Perempuan yang Belajar Berbicara

Pagi ini di Twitter untuk kesekian kalinya saya menemukan tweet tentang begal payudara yang berkeliaran di sekitar Jogja utara. Korban yang bercerita payudaranya disentuh tanpa izin oleh seorang pengendara motor lelaki dengan helm full face di jalanan yang ramai. Cerita-cerita seperti ini rasanya selalu menimbulkan keputusasaan dalam diri saya sebagai perempuan. Bagaimana kalau itu terjadi pada diri saya? Bisakah saya melawan? Bisakah saya membalas melukai pelaku? Apakah akan saya kejar? Ataukah seharusnya kita menciptakan bra dengan paku beracun jadi tangan pelaku begal payudaranya akan membusuk bersama dengan otaknya yang sudah busuk lebih dahulu?

Sepanjang hidup saya menjadi perempuan, saya merasa hidup ini berjalan baik-baik saja. Sebagai Cina saya bermasalah, iya. Tapi sebagai perempuan, rasanya tidak ada masalah khusus yang saya hadapi. Iya pernah dibelai pahanya waktu SD sama mas-mas di jalan, tapi belum bisa aku maknai sebagai pelecehan seksual juga kala itu. Di rumah tidak ada juga perlakuan berbeda di mana saya lebih tertindas daripada Kakak lelaki saya, tidak ada. Saya merasa kami hidup dengan kesempatan yang sama yang keluarga kami mampu berikan.

Kesadaran bahwa ada yang berbeda, ada yang ternyata membuat posisi saya sebagai perempuan harus bekerja keras beberapa kali lipat dari teman-teman lelaki saya terjadi baru saja ini. Terjadi bukan di saat saya berada di posisi lemah, miskin, dan tersingkir sebagaimana seharusnya subaltern berada, tapi ada di masa saya bersekolah doktoral. Rasanya secara tidak sengaja saya makan buah pengetahuan yang kesasar di piring dan saya ditendang dari Firdaus ketidaktahuan.

Diskriminasi ini tidak dengan terang-terangan saya disingkirkan oleh orang tertentu atau tidak diberi kesempatan oleh orang lain. Rasanya hanya berupa cara berpikir yang berbeda, ketertarikan akan tema-tema yang berbeda yang rasanya tidak se-grande teman-teman lelaki saya yang lain. Sistematika berpikir yang berbeda di mana saya tidak bisa ujuk-ujuk lompat pada berbagai macam pembuktian akan pernyataan yang saya ucapkan. Atau ada masa-masa di mana rasanya apa yang saya nyatakan tidak valid, tidak punya bobot yang sesuai karena saya membuat pernyataan tidak hanya dari apa yang saya pikirkan, tapi juga dari apa yang saya rasakan. Belum lagi ketika saya ingin berbicara mengenai tema perempuan yang lebih sensitif, trauma yang saya miliki, saya diminta menyingkirkan itu seakan dengan didiamkan masalah akan selesai. Masalahnya tidak selesai, program doktoralnya yang saya selesaikan prematur.

Saya ini orang yang tumbuh dan belajar untuk menulis autoetnografi. Saya tidak bisa berbicara tentang sesuatu yang jaraknya lebih dari dua meter dari diri saya. Ya bisa sih untuk tulisan-tulisan pendek, tapi untuk proyek menulis sepanjang tiga tahun dan berbicara sesuatu yang tidak ada kontribusinya bagi diri saya, rasanya kok buat apa gitu. Namun semua yang terjadi, delegitimasi pemikiran saya, pernyataan bahwa saya tidak punya ketertarikan akan apa yang mau saya tuliskan, saya yang terlalu histeris untuk sebuah penulisan akademis, trauma saya yang harus saya singkirkan, membuat saya tidak bisa menakar diri saya dengan benar. Dari kacamata saya waktu itu, bukan dunia ini yang timpang, tapi saya yang tidak kompeten. Saya yang tidak cukup cakap dalam belajar dan menulis. Pengalaman yang saya alami tidak setraumatis itu, seharusnya saya masih bisa bergerak. Atau dari kacamata pembicaraan empat wacana, kondisi yang baik adalah ketika seseorang berbicara dengan wacana analis dan tidak lagi histeris, dan ketika saya tanya kepada teman lelaki saya bagaiman mengubah yang histeris ini menjadi analis, toh dia juga tidak menemukan jawabannya.

Iya, berbicara gender adalah pembicaraan yang seksi. Penelitian dan dana hibah untuk penelitian ini sangat mudah ditemukan di mana-mana. Suatu hari seorang saya berjumpa seorang teman dosen dan beliau menyatakan bahwa kenapa penelitian gender dilakukan karena perempuan tidak merasa setara dengan lelaki dalam berpikir. Hal yang senada saya dapatkan ketika saya bimbingan proposal bertahun lalu, cara saya berbicara adalah cara berbicara korban. Dan beliau menyarankan membaca Virginia Wolf untuk melihat permasalahan tersebut. Buku yang sampai sekarang belum selesai saya baca.

Dunia penelitian gender ini adalah dunia yang baru saya masuki, sangat baru. Mungkin baru satu tahun ini. Saya sendiri belum punya cukup sensitifitas untuk melihat mana yang timpang, mana hal yang itu sebenarnya tidak lumrah, mana hal yang kalau dunia ini adil gender hal itu tidak mungkin terjadi. Saya selalu kagum dengan orang-orang peka gender yang kalau melihat suatu berita atau tweet bisa langsung mengidentifikasi ketimpangannya di mana. Saya cuma bisa bilang ‘ooo’ sambil menimbang apakah akan saya setujui atau tidak. Kita, manusia ini, cuma bisa berbicara sebatas dari apa yang bisa kita lihat dan kita rasakan. Saya yang belum benar-benar menyadari ketimpangan ini, akan susah untuk tahu batas-batas mana yang harus saya lampaui.

Dan dalam proses saya mencari tahu ini, yang saya temui adalah keputusasaan yang lebih besar. Saya membaca buku tentang kondisi perempuan Katolik yang terbit dua puluh tahun yang lalu, dan apa yang buku itu diskusikan saat ini masih saya rasakan ketimpangannya. Apa yang saya pikirkan sudah disuarakan oleh banyak orang bertahun yang lalu. Sekarang saya bahkan tahu ada pembungkaman, dihilangkannya kesempatan, delegitimasi pada yang bersuara, bahkan untuk masalah tertentu dianggap sebagai isu untuk dibicarakan saja tidak. Jadi, bukan perempuanya yang merasa tidak memiliki pemikiran yang setara dengan lelaki. Tidak ada yang steril, pemikiran dibentuk dari diskusi dan interaksi, dan saya rasa, interaksi yang perempuan dapatkan seringkali adalah interaksi yang timpang. Diskusi semalam dengan seseorang yang sudah lebih dahulu terjun di bidang ini membuat saya menyadari betapa menyedihkan keadaannya, saat ada perempuan yang berbicara, itu sudah merupakan kontribusi. Jangankan membicarakan kebaruan atau perubahan, ada suaranya saja sudah baik. Semenyedihkan itu.

Saya tidak pernah berpikiran untuk menjadi feminis, apalagi feminis yang angry. Namun di satu titik, saya sebagai akademisi perempuan, jika saya masih boleh mengaku demikian, mau tidak mau akan berhadap-hadapan dengan relasi kuasa, ketimpangan, dan sistem yang tidak berpihak kepada perempuan. Seperti yang saya dan kawan-kawan diskusikan, seringkali pengetahuan yang dimiliki seseorang tidak akan membawa perubahan pada orang tersebut, tapi apa yang dirasakan itulah yang akan mengubah. Dan sebagaimana dengan permasalahan yang terkait dengan sistem ideologi yang menginterpelasi pikiran suatu masyarakat, dalam hal ini masyarakat akademis, bukan individunya yang melulu jahat dan ingin menyingkirkan, mereka tidak sadar saja. Sama seperti yang terjadi saat penyaliban, mereka tidak tahu (sadar) apa yang mereka perbuat. Saya pun sebagai perempuan juga baru sadar dan mau mencari tahu setelah merasakan, dan saya dirugikan, maka saya ingin ada perubahan. Jadi jika apa yang saya lakukan sekarang ini memasukkan saya dalam kotak feminis, maka jadilah demikian.

Amen, so be it.

Komentar

  1. Optimisasi Menulis Rasa mesin pencari atau Search Engine Optimization, biasa disingkat "SEO" adalah serangkaian proses yang dilakukan secara sistematis cerita dewasa yang bertujuan untuk meningkatkan volume dan kualitas trafik Berita Terbaru kunjungan melalui mesin pencari menuju situs web tertentu dengan memanfaatkan mekanisme kerja atau algoritma mesin pencari tersebut. Mekanisme mesin pencari yang dimaksud adalah crawling, indexing, dan ranking. Tujuan dari SEO adalah menempatkan sebuah situs web pada posisi teratas, atau setidaknya halaman pertama hasil pencarian berdasarkan kata kunci tertentu yang ditargetkan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith