Membuat batas

Aku ini termasuk orang yang terbuka, terbuka banget malah sama apa yang sudah dialami dan terjadi dalam hidup. Apalagi untuk orang-orang yang sering main sama aku, pasti tahu bahkan tanpa diminta aku  akan update sendiri untuk kondisi kehidupan yang dialami. Termasuk juga untuk perkembangan terakhir kesehatan ini. Ke dokter aja aku bisa laporan ke beberapa orang, buat hiburan. Tapi yang bikin aku biasanya jadi malas dan menarik diri adalah reaksi dari orang-orang yang heboh, kaget, lalu menyarankan banyak hal. Walau terbuka, aku tu canggung menghadapi emosi, apalagi malah jadi aku yang perlu memberikan ketenangan ke orang lain.

Respon ini menjadi salah satu alasanku enggan periksa gula ke apotek. Aku sudah tahu ni hasil pemeriksaan akan tinggi, yang aku engga siap adalah reaksi kaget dari orang yang memeriksa dan jadi merasa harus menjelaskan apa yang sudah aku lakukan, atau memang hal itu sudah terbiasa terjadi. 

Mulai minum obat ini juga jadi perlu ancang-ancang kalau pergi makan sama teman. Bagaimana reaksinya, apakah akan biasa saja? Seperti kemarin makan sama teman dan untuk pertama kalinya dia tahu aku harus mengkonsumsi obat, ekspresinya shock. Dan aku yang harus menenangkan dengan bilang aku itu engga papa. Pada dasarnya aku memang merasa baik-baik saja, mungkin malah menjadi lebih baik daripada sebelum minum obat ini tubuhnya. Memang ada adaptasi yang perlu dilakukan dengan tubuh yang baru ini, tapi rasanya sampai sekarang bukan hal yang membahayakan nyawa. 

Reaksi lain yang rasanya bikin aku sangat sebal adalah reaksi kepo di tempat yang tidak tepat, seperti di sosial media. Bertanya apa yang terjadi secara pribadi akan aku jawab dengan baik-baik, tergantung orang dan suasana, karena hal di atas itu juga. Kalau menjawab apa adanya akan membuat orang shock dan bikin suasana berubah, biasanya aku akan ngeles. aku malas tanggung jawab cheer up-nya jadi jatuh padaku. Jadi niatnya bukan pada merahasiakan keadaan, malas aja. Kalau kamu cool, secara umum aku akan menjawab dengan cool juga. 

Hal terakhir yang paling-paling aku hindari adalah orang yang memaksakan pendapatnya untuk aku lakukan dan bertindak seakan dia orang yang paling tahu yang terbaik untukku. Apalagi jika hal itu sudah aku rasa melewati batas teritori yang aku dirikan, masih masuk begitu saja, membuat judgement yang aneh-aneh. Hal ini sering terjadi karena niat baik, niat yang sangat baik sampai terlalu masuk dalam kehidupan orang lain. Untuk kasus ini, aku akan mundur dari relasi, baik secara perlahan, maupun dalam bentuk yang ekstrem. Bukannya tidak paham dengan perhatian dan niat baiknya, tapi dengan melanggar privasi dan keputusanku, aku jadi merasa tidak dianggap sebagai orang dewasa yang punya intelektualitas. Dianggap tidak kompeten dengan keputusan yang aku lakukan, atau perasaanku jadi dianggap tidak valid. Apalagi aku sudah merasa berusaha maksimal, tapi orang luar masih menyuruh ini itu. Hmmmm...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith