Ke Pingit Aku kan Kembali


Salah satu hal yang menjadi pusat kehidupan saya tapi jarang banget saya jadikan bahan untuk memproduksi sebuah tulisan adalah Pingit. Sebuah sanggar belajar bagi anak-anak yang tinggal di wilayah Pingit, Yogyakarta.
16 Agustus 2010. Saya ingat benar tanggal itu, tanggal saya pertama kali menginjakkan kaki di tepi kali Winonggo. Saya dan ketiga orang lain pada malam itu dibawa menuruni tangga yang curam dan gelap di belakang kampus Janabadra. Tidak tau bagaimana situasinya, tidak tau siapa yang akan ditemui, tidak tau musti ngapain, langsung aja gitu disuruh nyemplung. Dan saya bener-bener kecemplung, tenggelam dan keseret arusnya yang deras.
Saat itu jam 7 malam, dan ada sekitar tiga puluh anak di tempat itu yang berteriak-teriak, berlari ke sana kemari, berantem, minta gendong, nangis, jajan es, misuh-misuh, mukulin temennya, melempari batu orang lain. Rame dan komplit lah rasanya.
Penampilan mereka pun beragam, ada yang lusuh dengan baju yang warnanya sudah pudar, ada yang berpakaian piyama rapi, ada yang memakai rok yang genit. Apapun penampilannya, semuanya sama bersemangatnya.
Area Bersama
Semangat yang membuat saya ikut semangat untuk kembali lagi. Karena waktu itu saya ngajar di TK, maka saya dengan seorang teman yang sama semangatnya waktu itu membuat berbagai macam ide untuk membuat belajar manjadi menarik dan menyenangkan. Membuat play dough dari terigu untuk anak-anak, mencari gambar di internet buat diwarnai, menyiapkan bintang-bintang sampai makanan kecil buat dikasih ke anak-anak biar mereka tambah semangat belajarnya. Macem-macem lah pokoknya.
Seiring berjalannya waktu, ternyata saya yang niatnya mengajar dan menjadi sukarelawan malah menjadi orang yang diajari oleh Pingit. Banyak hal pertama yang saya lakukan ketika saya mengenal Pingit. Pertama kali menjadi sukarelawan dan menemui pengungsi Merapi, pertama kali merasakan camping di pantai, pertama kali mengajar anak-anak dengan latar belakang yang berbeda dari yang kukenal selama ini. Pertama kali mendaki, pertama kali dengan suka rela tampil di depan penonton saat sarasehan.
Saya juga banyak belajar dari teman-teman sesama volunteer di tempat ini. Belajar mengenai perhatian kepada anak-anak dan keluarga yang tinggal di tempat ini, belajar mengenai komitmen, belajar mengenai relasi, belajar untuk terus belajar dan menikmati prosesnya, belajar menerima, belajar bersabar, belajar menjadi lebih baik lagi.
Tidak selalu menyenangkan memang, saya akui. Ada masa ketika terasa sangat hambar, sepi dan kosong. Kalau sedang sepi-sepinya itu rasanya pengen cabut aja dari Pingit. Tidak sekali saya bertukar pendapat dan mengeluh dengan keadaan yang terasa tidak beres di mata saya. Tidak hanya sekali saya memaksakan pendapat dari sudut pandang saya yang sempit ini. Tidak sekali saya harus menangis karena ada hal yang membuat saya merasa sangat kecewa. Pengen mutung. Pastinya!
Tapi saya tidak bisa, atau tidak mau. Pingit lebih terasa seperti rumah tempat saya berasal, bukan sebagai tempat yang saya datangi. Pingit adalah tempat di mana saya diajari untuk menjadi diri saya sekarang ini. Pingit adalah suatu tempat yang sangat tidak ideal untuk tumbuh bagi anak-anak itu, tapi tempat ini juga yang mengajarkan saya mengenai idealisme. Pingit adalah tempat di mana saya datang dalam keadaan sakit, dan saya akan keluar dari tempat itu dengan keadaan sehat karena tawa dan keceriaannya. Jadi, selama masih ada waktu, selama masih berada di radius yang memungkinkan, selama tidak ada pekerjaan, saya akan kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith