Bahagia di Tempat yang Tidak Bahagia


Fransiskus Xaverius Fri Harna, kelaki yang akarab dipanggil dengan sebutan Mas Frans ini adalah seorang penjaga sekolah di sebuah SD di tengah Pegunungan Menoreh. Sekolah yang tidak luas dengan fasilitas yang seadanya dengan murid yang juga tidak seberapa.
Mas Frans sendiri sudah mulai bekerja di sekolah ini sejak lima tahun yang lalu. Sebelum bergabung di sekolah ini, ia bekerja sebagai petugas pembuat taman di beberapa kota di sekitar Yogyakarta. Awalnya dia tidak mau ketika diajak bergabung di sekolah ini, tapi sebagai alumni dari sekolah ini akhirnya ia mau untuk membantu dan bekerja sebagai penjaga sekolah karena ia memegang ijazah SMA.
“Sebenarnya kalau dihitung ya saya rugi, tapi bayaran itu kan tidak hanya berupa materi.”
Begitu penjelasan yang diberikannya mengenai bagaimana awalnya ia bekerja di tempat tersebut. Ia mengungkapkan bahwa rahmat kesehatan, keharmonisan dalam keluarga, istri yang pengertian, juga merupakan bayaran dari Tuhan yang tidak ternilai harganya.
Selain menjadi penjaga sekolah, di sekolah ini Mas Frans juga ikut mengajar anak-anak. Pada satu kesempatan Mas Frans membawa anak-anak kelas 4 ke bekas sekolah SD Kanisius Kerugmunggang yang sudah ditutup beberapa tahun lalu karena jumlah murid yang semakin sedikit. Di tempat ini Mas Frans mengajarkan pertanian kepada anak-anak itu, mereka diajak untuk merawat pohon jeruk purut yang mereka tanam. Anak-anak ini diajak untuk mencabuti rumput, menyiram dan memberikan pupuk ke tanaman-tanaman tersebut. Terlihat betapa ia sangat peduli dan memperhatikan perkembangan anak-anak didiknya ini.
“Harapan saya anak-anak ini menjadi anak yang utuh. Mereka tidak hanya pintar, tetapi mereka juga memiliki kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.” Itu adalah salah satu harapan yang menjadi semangat bagi Mas Frans untuk terjun dan mengabdi secara total di sekolah ini.
Totalitas Bapak satu anak bagi sekolah SD Kanisius Kenalan ini sudah tidak perlu dipertanyakan. Ia tidak hanya bekerja sesuai dengan pekerjaannya sebagai penjaga sekolah, ia juga mengajar anak-anak agraria dan mengampu ekstrakulikuler Wiji Thukul, ekstrakulikuler yang mengajarkan anak-anak untuk bercocok tanam. Selain itu ia juga harus menginap di sekolah untuk menjaga fasilitas sekolah seperti komputer dan alat-alat gamelan. Ia juga bekerja sebagai sopir yang mengantar dan menjemput anak-anak yang rumahnya cukup jauh dari sekolah dengan mobil bak terbuka.
Banyaknya pekerjaan yang harus dilakukannya dan keterlibatannya sebagai umat di Gereja Katolik Promasan membuat waktunya untuk keluarga sangat sedikit. Ia mengaku bahwa ia hanya mempunyai waktu dua jam sehari untuk berada di rumah dan bertemu dengan keluarganya, bahkan ada saat di mana ia lima hari tidak pulang karena harus mempersiapkan dekorasi untuk acara sekolah. Pada awal pernikahan istrinya juga tidak bisa menerima dengan kondisi pekerjaan Mas Frans, namun setelah diberi pengertian akhirnya istrinya mau menerima dan mendukung aktifitas suaminya.
Bagi Mas Frans hal itu merupakan ungkapan dari kebaikan Tuhan dalam hidupnya, sebagai manusia tentu ia pernah merasa putus asa, dan terpuruk. Terutama jika usaha yang sudah dilakukannya tidak memberikan hasil yang sesuai dengan harapannya. Namun bagi Mas Frans kebaikan Tuhan mengalahkan segalanya, ia dimampukan untuk terus bertahan di pekerjaannya yang sekarang.

Sebenarnya ada beberapa tawaran yang lebih menjanjikan materi, namun ia memilih untuk tetap bertahan di sekolah ini,
“Kalau saya pergi, itu artinya saya pengecut. Sudah tau ada masalah kok malah ditinggal pergi.”
Totalitas. Itulah perinsip yang terus menerus dipegang oleh sulung dari empat bersaudara ini. Itu adalah perwujudannya sebagai seorang Katolik. Menjadi seorang Katolik berarti total terhadap apa saja yang ia kerjakan, selalu memberikan yang terbaik dan mengusahakan yang terbaik bagi karyanya di sekolah ini. Karya yang ia lakukan merupakan suatu perwujudan dari hidup doanya. Baginya bekerja adalah berdoa kepada Tuhan yang mahabaik.
“Cari dulu kerajaan surga, maka semua akan dicukupkan bagi-Mu.” Ayat yang selalu menguatkannya untuk terus berjuang di tengah segala keterbatasan di tempat ini.
“Kalau dipikir ini tempat ini adalah tempat yang sangat tidak bahagia, aksesnya susah, fasilitas juga terbatas. Tapi saya bahagia di tempat ini. Saya menemukan kebahagiaan di tempat yang tidak bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith