Imaji Gender Wanita Cina yang Indonesia

Judul ini sebenarnya adalah judul untuk paper mata kuliah Kajian Gender dan tulisan ini juga mengangkat pembahasan yang kira-kira sama dengan paper itu, ditambah inspirasi dari  Padmo Adi.

Simbok saya pernah, bahkan sering berbicara begini kepada saya, anak perempuannya, “Selama kita bisa bekerja dan menghasilkan uang, ya pekerjaan lain yang tidak menghasilkan uang bisa dipasrahkan ke orang lain. Perempuan juga harus bekerja dan harus bisa mencukupi kebutuhan sendiri dan anak-anak.”
Begitulah gambaran peran gender yang berlaku dalam keluarga saya. Wanita itu juga bekerja dan mengerjakan sesuatu yang menghasilkan uang. Pekerjaan seperti mencuci, memasak, dan merawat anak-anak akan didelegasikannya pada orang lain. 
Hal ini menjadi berlawanan dengan imaji gender yang tumbuh dalam masyarakat.
Menurut Tiwon dalam buku yang berjudul Fantasizing the Feminine in Indonesia, salah satu imaji gender yang tumbuh dan memang diwacanakan di Indonesia adalah Kartini. Kartini adalah seorang yang memperjuangkan emansipasi wanita dan menjadi gambaran ideal dari istri dan ibu.Sesuatu gambaran yang kemudian dikembangkan oleh Orde Baru dalam hegemoni Darma Wanitanya. Padahal, dalam kenyataannya, Kartini adalah seorang yang menentang pernikahan yang dipaksakan kepadanya, bahkan memilih untuk tidak menikah melainkan belajar, dan ia juga tidak pernah menjadi ibu. Kartini meninggal saat melahirkan anak pertamanya.
Dalam Darma Wanita sendiri, peran wanita diutamakan sebagai istri yang ikut suaminya. Posisi dalam hierarki organisasi ditentukan oleh jabatan dan posisi suami. Istri diharapkan menjadi pihak yang memperlancar pekerjaan suami di kantor.
Ini adalah gambaran yang sangat jauh dari apa yang saya alami di rumah. Pertama, orang Cina tidak mungkin menjadi PNS pada masa itu, jadi tidak ada gambaran Darma Wanita dalam hidup saya. Kemudian, rumah saya adalah toko di mana bekerja adalah kegiatan sehari-hari, jadi jaga toko itu bisa dianggap sebagai hobi semua orang dalam keluarga. Dan melihat contoh satu-satunya wanita dalam hidup saya, bekerja adalah kegiatan yang wajar untuk dilakukan seorang wanita.
Selain bekerja saya juga sangat jarang melihat simbok saya melayani suami, seperti membuatkan minum atau menyiapkan makan Bapak saya. Malah seringnya Bapak saya yang berpergian untuk membelikan makanan bagi kami sekeluarga. Mungkin Bapak saya masih menganut paham berburu dan meramu.
Saya sendiri juga tidak merasakan perbedaan perlakuan yang diberikan pada saya dengan kakak lelaki saya. Saya bisa sekolah di tempat yang sama dengan kakak saya. Saya keluar dari rumah pada usia yang sama dengan kakak saya, malah sekarang saya mendapat keistimewaan untuk sekolah lagi setelah sekian lama sekolah dan tidak rampung-rampung.
Menjadi menarik bagi saya adalah reaksi Simbok saya ketika saya membicarakan cita-cita dan masa depan saya. Saat saya bilang saya ingin ambil S2, Simbok saya bereaksi dengan bersemangat dan ceria. Ia sangat mendukung keputusan saya untuk kuliah lagi. Namun ketika saya membicarakan teman lelaki, menikah, dan berkeluarga, terlihat sekali ketidakantusiasan beliaunya. Mungkin karena memang belum ada pacar yang jelas si jadi Simbok saya males yang nanggepin. Apapun alasannya, pada intinya saya menangkap bahwa pencapaian akademis dan karir adalah sesuatu pencapaian yang lebih penting yang beliau ingin saya capai.
Tapi entah kenapa saya menginginkan kehidupan yang sedikit berbeda. Sama seperti para lelaki yang menginginkan memiliki istri yang bisa memudahkan dan melancarkan pekerjaannya di kantor dengan mengurus rumah, dengan logika yang sama saya juga ingin memiliki suami yang bisa menghidupi saya sehingga saya bisa melakukan segala hal yang saya inginkan. Kerja sosial misalnya, atau menulis seperti yang saya inginkan tanpa peduli apakah tulisan saya bisa menghidupi atau nggak. Bisa jadi bukan?
Bukan berarti saya tidak ingin bekerja. Kalau tidak bekerja ngapain coba? Saya sudah mengalami masa-masa menjadi sampah dan klumbrak-klumbruk kaya kumbahan selama beberapa waktu, dan bagi saya itu tidak menyenangkan. Membosankan dan tidak baik bagi harga diri saya. Namun di sisi lain, saya ini adalah orang yang belum pernah merasakan menghidupi diri saya sendiri, jadi saya belum yakin bahwa saya bisa melakukan itu. 
Kesempatan untuk bersekolah, bekerja, dan mengekspresikan diri dengan tidak terbatas membuat kesetaraan gender menjadi sesuatu yang tidak penting dalam kehidupan saya. Saya tidak mengalami penindasan karena saya perempuan, karena Cina atau Katolik, iya. 
Kata Padmo Adi, hal itu kemudian mau tidak mau harus dikaitkan dengan masalah kelas. Saya adalah golongan borjuis atau kelas menengah lah yang mampu mendapatkan akses untuk pendidikan. Dan saya juga mengakui bahwa pendidikan membuat saya tidak lagi menjadi subaltern, saya sudah dapat berbicara mengenai kecinaan yang menjadi masalah dalam kehidupan saya. Sesuatu yang pasti tidak dapat saya ungkapkan jika saya tidak mendapat pendidikan. 
Pendidikan membuat saya tidak lagi merasa bahwa diskriminasi yang saya terima adalah sesuatu yang wajar saya dapatkan karena saya Cina. Kewajaran yang masih dirasakan oleh beberapa orang keturunan Cina yang pernah saya temui dan tanyai. Kewajaran yang menakutkan karena menganggap diri sendiri lebih inferior dan selayaknya diperlakukan tidak menyenangkan.
Jadi bagi saya perjuangan akan kesetaraan gender adalah sesuatu yang kurang relevan dalam kehidupan saya, kesetaraan akan kelas ekonomi dan mungkin menghilangkan rasisme adalah agenda yang lebih penting dalam kehidupan saya.
 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith