Emang Kami Misa?

Beberapa hari ini saya mengikuti persiapan seorang teman dalam mempersiapkan Ekaristi Kaum Muda atau EKM di desanya. Persiapan dan segala hal tentang EKM ini membawa ingatan saya pada sebuah EKM yang saya ikuti beberapa bulan yang lalu yang menimbulkan perdebatan dan meriah dengan berbagai artikel pro-kontra yang mengikutinya. Saya sendiri nggak dong dengan masalah Liturgi yang diperdebatkan.
Saya dan OMK saya di Temanggung bertaun-tahun yang lalu juga pernah membuat EKM kami sendiri. Dua yang saya ingat betul. Satu untuk tahun baru 2006, satu lagi untuk hari Valentine 2006.
EKM pada waktu itu saya dan teman-teman awali dengan mengumpulkan tim dan bantuan agar Misa bisa terlakasana. Maklumlah, penyakit OMK kota kecil, anggotanya selalu sedikit karena sebagian besar melanjutkan sekolah ke luar kota. Sebagian ketika kuliah, karena di Temanggung tidak ada universitas, dan saya sendiri sudah pergi dari rumah saat SMA.
Kami harus mengais-ngais bantuan dan tim dari banyak tempat. Kami menghubungi anggota OMK generasi senior, teman-teman dari misdinar sampai OMK di stasi-stasi. Hingga akhirnya teman-teman terkumpul dan diskusi pelaksanaan pun dimulai. Mulai dari tema, terus susunan acara di dalam Misa, memilih lagi, memilih bacaan, latihan Kor, latihan koreografi, dan rapat dengan Romonya. Rapat dengan Romo ini penting dan lumayan ribet, karena ini jadi menentukan apa yang bisa diganti atau tidak, bacaan apa yang akan dibacakan, apakah akan sesuai dengan kalender Liturgi atau bacaan sendiri. Lagu bagian mana saja yang boleh diganti dengan lagu yang profan.
Hingga akhirnya disepakati dan terlaksanalah EKM tersebut. Di EKM tahun baru yang menjadi keistimewaan dan saya ingat betul adalah petugas persembahannya menggunakan tarian Kobro Siswo (saya ngakak setelah baca soal Kobro Siswo di http://bembiqu.blogspot.com/, di blog ini dijelaskan kalau kobro siswo adalah tarian Islami dan buat perarakan persembahan). Tarian tradisional yang dibawakan oleh OMK dari stasi Ngesrep ini dan diiringi dengan musik yang tek dung tek dung. Kata-katanya saja yang kami ganti biar terdengar lebih suci dengan menggunakan kata-kata dari lagu Happy Ya ya ya dan Kasihnya Seperti Sungai. Tapi yo tetep aja tek dung tek dung, kaya Jathilan.
Cuma ngopy dari http://bembiqu.blogspot.com/2011/10/kesenian-islami-kubro-siswo-putro-siswo.html
Saya udah mencoba melacak foto pas EKM dulu tapi ga tau di mana, kayanya masi pake film deh tuh fotonya saking jadul. Panjang yo captionnya....

Yang EKM valentine istimewanya adalah dekorasinya. Misanya ada tariannya, lagu-lagunya diiringi biola dengan meminta bantuan Pak Guru Musik di SD, biasa, tapi dekorasinya hokya banget. Wonderful!
Bagian belakang altar kami tutup dengan kain panjang warna pink dan biru muda. Altar kami ganti taplaknya dengan kain pink juga dan di bawahnya kami taruh lampu disko yang kelip-kelip itu. Jadi umat melihat kalau altarnya ajeb-ajeb.
Kami pasang beginian di bawah altar

Saya nggak tahu apakah misa kami ini sah dan valid atau nggak secara liturgi, tapi bagi kami itu proses yang sangat menyenangkan dan mengasyikkan. Seturut kata seorang formator di sebuah SMA beberapa waktu yang lalu, “formasi itu terletak pada bagaimana seseorang bertanggung jawab pada tugas yang diberikan kepadanya dan melakukan yang terbaik dalam melaksanakan tugas tersebut.”
Jika saya berpijak pada pernyataan tersebut, saya berpendapat bahwa kami berhasil memformasi diri kami sendiri. Kami semua dengan penuh semangat dan tanggung jawab melaksanakan tugas yang kami bebankan pada diri kami sendiri dengan baik. Penanggung jawab kor, misalnya, ia mencari peserta, mempersiapkan teks lagu, dan mengadakan latihan dengan baik. Beberapa yang lain mempersiapkan souvenir untuk dibagikan, yang lain lagi berlatih menari. Yang lain lagi mencetak publikasi sampai ke Jogja.
Saya merasakan semua penuh semangat dan dedikasi dengan apa yang akan kami laksanakan. Saya dan beberapa teman yang tinggal di luar kota dengan senang hati akan pulang setiap akhir minggu. Setiap pulang kami bisa langsung ke gereja dan pasti ada orang yang ada di gereja. Entah untuk mempersiapkan misa atau hanya untuk main dan duduk-duduk. Waktu kami di rumah jadi sangat sebentar. Datang dari Jogja, saya langsung ke gereja, baru pulang. Mandi ke gereja lagi sampai malam. Minggu pagi ke gereja lagi sampai siang dan kembali lagi ke Jogja untuk kuliah. Ke gereja lo ya… bukan misa.
Keadaan yang sama juga saya lihat dengan teman saya di desa Baturetno beberapa bulan ini. Sebagai ketua OMK dia bertanggung jawab mengurus banyak hal. Bisa dia langsung pulang hanya untuk tanda tangan proposal. Pulang di malam hari, lewat Wonosari yang nanjak dan berkelok-kelok. Liwat hutan. Masuk ke kotanya sendiri juga bukan jalur yang ramah. Sepi, gelap, kroncal-kroncal. Galau banget lah desa yang disebutnya dengan Las Vegas ini.
Pada akhirnya sebenarnya saya cuma mau bilang, saya tidak tahu apakah misa yang kami lakukan itu sah dan valid atau tidak, dihitung atau tidak sama Tuhan. Yang saya tahu, berkat mengadakan misa itu saya jadi punya teman-teman yang baik yang masih berteman dengan saya sekarang. Delapan tahun setelah misa itu dilaksanakan. Perjumpaan dengan Tuhan melalui teman-teman saya ini masih saya rasakan jauh setelah Misanya berakhir. Lalu kalau mau dilihat dari masalah formasi, habituasi, kurang bertanggung jawab apa coba orang-orang seperti teman saya itu. Kuliah di hari kerja, menempuh 2-3 jam perjalanan untuk pulang, itu pun tidak pulang ke rumah tetapi di gereja. Di kota pun dia masih melakukan banyak hal. Cetak poster, cari teks lagu, membuat teks misa. Coba saja kita ikuti gaya hidupnya, saya jamin akan tiba waktunya kita masuk angin juga, kaya dia.

Jadi apapun perdebatannya, apapun bentuk misanya. EKM itu membuat kaum muda menjadi solid, EKM itu mengajar orang muda untuk bertanggung jawab dengan tugas-tugas mereka, EKM itu membuat orang muda belajar berorganisasi dan bekerja dalam tim. EKM itu membuat kaum muda belajar tentang liturgi. Emang kami misa nggak ya? Tepat atau tidak? Sah dan valid atau tidak, saya tidak tahu. Saya sudah membaca, dan buat saya masih sulit untuk memahami. Tapi menurut saya Yesus juga tidak tahu Liturgi kok, kan pas zamannya Dia, Liturgi belum lahir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith