Serpih


Hidup itu seperti mengumpulkan serpih yang Tuhan sudah sebarkan dalam kehidupan. Serpihan pertama kutemukan dalam buku detektif pertama yang aku temukan dan aku baca. Serpihan yang membentuk impian, tujuan dan cita-cita.
Serpihan lain adalah kepercayaan dari orang-orang yang aku sebut keluarga. Tempat di mana aku berakar. Tempat aku pulang dari perjalanan sejauh apapun. Rumah di mana aku bisa pulang dari pertaruhan senekat apapun.
Serpihan lain kutemukan dari uluran tangan teman dan para sahabat. Keberadaan yang terus menyala bahkan dalam gelap yang paling pekat. Tangan yang terus ada hingga lorong gelap itu mencapai ujungnya. Nyala yang akhirnya terus kubawa bahkan ketika persahabatan itu berlalu.
Serpihan lain datang saat aku jatuh cinta dan patah hati karenanya. Kekuatan yang tak pernah kukira aku miliki. Kebahagian ketika berbagi tawa. Membagi sepiring pizza dan obrolan panjang tanpa arah. Kesabaran dan dukungan yang telah aku terima. Berbagi kebaikan dan pemberian total yang tidak pernah aku tahu dan yang akhirnya aku belajar bersamanya.
Anak-anak yang memberikan serpihan-serpihan bercahaya dalam hari-hari gelapku. Ketegaran akan kehidupan yang mengisi bateraiku. Energi yang tidak pernah habis dibagikan, gelak tawa yang terus bergema bahkan setelah malam datang.
Setiap kata yang aku tulis, setiap pertemuan yang membawa pelajaran, setiap teori dan kenyataan yang aku singkap dan temukan. Pengetahuan yang membawa keingintahuan yang belum bisa aku akhiri.
Serpih-serpih yang pada saatnya tersusun menjadi gambar yang aku sebut hidup. Mimpi.
Serpihan yang membuatku tahu ke mana aku harus menuju.
Kadang serpihan itu masih terlalu sedikit, hingga aku tidak tahu apa gambar yang akan dibentuknya.
Kadang gambar itu harus berubah ketika ada serpihan baru yang aku temukan.
Bahkan aku sering berpura-pura tidak melihat gambar yang ada di sana. Karena gambar itu menuntutku bergerak ke arah yang tidak ingin aku jalani. Bukan tidak aku inginkan, tapi aku takut repot, takut sakit, takut jatuh dan hancur. Takut aku tidak cukup kuat terjun ke jurang dan menjalani ketidakpastian. Padahal hidup sudah cukup nyaman tanpa aku harus berubah banyak. Hidup ini sudah cukup menyenangkan ketika kujalani apa adanya.
Tapi cukup saja ternyata tidak cukup. Aku ingin lebih.
Serpihan-serpihan itu banyak jumlahnya. Gambar yang terbentuk juga tidak hanya satu. Semuanya bertumpuk dan berbelit satu dengan yang lain. Gambar yang membawa pilihan-pilihan yang kadang memaksa sampai ke batas untuk dipilih dan dijalani.
Dan Tuhanlah yang menyediakan semua kepingnya, membungkus semuanya untuk sebuah kehidupan indah yang aku jalani.
Bersyukur untuk semua serpihan dan kehidupan yang sudah dijalani.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith