Menikah


Dalam 2 tahun terakhir ini, ada beberapa hal yang buat aku merasa sudah tua, atau istilah lebih halusnya dewasa lah. Dan salah satunya adalah teman-temanku sudah mulai memasuki jenjang kehidupan yang baru yaitu pernikahan (Pernikahan di sini adalah pernikahan yang sesungguhnya, direncanakan, disetujui pihak keluarga dan dipublikasikan. Bukan pernikahan karena kecelakaan, ke gap ML atau kehamilan). Temen-temen yang dulu jaman SMP dan SMA masih sama-sama maen-maen, gila-gilaan, kejar-kejaran, ngemall, tongkrong sekarang atau sebentar lagi sudah menjadi ibu dan bapak.
Mungkin mereka memang sudah siap. Tapi ada beberapa yang kuanggap romantis dan mungkin kurang realistis, atau bisa juga aku yang sinis memandang lembaga pernikahan. Dalam usia 21 atau 22 tahun. Baru lulus kuliah, masih berusaha menemukan hidup kita sendiri.
Ada seorang teman yang memandang bahwa setelah meikah ia akan memasuki suatu kondisi yang aman dan nyaman. Bergantung pada suami, hidup mengurus urusan domestik, bekerja sambilan dan mendidik anak. Kondisi yang not bad benernya..
Tapi entah kenapa kau memandang pernikahan sebagai suatu yang berat dan mengikat.
Pertama: Di usia yang baru memasuki kepala dua dan belum juga lulus kuliah, maka sudah bisa diduga bahwa mamaku tercinta akan mencabut hakku sebagai anak. Sebagai anak yang sudah disekolahkan susah-susah, jauh dari rumah, jual rumah, jual tanah, memeras keringat, akan dianggap sangat tidak menghormati usahanya jika aku tidak memanfaatkan gelar dan pendidikanku dengan sebaik-baiknya. Dan menikah adalah salah satu hal yang dianggap menyia-nyiakan gelarku. (semoga bisa segera didapat)
Kedua : Perubahan tanggung jawab. dari yang bersetatus anak kan berubah menjadi anggota masyarakat seutuhnya dengan segala tuntutannya. Seperti, arisan, kondangan, layat, jenguk orang sakit, kerja bakti, tilik bayi, rapat RT, rapat RW, buat KK baru dan banyak hal lain.. Fiuhh...
Ketiga: Point yang kedua di atas akan diikuti point yang ketiga ini yaitu uang. Semua membutuhakan biaya. Arisan, sumbangan, bayar listrik, bayar sampah, uang keamanan, uang kesehatan, kontrak atau cicilan rumah, dan seterusnya...
Keempat: Penyesuaian akan perubahan besar-besaran. Beberapa tahunpun kita pacaran dan mengenal keluarga dari pacar kita tetap akan membutuhakan sedikit atau banyak penyesuaian. Mengenali seluruh anggota trah dari pasangan kita dan mengenalkan anggota keluarga kita. Siapa yang harus di panggil mbah, oma, cik, uda, tulang, beli, koh, tante, uwak dan sebagainya. Menyesuaikan barang apa yang dipakai di rumah, pasta gigi rasa apa yang disukai, beli satu merk dipakai berdua? atau beli 1 saja? Menyesuaikan dengan kebiasaan tidak menjemur anduk, mendengkur saat tidur, buang ingus sembarangan, rasa masakan yang ternyata mengerikan, tidak bisa masak nasi, selera makan yang berbeda sampai penyesuaian-penyesuaian lain yang lebih berat. Bahkan setelah 26 tahun pernikahan pun orang tuaku masih mengeluhkan kebiasaan 1 sama lain.
Kelima: Tanggung jawab dan komitmen. Dengan menikah kita punya tanggung jawab yang mau tidak mau harus kita pikul. Saat masih singel kita bisa saja hang out, ngafe, atau maen ps di tempat temen sampai pagi dan tidak pulang di rumah. Tapi kalau hal itu dilakukan setelah menikah mungkun saat sampai rumah, sudah ada tumpukan barang-barang kita dengan pesan tidak usah pulang sekalian..... atau tulisan sudah bukan rumah Mr.X atau MS. Y. ada pula kewajiban-kewajiban tradisional seperti mengurus dan melayani suami, mencari nafkah untuk keluarga (uang suami adalah uang istri, uang istri adalah uang istri), dan lain-lain.
Keenam: Masalah-masalah lain yang menyertai dalam pernikahan. Banyak masalah yang cuma bisa kita temui jika kita menikah. Contohya: Pasangan kita adalah pelaku KDRT (baca: Tes for Two karangan Clara Ng), masalah seksual (masokis? sadistis? impotensi? penyakit kelamin?). Masalah denga mertua (mertua yang terlalu campur tangan, mertua yang tidak mau ikut campur, terlalu cerewet, terlalu pendiam, terlalu dekat, terlalu jauh). Masalah anak dan perkembangannya (dimulai dari KB atau langsung punya anak, suami ikut senam lamaze atau tidak, cesar atau normal, asi atau susu formula, sekolah di play grop A atau H, mau ditipkan ibuku atau ibumu, dan seterusnya). Komunikasi (suami sibuk istri sibuk, brangkat belum bangun pulang sudah tidur)

Ya, sebenarnya dari uraian di atas tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Banyak pula hal-hal yang baik dan menyenangkan pastinya, karena kalau tidak tidak akan mugkin sebagian besar penduduk dunia memilih untuk menjalani hidup dengan berpasangan semenebalkan apapun itu. Jadi jika memang sudah siap an mantap kenapa tidak...

Komentar

  1. Ralat untuk judul buku karangan clara NG adalah Tea For Two. Maaf sebelumnya soalnya saya memang kurang teliti..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith