Analisis Artikel Jokowi dan Perpustakaan

Ini adalah tulisan yang dikumpulkan kepada Bapak Haryatmoko sebagai tugas akhir semester mata kuliah Hermeneutika.


JJ Rizal, Sejarawan, @JJRizal, Majalah Gatra, 19-25 Juni 2014

diambil dari twitter @JJRizal



Adakah cara yang paling gampang untuk mengukur sebuah kota beradab atau tidak? Pertanyaan ini muncul pada hari mulia, World Book Day, di Museum Nasional Jakarta 23 April lalu dalam diskusi memperingati Kartini. Siapapun tahu, Kartini dan buku seperti gigi dengan gusi; dekat sekali.
Akan tetapi, sedikit yang tahu bahwa Hari Kartini dan World Book Day pun dekat sekali dengan hari lahirnya Perpustakaan Nasional RI. Kelahiran Perpustakaan Nasional bermula dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen atau Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia yang didirikan 24 April 1778.
Pesan dari serentetan peristiwa yang kebetulan itu jelas bahwa ada hubungan antara buku, perpustakaan, dan modernisasi kota dengan perkembangan sosial sebagai katalis kemunculan tokoh-tokoh pembaruan peradaban. Tak aneh jika perpustakaan, kata sejarawan Lucian Febre dan Henry Jean Martin, adalah penanda terpenting dari gerak maju peradaban Barat pada era pencerahan. Keduanya menemukan relasi antara literasi dan perkembangan di Barat. Hal itu terbaca pada revolusi mental tentara, dari kalangan kurang membaca menjadi mau membeli buku, sampai akhirnya mendirikan perpustakaan publik dan perpustakaan sendiri.
“Bagiku hanya ada dua keningratan, yaitu keningratan pikiran dan keningratan budi,” begitu tulis Kartini pada 1898. Terkait dengan hal itu lahirlah revolusi budaya yang mendorong reformasi mental dengan transformasi tata nilai, ide, dan jalan hidup dalam bentuk gerakan berbasis ilmu, serta kualitas pikiran sebagai ukuran kehormatan. Apabila Kartini dan generasi setelahnya—Tjipto, Dewantara, Dekker, Tan Malaka, Thamrin, Sukarno, Hatta—mampu membuat gerakan kebangkitan di masa lalu Indonesia dengan berhasil memancangkan “pikiran” dan “keberaksaraan” sebagai tanda, lantas tanda apakah gerangan yang diciptakan elite masa kini?
Itu pertanyaan genting yang harus dicermati. Mengapa? Begini, pada 14 Maret 2013, Jokowi, Gubernur Jakarta yang kini dianggap model ideal pemimpin Indonesia mencopot Walikota Jakarta Selatan, Anas Effendi. Ia kedapatan tidur sampai mendengkur keras saat Jokowi berpidato di Rapat Paripurna DPRD Jakarta, 13 Maret 2013. Wajar Jokowi naik pitam. Selang sehari, Jokowi menilai buruk kinerja Anas lalu menghukum dengan menaruhnya sebagai Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Jakarta. Setahun kemudian, pada 11 Maret 2014, Jokowi menaikkan kembali Anas sebagai Walikota Jakarta Barat. Kenaikan kembali itu karena menurut Ahok, “Anas sudah bertobat dan berjanji memperbaiki kesalahannya.” Sementara itu, Jokowi melihat Anas telah insyaf atas yang disebutnya sebagai cara kerja dengan “ritme baru dan totalitas baru”.
Sikap serta tindakan Jokowi dan Ahok itu jelas telah menandai perpustakaan sebagai tempat buangan, tempat orang tak pantas. Lebih jauh sikap dan tindakan itu juga menandai perpustakaan tidak saja hal yang tidak penting dalam wawasan berpikir mereka, tetapi daya pikir dan daya literasinya pun telah ditaklukkan oleh pragmatisme dan banalisme. Paradigma pikir semacam ini tak ayal mengerdilkan peran strategis perpustakaan sebagai institusi yang sebenarnya menjadi ukuran peradaban bangsa, organ kemajuan sosial, dan instrumen budaya, serta perkembangan ilmiah juga kognitif. Otomatis sikap dan tindakan Jokowi itu berkontribusi besar dalam menebalkan paradigma yang sudah kuat di masyarakat bahwa perpustakaan adalah kartu mati, sebab tidak bernilai penting sekaligus sepi prestise.
Berlatarbelakang peristiwa itu, selain telah menyumbang kata “blusukan”, Jokowi juga menyumbang istilah “diperpustakaankan”. Istilah “diperpustakaankan” ini menambah istilah yang telah lebih dulu diwariskan Orde Baru dan sama artinya, yaitu “dimuseumkan”. Kata “dimuseumkan” menurut KBBI artinya, “menyimpan dan tidak menggunakan lagi barang-barang yang sudah terlalu lama digunakan atau tidak pantas lagi digunakan”. Secara umum diartikan barang (atau orang) yang dianggap sudah tak berguna, tak pantas digunakan, atau tak memberi manfaat optimal lagi.
Pada 1970-an, istilah “dimuseumkan” sangat populer di Jakarta. Ali Sadikin melalui intruksi No. D III/2217/d/2/1974 berusaha menjernihkan istilah “dimuseumkan” itu dengan mengajak anak-anak sekolah di Jakarta ke museum-museum, terutama Museum Nasional yang saat itu sekaligus Perpustakaan Nasional. Bang Ali berharap instruksinya tidak saja akan mengikis kesan sesat tentang “dimuseumkan”, tetapi juga memompa minat baca agar jangan jadi “generasi nol buku”. Hal ini sekaligus agar tumbuh kebanggaan masyarakat Jakarta, betapa beruntungnya mereka sebab memiliki perpustakan tertua di Asia Tenggara yang saat itu mengoleksi sedikitnya 100.000 judul buku.
Ketika Jakarta masih sangat muda dan bernama Batavia, salah satu yang dirasa mendesak dibangun memang perpustakaan dan museum. Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1777–1780) segera mendukung ide menantunya, J.C.M. Radermacher, sebagai pendiri Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen yang hendak mendirikan perpustakaan dan museum. Seperti yang telah disinggung di awal, pada 24 April 1778, Radermacher memulainya dengan menyumbangkan buku-buku dan benda kuno sebanyak enam lemari. Dari benda-benda kuno Radermacher itulah kemudian berkembang menjadi Museum Nasional. Sementara itu, dari sumbangan buku-bukunya menjadi Perpustakaan Nasional hari ini.
Arti penting perpustakaan dan museum bagi masyarakat dan elite kolonial di Batavia juga terlihat dari perpindahannya. Semula keduanya itu menempati rumah kecil sumbangan Radermacher di Kali Baru. Lantas karena koleksinya bertambah, diberikanlah gedung baru di Jalan Harmoni No. 3. Pada 1868, perpustakaan dan museum dipindahkan lagi ke tempat bergaya neocorintic di Jalan Merdeka Barat 12. Perhatian besar pemerintah kolonial terhadap perpustakaan dan museum ini juga memicu pendiriannya di tempat-tempat lain, seperti Bogor, Bandung, Tegal, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Bukittinggi, Makasar, Menado, Gorontalo, Ambon, dan lain-lain.
Ketika Indonesia merdeka, bahkan di tengah situasi revolusi, elite Republik Indonesia tak melupakan peran vital perpustakaan. Meskipun tidak ada pembelian buku baru sebab nol budget, Perpustakaan Nasional di Jakarta mengusahakan mencari hibah buku-buku dari dalam dan luar negeri, juga mengadakan pertukaran koleksi. Termasuk menjadikan Perpustakaan Nasional sebagai tempat penyimpanan (depository library) bagi yang kesulitan mengurus buku-buku. Bukan hanya di ibukota, menjelang Perang Kemerdekaan 1947, Hatta mendorong berdirinya perpustakaan di Bukittinggi. Bahkan sebagai kenang-kenangan kembalinya ibukota Indonesia ke Jakarta pada 1950, Hatta membangun perpustakaan di Yogyakarta.
Sukarno dan Hatta termasuk yang rajin menghibahkan buku. Mereka juga menjadi sumber dana rutin bagi Perpustakaan Nasional dengan berlangganan tetap jasa penjilidan kain linen yang bagus kualitasnya untuk buku-buku mereka. Kedua pendiri bangsa ini hanya mewakili kawan seangkatan mereka yang menaruh buku dan perpustakaan sebagai mahkota kehidupan. Perpustakaan adalah basis revolusi mental sebagai syarat pembangunan human capital sebagai sumber daya yang tak akan habis, sekaligus syarat utama membangkitkan masyarakat kreatif yang beradab sebagai pengelola kekayaan alam Indonesia yang meruah. Oleh sebab itu, selain mereka memiliki perpustakaan pribadi, juga berusaha membangun dan menghidupkan perpustakaan di tengah masyarakat sebagai ekosistem keadaban. Bahkan sebagai penguasa yang jauh dari dunia intelektual, Soeharto bersama isterinya menaikkan status Perpustakaan dan memberinya gedung sendiri pada 11 Maret 1989 di Jalan Salemba Raya 28A.
Berkaca pada hal itu, sikap dan tindakan Jokowi menempatkan perpustakaan sebagai tempat buangan, kamp bagi yang tak pantas adalah gambaran nyata krisis wawasan kebangsaan di kalangan elite. Sebagai gubernur sebuah kota yang punya sejarah literasi panjang dan berkelindan dengan sejarah gerakan kebangsaan—sekaligus tokoh nasional yang sangat berpengaruh serta ditahbiskan menjadi model pemimpin Indonesia baru—seharusnya Jokowi bukan hanyut dalam arus besar fenomena yang disebut sosiolog Frank Furedi sebagai ‘the cult of philistinism’, pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap daya tarik material dan praktis. Hal itu pula yang menurut Yudi Latif menyebabkan nasib Indonesia yang tak habis dirundung malang karena lebih memuja kemewahan. Akan tetapi, di sisi lain sangat menghina daya tulis, daya baca, daya pikir, dan daya pengetahuan sebagai penentu kehormatan seseorang.
Jika Jokowi mencita-citakan revolusi mental seharusnya mengukuhkan kembali budaya pikiran juga keberaksaraan yang jadi sumber kekuatan logos atau pengetahuan. Hanya dengan cara demikian, suatu bangsa punya daya refleksivitas. Tanpa kemampuan refleksi diri, suatu bangsa kehilangan wahana pembelajaran untuk menakar, memperbaiki, dan memperbarui dirinya sendiri. Karena itu, jangan kaget jika bangsa Indonesia bergerak seperti zombie, pertumbuhan besar fisiknya tidak diikuti perkembangan rohaninya.


Analisis CDA Sigfried Jager dan Florentine Maier

1. Konteks
  • Artikel ini dipilih karena artikel ini mengkritisi visi misi Jokowi mengenai Revolusi mental yang bertentangan dengan kebijakan yang dia lakukan. Jokowi memutasi atau “membuang” seorang yang dianggap tidak becus ke perpustakaan.
  • Artikel ini ditulis oleh JJ Rizal seorang sejarawan yang terlibat sebagai intelektual publik dengan aktif menanggapi isu-isu dalam masyarakat dengan tulisan-tulisannya. Ia menaruh perhatian pada sejarah kuliner, sejarah perempuan, sejarah sastra, sejarah tokoh, pergerakan kebangasaan dan sejarah kontemporer Indonesia sampai sejarah lokal Betawi-Jakarta. JJ Rizal lulusan Jurusan Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia mendirikan Komunitas Bambu (Kobam), penerbitan yang mengkhususkan diri pada penerbitan buku-buku sejarah. Selain editor, ia juga membuat tulisan sejarah untuk berbagai media massa terkemuka. Beberapa karyanya pernah dibukukan dan mendapatkan berbagai penghargaan untuk tulisan-tulisannya. (Komunitasbambu.com)
  •  Artikel ini diterbitkan untuk membahas mengenai kebijakan Jokowi yang “memperpustakaankan” salah seorang bawahannya yang dilihat sebagai suatu hal yang menurunkan status dari perpustakaan. Perpustakaan dianggap sebagai tempat buangan. Hal ini dianggap bertentangan dengan kebijakan Jokowi sendiri mengenai revolusi mental.
  • Artikel ini akan diterbitkan di Majalah Gatra edisi 19-25 Juni, tetapi karena saya tidak menemukan majalahnya, saya menggambil dari web Komunitas Bambu, (komunitasbambu.com).
2. Luaran Teks
  •  Layot dalam majalah (dalam foto) mengambil dua halaman majalah. Pada halaman kiri terdapat tulisan “Kolom” di kiri atas dan pada halaman kanan terdapat foto dari penulisnya di bagian kanan atas. Pada tiap halamannya terdapat gambar buku.
  • Judul: Jokowi dan Perpustakaan
  • Artikel ini terdiri dari tigabelas paragraf yang awali dengan penjelasan JJ Rizal mengenai bagaimana mengukur sebuah kota itu beradab atau tidak. Ia melanjutkan dengan menjelaskan mengenai peran buku, perpustakaan dan modernisasi kota dengan perkembangan sosial sebuah kota. Selain itu ia juga menjelaskan akan peran literasi dengan perkembangan mental dan budaya. Pada paragraf empat sampai paragraf tujuh JJ Rizal menyoroti kebijakan Jokowi dan Ahok berkenaan dengan mutasi yang mereka lakukan pada walikota Jakarta Selatan, Anas Efendi. Mutasi yang memunculkan istilah “diperpustakaankan”, yang memunculkan anggapan bahwa perpustakaan sebagai tempat buangan. Pada paragraf delapan sampai sebelas, dijelaskan mengenai sejarah perpustakaan di Indonesia, khususnya perpustakaan Nasional di Jakarta, dan perhatian dari tokoh-tokoh negara dan pemerintahan di masa lalu akan keberadaan perpustakaan. Dua paragraf terakhir menjelaskan akan tindakan Jokowi yang dianggap tidak sejalan dengan visi Jokowi sebagai presiden yaitu Revolusi Mental.
  • Topik utama dalam artikel ini berkenaan dengan peran pengetahuan, litelatur dan perpustakaan berkenaan dengan perkembangan mental dan kebudayaan suatu bangsa, yang dikaitkan dengan revolusi mental Indonesia.
3. Sarana Retorika
  • Artikel ini membangun argumentasi bahwa untuk sebuah revolusi mental dibutuhkan suatu pengembangan dalam budaya pemikiran, dan hal itu seharusnya diawali dengan menghargai ilmu pengetahuan, buku, dan perpustakaan.
  • Kebijakan yang diambil pemerintah seharusnya sejalan dengan visinya untuk melakukan revolusi mental.
  • JJ Rizal dalam artikel ini menunjukkan ketidaktahuan akan sejarah dan pengembangan budaya pengetahuan dan ketidakkonsistenan Jokowi dalam mengambil kebijakan.
  • Simbolisme yang dipakai dalam artikel ini adalah gambaran setumpuk buku. Dalam buku itu tergambarkan sisi gelap dan sisi terang dari buku tersebut. Hal ini menggambarkan ada dua sisi mata uang dalam ilmu pengetahuan. Di satu sisi JJ Rizal ingin agar pengetahuan dan literasi bisa diakses dan dinikmati oleh semua masyarakat. Di sisi lain pendidikan dan ilmu pengetahuan yang ada saat ini masih menjadi suatu barang mewah yang tidak bisa diakses oleh masyarakat kelas bawah.
  • Dalam artikel ini JJ Rizal mengangkat kata ‘diperpustakaankan’ dan ‘dimuseumkan’. Kedua kata ini digunakan sebagai kata dengan makna negatif yaitu untuk membuang barang, atau dalam kasus ini adalah manusia, yang sudah tidak berguna atau tidak dipakai lagi. Istilah lain yang terasa tajam dipakai adalah “mengkerdilkan” yang memberikan stigma perpustakaan yang semakin negatif dan terpinggirkan.
  • Penggunaan istilah “model ideal pemimpin Indonesia” membuat perilaku Jokowi yang tidak sadar literasi itu tampak sebagai suatu cacat yang besar dibandingkan dengan keidealnya sebagai sosok pemimpin.
  • JJ Rizal dalam artikel ini banyak menggunakan data sejarah dan mengutip tokoh-tokoh seperti sejarawan dan sosiolog. Hal ini digunakan untuk menguatkan argumentasinya dalam artikel ini. Selain itu bisa ditangkap bahwa JJ Rizal menempatkan Jokowi dalam oposisi biner dengan para pendahulunya yang digambarkan lebih peduli dan menghargai literasi. Bahkan dengan lebih kontras lagi JJ Rizal menyebutkan, Soeharto, sebagai seorang yang tidak dekat dengan dunia intelektual saja tetap peduli pada pada perpustakaan bahkan memberinya gedung tersendiri.
  • Kemunculan istilah “revolusi mental” (3x) dan “revolusi budaya” (1x) yang digunakan dalam artikel ini menandai bahwa sebenarnya JJ Rizal juga setuju dengan Jokowi untuk mengadakan revolusi mental terhadap masyarakat Indonesia. Revolusi yang diawali dengan pengembangan pikiran dan keberaksaraan.
  • Aktor yang disebutkan di dalam artikel:
          Kartini: contoh seorang yang mencintai buku dan ilmu pengetahuan.
         Ali Sadikin: Gubernur Jakarta pada tahun 1970-an yang berusaha menghilangkan kesan sesat akan museum dan memompa minat baca anak
         Gubernur Jenderal Reinier de Klerk dan menantunya J. C. M. Radermacher: orang Belanda yang hendak mendirikan perpustakaan dan museum di Batavia dan diawali dengan menyumbangkan buku dan benda kuno, suatu cikal bakal dari Museum Nasional.
         Soekarno dan Hatta: pemimpin negara yang peduli pada ilmu pengetahuan dengan rajin menghibahkan buku dan mendorong didirikannya berbagai perpustakaan di seluruh Indonesia.
         Soeharto: Memberikan gedung tersendiri bagi Perpustakaan Nasional.
         Jokowi dan Ahok: elit yang membuat perpustakaan menjadi tempat buangan
         Anas Effendi: walikota yang tertidur saat Jokowi berpidato.
  • Seturut dengan spesifikasi JJ Rizal sebagai seorang sejarawan, ia banyak mengacu pada peristiwa-peristiwa sejarah untuk menguatkan argumentasi-argumentasinya. Sebagai contoh ia mengawali argumennya dengan mengutip sejarawan Lucian Febre dan Henry Jean Martin, yang menyatakan bahwa perpustakaan sebagai penanda terpenting dari gerak maju peradaban Barat pada era pencerahan. Ia juga mengacu pada banyak peristiwa sejarah mengenai asal mula perpustakaan nasional dan perkembangannya. Ia mutup tulisan ini juga dengan mengacu sosiolog Frank Furedi untuk menyatakan bahwa Jokowi dianggapnya hanyut dalam ‘the cult of philistinism’, suatu pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap daya tarik material dan praktis.
4. Isi dan Pernyataan-Pernyataan Ideologis
  • Konsep manusia yang ingin diungkapkan di sini adalah manusia yang menghargai ilmu pengetahuan dan pengembangan perpustakaan, bahkan sedapat mungkin mengembangkan habitus literasinya sendiri.
  •  Masyarakat di sini adalah sebagai sasaran dari revolusi mental yang ingin dicapai dari pemerintahan Jokowi.
  • Teknologi yang banyak diangkat di sini adalah mengenai buku sebagai sumber ilmu pengetahuan yang menjadi dasar dari perubahan mental dan budaya dari suatu bangsa.
  • Masa depan yang ingin dicapai dalam artikel ini adalah elite pemerintah yang lebih peduli pada ilmu pengetahuan dan perpustakaan.
5. Kekhasan-Kekhasan Lain dari Artikel Itu
Artikel ini mengangkat dan mengkritisi kebijakan Jokowi yang bertentangan dengan visi revolusi mentalnya. Hal ini menjadi berlawanan dengan banyaknya pernyataan yang memuji-muji Jokowi dalam rangka pemilihan presiden. Tetapi hal ini juga bukanlah suatu kampanye hitam yang berniatan menjatuhkan Jokowi.
6. Posisi Wacana dan Pesan Utama dalam Artikel
Secara kasat mata dapat kita lihat bahwa artikel ini berpesan bahwa jika Jokowi ingin melakukan revolusi mental maka ia harus mulai memperhatikan kebijakan-kebijakan yang dia lakukan dan mulai memperhatikan permasalahan mengenai perkembangan literasi dan pengetahuan di kalangan masyarakat. Namun dalam logika yang yang lain kita bisa melihat bahwa Jokowi “memperpustakaankan” Anas Effendi itu dengan tujuan memberikan pendidikan kepadanya sehingga Anas berubah menjadi lebih baik dan diangkat kembali menjadi walikota, bahwa dengan “belajar” di perpustakaan, Anas Effendi bisa menjadi manusia dengan “ritme baru dan totalitas baru”

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith