FAQ Pingit

Baru saja saya ada acara wawancara dengan mahasiswa dari UGM tentang Pingit. Beberapa pertanyaan standar dan prosedural ditanyakan dan dijawab sama Frater Adri dengan kapasitasnya sebagai koordinator. Beliaunya ini memang jagoan sebagai koordinator. Di bawah kepempimpinannya yang bertangan besi, dalam beberapa minggu dia sudah melakukan "Adrinisasi" kepada semua pengajar demi mendapatkan metode mengajar yang konsisten dan baik untuk anak. Beliaunya juga sudah mulai membongkar rumah-rumah yang reot dan membangun ulang agar bisa dimaksimalkan bagi yang membutuhkan.
Balik ke wawancara, ada banyak pertanyaan yang diajukan, tapi ada tiga pertanyaan yang membuat saya berpikir ulang.
1. Apa yang membuat saya kecantol sama Pingit?
2. Suka dukanya di Pingit?
3. Harapan saya dengan Pingit?
Saya nggak puas dengan jawaban yang saya berikan tadi, jadi mau saya jawab ulang di sini.
Kenapa saya kecantol dan jatuh cinta pada pandangan pertama sama Pingit. Di luar semua relasi saya dengan para pendampingnya yang sangat membahagiakan, saya jatuh cinta dengan Pingit karena energi anak-anaknya.
Bayangkan. Kita belajar setiap hari Senin dan Kamis jam tujuh malam. Saat itu kita sudah lelah setelah sepanjang hari bekerja, sudah bad mood ketemu teman yang menyebalkan, tugas yang nggak selesai-selesai, pokoknya segala derita sepanjang hari sudah menumpuk. Berangkat ke Pingit juga sudah membawa ngantuk
Elang
dan pegel-pegel di punggung. Belum lagi ditambah emosi yang ikut kita seret-seret.
Dan semua itu hilang begitu turun tangga yang gelap dan curam itu. Capek, marah, masuk angin, pegel-pegel hilang sudah lihat anak-anak dengan energi yang meluap-luap itu. Melihat mereka bernyanyi dan berkejar-kejaran. Dikangeni dan disapa dengan ramahnya oleh mereka seakan kita ini orang yang paling mereka tunggu-tunggu. Pelukan dari mereka kadang merupakan pelukan pertama yang kita dapatkan sepanjang hari, bahkan sepanjang minggu, apa lagi buat yang jomblo. Jadi bisa dibilang, saya kecantol karena saya mengisap energi anak-anak biar tetap awet muda... Hahahahahahaha.... *ketawa jahat
Alasan saya kecantol sama Pingit dan anak-anak tidak terlepas dari pertanyaan kedua, suka duka. Kalau soal sukanya ya banyak, selain energi mereka yang bisa saya manfaatkan, saya senang melihat perkembangan dan pertumbuhan mereka hari demi hari. Ada anak yang dulu malu-malu jadi lebih terbuka dan berani. Anak-anak yang makin tambah besar dan makin menyenangkan buat diajak ngomong. Saya juga senang melihat hasil karya mereka. Tulisan-tulisan mereka yang polos, lucu, dan kadang dengan tata bahasa yang masih kacau. Saya senang saat mereka menanyakan kapan Belik Pingit terbit.
Tapi dukanya juga tidak kalah panjang untuk dibicarakan. Setelah sekian lama di Pingit, tanpa disadari saya jadi kebas dengan keadaan mereka dan merasa bahwa kondisi mereka itu adalah suatu kewajaran. Iya, mereka memang susah, tapi saya baru sadar kalau keadaan mereka itu parah ketika saya bercerita dengan teman-teman saya di luar Pingit.
Saya baru sadar bahwa sebuah kamar berukuran 3x3 dan dihuni empat orang itu adalah suatu hal yang membuat miris ketika saya melihat reaksi teman saya. Bagi saya ya memang sehari-hari seperti itu. Tapi di sisi lain, kalau saya tidak mengebaskan diri, saya yang akan kalah di tengah jalan. Saya melihat anak perempuan yang putus sekolah di kelas tiga SD dan turun ke jalan. Saya di situ tapi saya tidak bisa menyelamatkan. Saya tahu ada anak yang setiap hari diajak mengemis oleh orang tuanya. Saya tahu tapi saya tidak tahu mesti ngapain.
Saya melihat salah seorang anak lelaki yang tertidur di terotoar jam 11 malam setelah lelah mengemis sepanjang hari. Itu anak didik saya, tapi saya hanya bisa membiarkan. Kemarin ada anak TK yang sudah masturbasi, entah tahu dari mana. Entah apa yang dia pikirkan dan rasakan. Saya kuliah Pskologi, tapi di sini semuanya tidak ada gunanya. Harapan dan keinginan saya berkali-kali dipatahkan. Hingga kadang saya datang ya hanya untuk mengisap energi anak-anak tanpa bisa berguna bagi mereka. Dan itu menyedihkan, sangat.
Idealnya, saya ingin bisa mengeluarkan mereka semua dari lingkungan itu dan memberikan mereka semua, anak-anak itu, sebuah lingkungan yang nyaman dan aman untuk tumbuh. Sebuah kesempatan yang saya miliki, tapi tidak mereka miliki. Harapan besarnya saya ingin orangtua mereka semua teredukasi, sehingga mereka tidak misuh di depan anak-anaknya, tidak minum ciu sembarangan dan anak-anak itu ikut mencicipinya.
Idealnya saya ingin para orangtua itulah yang sibuk bekerja agar anak-anak mereka hanya perlu membantu cuci piring dan menyapu, bukan mengemis di jalanan sampai lewat tengah malam. Idealnya mereka punya rumah yang layak hingga tidak harus berhubungan seks di depan anak-anaknya. Idealnya kegiatan anak-anak adalah sekolah, bermain, dan belajar, bukan ngamen dan online sampai pagi. Idealnya...
Tapi seperti yang dikatakan Frater Adri malam ini, "Bukan tentang melakukan hal yang besar, tetapi bagaimana kita melakukan hal yang biasa dengan hati yang besar."
Hal praktis dan aplikatif yang ingin saya lakukan saat ini adalah memastikan sebanyak mungkin anak-anak di Pingit sekolah dengan benar. Yang saya punya dan yang saya bisa berikan adalah waktu saya yang lumayan turah-turah. Mendaftarkan sekolah. Cuma itu. Adakah yang mau membantu?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith