Menerima itu Memberi

Salah satu buku yang saya suka baca dan saya baca berulang-ulang adalah buku dengan judul 29 pemberian. Buku berwarna ungu yang pertama kali saya tau dari teman kos. Buku ini menceritakan tentang pengalaman penulisnya, Cami Walker yang menderita multiple skleriosis dan kecanduan obat-obatan penghilang sakit. Suatu hari dia bertemu dengan sorang teman yang juga merupakan penasihat spiritualnya bernama Mbali. Mbali kemudian menyarankan Cami untuk melakukan suatu ritual buang sial dan mulai melakukan pemberian selama 29 hari berturut-turut. Dalam penjelasannya, kalau tidak salah ingat, karena cuma pakai ingatan dan ngga ngadep buku, pemberian yang dilakukan ini tidak mementingkan apa yang diberikan dan sejumlah apa. Yang penting dari perilaku memberi yang dilakukan ini adalah kesadaran dalam memberi dan bagaimana energi yang terkumpul dari memberi itu dan bagaimana kita terhubung dengan orang lain dalam proses memberi tersebut.
Membaca buku itu buat saya selalu bikin semangat karena aura ceritanya yang positif dan mengingatkan untuk bersyukur. Dari buku itu saya juga belajar bahwa tidak hanya memberi yang penting, tetapi proses menerima juga sama pentingnya dalam relasi dengan orang lain. Cami dalam buku bercerita bahwa dalam sakitnya dia harus mulai belajar untuk menerima bantuan dan bergantung dengan orang lain. Bagaimana pun hal itu memberinya perasaan tidak nyaman karena sudah merepotkan atau menyusahkan orang lain. Tetapi dalam proses 29 hari ini dia juga belajar untuk menerima, berterima kasih, dan menghargai pemberian. Perlu diingat, Cami di sini adalah wanita Amerika yang berasal dari kelas menengah dengan berbagai budaya dan latar belakang di baliknya.
Bagi saya sendiri, saya juga sesekali mencoba untuk melakukan pemberian seperti yang Cami lakukan. Kadang pemberian itu hanya berupa sedikit waktu untuk mendengarkan, waktu untuk menemani, atau hanya sebatang sabun atau sekeping uang logam. Tapi sejauh ini sih belum berhasil lolos sampai 29 hari tanpa lupa. Pasti lupa setelah dua atau tiga hari.
Hal lain yang saya pelajari adalah seni menerima. Saya ini merasa saya tidak layak untuk menerima. Rasanya tidak usah tambah merepotkan orang lain saja, saya itu termasuk kategori orang yang susah diterima. Yah mungkin terkait dengan pengalaman sebagai Cina, atau terkait dengan pengalaman saya itu orang yang sering keras kepala dan kalau punya karep kudu dikejar. Atau juga terkait dengan kelelahan ketika bertemu dengan manusia terus menerus. Pada intinya saya merasa saya itu rumit untuk dihadapi, paling mudah menghadapi saya adalah biarkan saja sebenarnya. Nah, tapi pada akhirnya karena satu dan lain hal, saya perlu belajar untuk menerima.
Salah satunya saya belajar dari teman saya, sebut saja Icot, bukan nama sebenarnya. Icot ini adalah orang yang ekstra woles. Saat-saat masih ngekos zaman kuliah dulu, ada masa-masa di mana dia hanya punya dua ribu di saku dan kiriman masih entah kapan datang. Tetapi dia tetep saja woles dan tidak pernah khawatir dengan apa yang akan dia makan. Seperti kehidupan yang dia jalani dengan penuh keyakinan itu, selalu saja ada cara di mana dia bisa makan. Dan di situ dibutuhkan seni menerima. Icot bisa dengan penuh kebahagiaan menerima setiap pemberian yang diterimanya. 
Saya sering menemui banyak orang yang bisa memberi dengan begitu murah hati, tetapi begitu sulit untuk menerima. Saya pernah merasakan berada dalam posisi menerima terus menerus tanpa bisa memberi balik, dan itu rasanya sangat tidak menyenangkan. Entah bagaimana mekanismenya, tetapi tampaknya dalam otak saya itu ada suatu timbangan yang meminta adanya cukup keseimbangan dalam proses memberi dan menerima itu. Tetapi untuk bisa memberi, juga diperlukan orang-orang yang dengan ikhlas dan terbuka mau menerima dan menghargai pemberian yang sudah kita berikan.
Jadi terkadang, kepada teman yang pernah menghindari orang tertentu karena ketika bertemu selalu dijajak-jajake saya cuma bilang, bahwa menerima itu adalah pemberian yang diberikannya kepada orang yang njajake itu. Bahwa menerima itu terkadang juga menerima rasa syukur dan ikut berbahagia bersama si pemberi. 
Saya pun masih belajar...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith