TK Kyai Mojo

Pendidikan di Indonesia ini memang memiliki beragam rupa. Saya secara kebetulan bergaul dan kecempung dalam lingkungan yang nggak jauh-jauh dari masalah pendidikan dan perkembangan anak-anak ini. Terutama anak-anak di taman kanak-kanak dan pendidikan dasar. Dari pergaulan saya ini saya jadi akrab dan cukup tau dengan beberapa macam pendidikan yang berkembang atau tidak berkembang saat ini. 
Beberapa sekolah menjual kurikulum impor, inklusi, bilingual atau trilingual, dan memiliki berbagai fasilitas yang kelas satu. Beberapa sekolah lain masih berjibaku dengan jumlah murid yang semakin menipis, dan kondisi keuangan yang juga tipis. Kali ini saya berdiri di sisi TK Kyai Mojo, sekolah dengan murid dan keadaan yang begitulah...
Apa yang saya ceritakan ini adalah kumpulan dari pengamatan dan hasil ngobrol-ngobrol dengan para ibu guru di TK Kyai Mojo. 
TK ini sendiri didirikan oleh Ibu Supeni pada tahun 2000. Ibu Peni ini adalah pensiunan guru yang pada masa mudanya pernah mengajar di Papua. Sekarang usia beliau sekitar 72 tahun. Di TK ini Bu Peni bekerja sebagai kepala sekolah. Menurut cerita, banyak hal yang ia adakan di sekolah ini harus diadakannya dengan swadaya. Beberapa informasi menyatakan bahwa sekolah ini juga beberapa kali berhutang alat tulis di warung sebelah. 
TK ini sendiri berada di gedung serba guna balai desa. Ruangan yang tidak begitu luas itu disekat untuk digunakan menjadi dua ruang kelas, Tk a dan b, ruang kepala sekolah, tempat tidur-yang mungkin maksudnya UKS, dan sedikit perpustakaan. 
Di depan ruang-ruang kelas ada area yang cukup luas yang digunakan untuk area bermain anak-anak. Ada beberapa permainan yang bisa mereka gunakan seperti seluncuran dan panjat-panjatan. Sayangnya kalau hujan area ini akan kemasukan air dan banjir. Pernah suatu kali saya di situ saat hujan deras dan area ini terendam semata kaki. Keuntungannya adalah anak-anak jadi senang main air di situ.

Suasana Sekolahan
Saya tahu sekolah ini sebenarnya karena kebetulan. Pada awalnya karena saya mencarikan sekolah untuk anak dampingan saya di Pingit, dan ini juga merupakan salah satu TK yang cukup laris untuk warga di daerah Badran dan sekitarnya. Saya dan beberapa teman kemudian mendaftarkan dan menyekolahkan seorang anak di sana, Sita. Itu tiga atau empat tahun yang lalu. 
Seiring berjalannya waktu, saya semakin mengenal dan semakin akrab dengan para ibu guru itu. Saya jadi tahu bahwa salah seorang di antara mereka statusnya seperti pegawai magang dengan gaji seratus lima puluh ribu sebulan. Saya jadi melihat bahwa di tengah segala keterbatasan mereka, para guru ini juga mempunyai visi dan idealisme bagi anak-anak didiknya. Mereka berusaha agar anak-anak ini pinter dan terus sekolah, walaupun pada akhirnya Bu Peni yang nombokin biaya seragam dan kegiatan. Operasional sekolah ini sebagian besar menggunakan biaya dari orangtua murid, semakin sedikit muridnya, semakin sedikit pula uang yang bisa digunakan. Saat ini ada 30 anak yang bersekolah di sini dengan uang sekolah lima puluh ribu sebulan. Mahal atau murah, saya kembalikan ke persepsi Anda masing-masing.
Salah satu yang saya suka dari sekolah ini adalah TK Kyai Mojo ini begitu inklusi. Jangan bayangkan seperti di SD terkenal itu ya. Inklusi karena sekolah ini menerima siapa saja tanpa syarat. Sebagai seorang yang sering bertemu dengan anak-anak tanpa akte, sekolah ini sangat memudahkan karena mereka mau menerima anak-anak ini. Bu Peni juga menerima anak dengan berbagai latar belakang. Baik dari anak dengan latar belakang pemulung, tukang becak, tukang sol sepatu di pasar, penjual donat, dan lain sebagainya. 
Area bermain anak

Melihat kegiatan belajar mengajar di TK ini rasanya kembali ke zaman saya TK dulu. Begitu biasa saja dan tradisional. Diajar oleh ibu-ibu guru yang berusia setengah baya, dengan kegiatan seperti mencocok gambar dan melipat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia campur Jawa, jangan berharap ada bahasa Inggris apalagi Mandarin. Anak-anak juga masih bermain menggunakan malam (plastisin) yang kotak-kotak itu, bukan play dough dalam kemasan kaleng. Mereka juga masih menggunakan absensi membalik gambar di dinding, dengan alat-alat permainan yang tampaknya sudah setua usia sekolah ini berdiri. Anak-anak juga belajar dengan kursi dan meja kayu yang agak rompal dan berparut di sana-sini. Rasanya begitu klasik kan...
Temboknya
Walau minimalis, sekolah ini banyak kegiatan ekstrakulikulernya. Ada drumband, berenang, bahasa inggris, dan menari. Kalau tidak salah juga akan diadakan ekstra mengaji. 
Saya berharap sekolah ini bisa bertahan sedikit lebih lama lagi. Bertarung dengan semakin sedikitnya murid yang mendaftar karena ada sekolah tetangga yang lebih hijau rumputnya. Bertarung dengan penyakit yang menyerang dan bertambahnya usia yang tidak bisa dihindari. Beradaptasi dengan bagunan yang tidak layak dan seadanya. Semoga sekolah ini bisa bertahan dalam keterbatasannya, menampung anak-anak yang semakin kehilangan tempat di mana pendidikan semakin mahal dan tidak bisa dijangkau dari hasil menjual kardus dan botol plastik.
Anak-anak unyu





Komentar

  1. Idealisme yang baik harus terus ada dan berjalan di Tengah berbagai tantangan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith