga. Setelah menservis motor untuk memberi keyakinan tambahan akhirnya saya
berangkat sendirian. Bukan pertama kalinya si saya sendirian ke sana, tapi
rasanya dulu lebih tidak khawatir dan lebih spontan aja gitu mau ke
Sendangsono, pernah tiba-tiba aja gitu berangkat jam sembilan malam berdua sama
teman. Sekarang mana berani padahal sumber dayanya lebih baik dibandingkan
dulu.
Perjalanan
yang sepi perpaduan antara pembatasan mudik dan hari lebaran. Saya memilih
jalan dengan mengandalkan ingatan dan kali ini saya tidak nyasar. Tidak seperti
beberapa kali perjalanan lalu di mana saya selalu berputar-putar tersesat di
Sayegan. Mengingat beberapa titik tempat kami berhenti di perjalanan tahun
lalu. Tempat di mana kami memperhatikan bulan yang baru terbit di atas sawah
luas, apotek tempat kami berhenti membeli plester, tempat kami beristirahat
makan beng-beng dan mengoleskan balsam di kaki yang mulai terasa nyeri. Jembatan gantung tempat kami mengambil foto sebelum ada yang memilih berhenti.
Tidak sampai
satu jam saya sudah sampai di jalan besarnya dan mencari belokan untuk menuju
ke Sendangsono, ternyata nyasar. Saya lewat jalan yang ke Promasan padahal
niatnya engga lewat situ. Sampai di gereja saya berhenti di halamannya dan
melihat-lihat tanpa turun dari motor. Ada seorang bapak dari dalam gereja entah
penjaganya atau siapa tahu Romonya ya, menyapa saya dan memberitahukan bahwa
kawasan Sendang masih ditutup untuk kunjungan dan menyarankan saya datang lain
waktu. Setelah pamit, saya menimbang apakah langsung pulang saja atau lanjut
sampai ke Sendang. Sudah sejauh itu, saya putuskan untuk melanjutkan.
Sampai di
jalan masuk kawasan Gua Maria, ternyata di depan jalan masuk diberi tulisan
bahwa kawasan itu ditutup sampai tanggal 31 Mei. Tempat parkir juga ditutup.
Warung persis di depan pintu masuk tempat kami makan tahun lalu buka dan sepi.
Semua warung yang berjualan rosario sepanjang jalan masuk juga tutup. Dan saya
tersadar, ini bulan Mei. Rasanya langsung nggrantes.
Mei adalah bulan di mana orang Katolik akan berbondong-bondong ke Gua Maria
untuk berziarah dan berdoa kepada Maria. Orang-orang di Sendang pastinya
menantikan saat-saat ini, apalagi tahun ini juga bertepatan dengan libur
lebaran, pasti akan banyak sekali orang yang datang untuk menginap, berziarah,
makan, membeli oleh-oleh, lilin, rosario, apapun yang mereka perdagangkan. Mungkin
ada Ibu yang sudah merencanakan bahwa keramaian bulan Maria ini akan memberinya
sedikit tambahan untuk bisa menyekolahkan anaknya tahun ajaran ini, dan rencana
itu harus kandas karena pandemi.
Berapa banyak
rencana dan semua rutinitas yang biasa kita lakukan setiap tahunnya tiba-tiba
hilang begitu saja karena pandemi ini. Saya sebagai orang yang tidak punya
banyak tradisi yang saya ikuti antara bersyukur atau malah ngenes karena saya tidak merasakan banyak kehilangan. Sebagai orang yang sudah tidak bisa ke
gereja selama sekitar tiga tahun ini, misa biasanya cuma hari raya, saya tidak
merasa kehilangan dengan tidak adanya misa, saya merasa akhirnya saya banyak
teman untuk tidak ke gereja. Paskah kemarin saya sudah menimbang sejak jauh
hari apakah saya akan berangkat misa Pekan Suci, karena kalau misa saya
kebanyakan protes dan akhirnya buat umum-umum aja gitu, ben padha kancane, ternyata semua misa sudah diliburkan dan saya
tidak perlu cari alasan buat bolos. Akhirnya saya nonton misa di Youtube,
sepotong misa di Surabaya, lalu pindah Katedral, lalu di tengah misa nerima
paketan, lalu lanjut malam harinya dari Vatikan.
Tidak hanya
orang Kristen yang terimbas di awal tahun ini. Waisak di tengah Pandemi, Nyepi
juga sudah dilakukan di tengah pandemi, lalu puasa dan Lebaran. Hari raya yang
dirayakan semua orang di Indonesia. Saya pun selalu mudik setiap Lebaran, ini
tahun pertama saya tidak mudik selama di Jogja sejak hampir 20 tahun lalu. Tidak
ada tradisi yang harus saya jalankan di rumah, tapi karena toko biasanya ramai
dan yang membantu di toko libur, maka Lebaran adalah saat saya pulang dan
jualan di rumah. Ngangkatin galon dan berkardus-kardus air mineral. Saya juga
tidak kehilangan itu karena di sini saya juga sama saja jualannya. Saya hanya
cemas tidak ada warung makan yang buka, yang akhirnya saya putuskan ngungsi ke
Kalasan dan tidak ada tempat yang saya nunuti
buat makan opor. Hanya itu yang rasanya berbeda.
Tahun ini tidak
ada berbuka puasa bersama dengan berbagai komunitas atau teman-teman kerja. Tidak
ada berkunjung ke sana ke mari untuk bersilaturahmi. Tahun tanpa mudik lebaran,
tanpa halal bi halal di kampung dan bersalam-salaman. Tahun di mana Waisak
tidak menimbulkan keramaian di Borobudur. Tahun di mana Nyepi dilakukan tidak
hanya di Bali dan tidak hanya sehari karena semua orang diminta tinggal di
rumah dan semua perjalanan dibatasi. Tahun Paskahan tanpa Tablo, tapi juga
tanpa mobil Gegana. Banyak yang hilang, tapi juga ada rutinitas baru yang
terjadi karena pandemi. Rutin video call dengan
teman-teman, yang berpencar-pencar jadi bisa ikutan ngobrol juga yang bisanya
engga bisa. Saya jadi lebih sering misa karena teman Romo saya mau bikin misa
lewat zoom, misa yang bisa saya nikmati tanpa protes. Kunjungan dan perjumpaan
jadi terasa begitu menyenangkan dan menyegarkan karena begitu terbatasnya untuk
bisa dilakukan. Banyak yang berbagi, banyak yang saling memberi. Paling tidak
ada banyak hal-hal kecil yang bisa disyukuri, seperti hari ini, perjalanan
dalam sepi dan melihat bentangan hijau membuat saya sedikit mecicipi rasanya
pulang.
Komentar
Posting Komentar