Mengenang dan Menuju

Saya ini adalah orang yang senang ikut trend. Seperti trendnya pada akhir tahun di tv-tv selalu bikin kilas balik, maka saya juga akan bikin kilas balik sendiri buat diri saya sendiri. Melihat kembali hidup saya setahun ini apakah ada gunanya atau tidak, minimal buat diri saya sendiri lah. Dan ini adalah tulisan yang dibuat untuk melarikan diri dari empat tulisan lain yang harus saya tulis tapi enggan saya mulai-mulai.

Tahun ini adalah salah satu tahun dengan banyak perubahan. Ini adalah tahun yang bertemakan hubungan untukku. Baik hubungan yang datang, maupun hubungan yang hilang, atau mungkin berubah lebih tepatnya. Tahun ini adalah tahun di mana saya banyak ditinggalin sama teman-teman main saya.

Dalam setahun ini ada tujuh orang di lingkaran dalam kehidupan saya yang menikah. Teman gereja, teman kemping, teman runtang-runtung, teman mimik-mimik cokelat malam-malam, tukang bully, teman SMA. Semuanya menikah.
Menikah yang berarti memulai hidup baru. Hidup sebagai pasangan yang berarti jadi susah diajak runtang-runtung, mimik-mimik, makan es krim, jalan-jalan ke mall...

Contoh teman yang menikah
Dua orang lagi sisanya juga memulai hidup baru dengan tahbisan jadi Romo. Tambah sepi lah hidup saya. Nggak ada orang yang marah-marahin saya yang dolan terus, jadi jarang ada yang ngajakin makan pasta, jadi nggak ada yang dijadikan alasan buat main ke rumahnya dan ngabisin tart, jadi tambah susah cari temen buat nonton... Tambah lagi satu teman runtang-runtung saya, yang menyelamatkan saya kalau saya lupa bawa dompet pas di warnet, lulus dan pulang ke desa. Pada intinya di satu sisi saya kesepian... (tersedu-sedu).

Kenapa di satu sisi? Karena... di sisi lain saya mendapatkan kegiatan baru yang menguras, mengisap, dan menghabiskan sebagian besar waktu dan tenaga saya. September kemarin saya memulai kehidupan saya sebagai mahasiswa. Lagi. Setelah tujuh taun bergumul dengan kehidupan sebagai mahasiswa pada akhinya saya malah memulai lagi kehidupan sebagai mahasiswa. Padahal dulu buat keluar saja harus susah payah, ngapain juga saya malah memasuki lubang lain yang bisa jadi lebih dalam dan lebih susah untuk dipanjat keluar.

Tapi dengan kuliah juga saya pada akhirnya merasakan menjadi mahasiswa yang pengangguran. Soalnya ni ya, setelah saya runut-runut lagi ke belakang, ternyata saya dari 2006 sudah mulai kuliah sama jualan pulsa. Jadi jam kuliah saya buat garisin buku penjualan dan nagihin utang. Masih pakai ke bank, transfer, mikirin modal, menghitung pemasukan atau kerugian, berantem... Repot juga ternyata.

Lepas jualan pulsa, saya jualan lagi. Jualan keripik tales dari warung ke warung. Cuma dua bulan, soalnya saya deg-degan tiap jualan. Ternyata jualan dengan sistem door to door dan nawar-nawarin barang nggak cocok buat mental saya. Oh... Nyambi jualan orifla** juga. Terus saya sempat magang sebentar di TK, sempat bergabung sebentar di EO radio yang mengumpulkan peserta lomba mewarnai, sempat jaga stand di mal juga. Terus dapet kerjaan permanen sebagai editor, pekerjaan yang membuat saya bahagia. Terus jadi asisten dosen, terus nulis juga.

Balik lagi ke kuliah. Kuliah memberi saya uatu pembenaran yang legal dan terasa penting untuk saya melepaskan semua pekerjaan yang sudah saya lakukan selama ini. Saya resign dari pekerjaan saya sebagai editor, bahkan menulis yang saya niatkan akan saya jalani bersamaan dengan kuliah ternyata juga tidak mampu saya lanjutkan. Bulan Oktober lalu saya menyerah, kalah. Presentasi sudah menguras semua energi otak yang saya miliki. Maklum otak saya nggak banyak, jadi susah buat diajak mikir lama-lama. Jadinya ini adalah bulan-bulan nganggur saya setelah enam tahun lah kira-kira. Menyenangkan.

Saya masih kagum dengan teman-teman saya yang sanggup kuliah dan masih bekerja yang butuh mikir juga. Kuliah, bekerja, masih harus bikin tugas di rumah, menyelesaikan pekerjaan di rumah, dan di luar itu juga masih banyak kegiatan yang harus dilakukan untuk membuat kita tetap manusia. Mandi misalnya, atau berteman. Entah energi dari mana, entah pada tidur berapa jam.

Yang ajaib lagi dari hidup saya sekarang adalah saya sudah tidak lagi kecanduan Pingit. Saya pergi, dan saya baik-baik saja ternyata. Dan itu menimbulkan ambivalensi ternyata, di satu sisi saya heran dengan apa yang saya rasakan, tapi di sisi lain saya bahagia juga dengan keadaan ini. Mungkin karena teman-teman saya sudah tidak ada lagi yang ada di sana jadi saya santai aja gitu.

Pada akhirnya semuanya adalah tentang menyesuaikan diri. Menyesuaikan diri dengan apa yang sudah hilang. Yang pernah ada dan sekarang tidak lagi bisa ditemukan atau susah dilakukan. Menyesuaikan diri dengan banyak hal baru, rutinitas baru, tugas-tugas baru. Dan tidak cuma saya yang ditinggalkan yang merasakan ini.

Baru beberapa minggu yang lalu saya membahas hal ini dengan teman Romo saya waktu main ke Jogja. Semester ganjil ini banyak dari kami yang harus menjalankan kehidupan dan rutinitas baru. saya yang jadi mahasiswa, dia yang menjadi Romo di tempat yang baru dan asing, teman saya pulang ke Lampung dan jadi guru BK. Beberapa memulai peran baru menjadi istri, beberapa menjadi suami. Dan pertemuan saya dengan Abang Romo ini menjadi menyenangkan karena banyak hal baru yang sekarang bisa kami bagi dan bicarakan. Pastinya akan begitu juga jika saya bisa bertemu dengan teman-teman saya yang lain.

Saya beruntung bahwa saya tidak perlu pindah di tempat yang baru. Saya masih jaga rumah di Jogjakarta. Paling tidak saya tidak perlu lagi menyesuaikan diri dengan lingkungan, tidak perlu berkenalan lagi dengan terlalu banyak orang, tidak perlu mencari gereja yang baru, tempat belanja baru, belajar bahasa baru, dan kehebohan yang lain. Saya hanya perlu mengubah arah motor saya setiap harinya. Dulunya ke jalan Magelang, sekarang cukup ke Mrican saja.

Sekarang saya belajar untuk menuju pada sesuatu. Pada apa?, saya masih belum tahu pasti. Yang pasti saya sudah tidak ingin lagi berlari, soalnya kalau cuma lari dari sesuatu biasanya saya cuma nabrak-nabrak nggak jelas dan nggak tau mau lari ke mana. Bahkan pada akhirnya saya tidak tahu lagi lari dari apa. Jadi sekarang saya ingin menuju pada sesuatu.

Harapan saya di tahun yang baru besok, di usia yang sudah 27 (hicks... tuo...), adalah saya ingin semua paper ini selesai tepat waktunya. Paper-paper di semester depan juga selesai tepat waktunya, presentasi-presentasi juga bisa saya kerjakan. Bisa bikin proposal dengan benar di semseter tiga. Itu saja dulu. Kalau Tuhan mau ngasih bonus, saya nggak nolak.

Selamat Tahun Baru...


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith