Cuma Punya Iman

Bulan ini adalah bulan terakhir saya dikontrak untuk penelitian dengan kantor di Jakarta. Akhirnya setelah seumur hidup, di luar masa-masa ditanggung orang tua, saya merasa sejahtera dan tidak deg-degan setiap hari karena uang yang mepet dan tipis. Akhirnya, saya keluar dari black period di mana hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar saja. Ya kalau dibilang miskin, tidak juga, karena batas kemiskinan menurut BPS sekarang ini ada di pengeluaran 1.9 dollar PPP atau setara dengan Rp486.168. Angka yang menjadi batas dari PBB walau dalam kenyataannya agak susah ya hidup dengan angka segitu apalagi buat yang hidup di kota.

Bertahan di Jogja bukan hal yang gampang buat saya, apalagi setelah umur menginjak 30-an, minta dari rumah juga tidak mungkin, selain malu, ngga ada juga uangnya. Ya kelihatannya punya toko, tapi keuangan kami tidak selancar itu, saudara-saudara. Akhir tahun 2020 lalu saya juga memilih WO dari sekolah, salah satu faktor terlihatnya ya karena kemiskinan. Mungkin bagi banyak orang bisa, tapi bagi saya ternyata tidak bisa untuk bekerja sembari kuliah, dan sembari menanggung sakit mental dan relasi yang rumit. Mungkin dua faktor terakhir lebih berpengaruh ya sebenarnya.

Selain itu, pilihan-pilihan saya memang agak tidak normal. Saya tidak memilih hidup dengan gaji pokok dan berangkat ke kantor, tapi lebih memilih mengembangkan usaha sabun, freelance ke sana sini, atau menulis artikel sesekali. Pada awalnya, ya karena beban utama saya adalah kuliah, jadi tidak memungkinkan untuk bekerja fulltime sekaligus kuliah. Tapi walau kuliah saya dibayari, saya ternyata tidak berhasil bertahan hidup dan menulis riset di saat yang bersamaan. Agak susah buat saya berpikir dan membaca teori ketika di awal bulan sudah dihadang keharusan untuk membayar kos dan di ATM uang tidak sampai satu juta. Ya di saat itu, pasti saya lebih memilih memasarkan diri ke teman-teman yang biasanya punya kerja sabetan. Seperti mengerjakan transkripsi misalnya.

Karena pilihan-pilihan saya inilah, makanya saya tidak terlalu berpikir tentang gaji pokok atau UMR Jogja atau UMR Sleman. Penghasilan utama saya jualan sabun, sampai sekarang masih harus mengejar angka gaji pokok itu. Namun tidak menutup kemungkinan saya mendapatkan jauh dari angka itu dengan pekerjaan-pekerjaan sampingan yang entah saya dapat dari mana.

Walaupun mungkin terdengar aneh karena saya yang bilang, atau klise, tapi toh saya pada dasarnya hidup dengan iman. Seperti yang dikatakan teman saya kemarin ketika membahas bagaimana nasib saya setelah kontrak kerjaan ini selesai dan belum terlihat ada titik cerah baru. Ya sudah, karena saya tidak punya uang, ya saya cuma punya iman. Mungkin karena ini juga ya, Tuhan belum mengizinkan saya kaya, biar tetap punya iman saja.

Sepanjang masa-masa sekolah saya, dan sudah tidak ditanggung oleh orang tua, ternyata saya hidup-hidup juga. Kos bisa dibayar dengan lancar, walau di antaranya saya tetap deg-degan, kalau engga bisa bayar, saya ke mana ya. Selalu ada rezeki yang datang entah dari mana. Bahkan pekerjaan penelitian yang terakhir ini datang setelah sehari sebelumnya lamaran saya ditolak. Pagi harinya saya dihubungi teman dari antah berantah, dan boom, begitu saja saya terlibat di pusat penelitian ternama di Jakarta. Menemukan pekerjaan yang ternyata saya suka dengan penghasilan yang sangat cukup. Buat saya, ini ikigai.

Sekarang, ya sementara ini pekerjaan saya kembali ke jualan sabun saja. Walau ada dagangan lain, walau ada banyak proyek pribadi yang bisa saya kerjakan. Kalau ada yang butuh freelance mungkin bisa kontak ya. Saya juga baru saja salaman dengan Mbak Galuh untuk fokus jualan sabun, jadi paling tidak saya tidak lagi mencari pekerjaan ke luar kota. Dan soal rezeki, ya sebagai hal yang ada di luar kuasa saya akan datang dari mana, akhirnya saya cantolkan lagi kepada Tuhan. Walaupun, solusinya datang bukan jatuh dari langit begitu saja. Semacam, walau pekerjaan datangnya dari Tuhan, tapi saya juga bilang 'iya' dengan pekerjaan itu. Bisa hidup dan bayar kos artinya saya mengambil 3 pekerjaan sekaligus, bekerja di luar jam kerja normal, dan bergerak lebih banyak. Tapi kurasa, banyak teman saya yang melakukan hal sama, tidak ada yang benar-benar cukup hidup dari gaji UMR. Banyak yang seperti saya dengan mengambil lebih dari satu pekerjaan, bekerja dari pagi sampai pagi lagi, atau berteman banyak-banyak dan mengambil proyek yang bisa diambil. Ya mungkin tidak ideal dengan imaji 9-5 dan bisa hidup cukup dari situ, tapi paling tidak kami mengambil risiko ini dengan sadar, dan kami bukan korban dari ketidakadilan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith