Sekolah untuk siapa?

Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang nenek yang bertanya kepada saya apakah saya tahu seseorang atau suatu lembaga yang bisa membantu pembayaran sekolah cucunya yang duduk di bangku SMP. Nenek ini bercerita bahwa mereka membutuhkan bantuan untuk membayar sekolah itu. Beliau sudah mencari benatuan ke suatu lembaga, tetapi disyaratkan surat keterangan tidak mampu yang keluhnya tidak diberikan oleh RT dan RW setempat tempatnya tinggal. Dari sekolah mereka mendapatkan bantuan untuk potongan uang sekolah, tetapi juga tidak banyak dan masih terasa beratnya.
Saya pun menanyakan lebih lanjut tentang sekolah si cucu ini. Ternyata si cucu ini bersekolah di sekolah swasta katolik dengan asrama, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk uang sekolah setiap bulannya adalah sekitar satu juta tujuh ratus ribu rupiah. Saya cukup terkesan dengan angka itu, saya sendiri sekarang bersekolah dengan biaya dua juta satu semester, jadi angka yang disebutkan nenek itu memang mengesankan.
Usulan pertama saya mendengar hal tersebut adalah, pindahkan sekolahnya atau keluarkan dari asrama. Toh mereka juga tinggal di satu kota dan di Jogja ini saya yakin ada lebih banyak sekolah dengan harga yang lebih murah. Tetapi nenek tersebut menolak usulan tersebut karena dia merasa sangat disayangkan jika cucunya harus dikeluarkan dari sekolah itu, dan tinggal di asrama membuat cucunya itu belajar dengan lebih baik. 
Saya kemudian menyatakan demikian ke si Nenek: 
"Akan sangat sulit mendapatkan bantuan jika cucu si nenek tetap bersekolah di tempat itu dan tinggal di asrama. Terutama jika beasiswanya untuk anak yang tidak mampu."
Selain itu ternyata si cucu ini juga sudah mendapatkab beasiswa tetapi turunnya empat bulan sekali dan hal itu dirasa tidak mencukupi juga. Kata Simbok saya ketika saya bercarita mengenai hal ini, ini hanya mengenai masalah gengsi dan bukan masalah pendidikan si anak. Sedikit banyak saya menyetujui hal ini juga, apalagi jika saya pikirkan lebih lanjut, memang lebih banyak sekolah dengan prestasi yang lebih baik dari sekolah si cucu di Jogja ini.
Pemikiran saya ini kemudian mengejutkan diri saya sendiri. Saya ini termasuk orang yang 'merasa' berpihak pada kesetaraan pendidikan bagi semua orang. Saya ini merasa saya 'memperjuangkan' pendidikan bagi semua orang termasuk orang yang tidak bisa memperolehnya, ternyata saya tidak demikian.
Dari apa yang saya bicarakan dan saya pikirkan dengan si nenek ini, ternyata ada pemikiran bahwa pendidikan yang baik itu adalah pendidikan yang bisa dijangkau dengan membayar sesuai yang disyaratkan sekolah, dan jika tidak mampu ya tidak usah bersekolah di tempat itu. Bersekolahlah di tempat yang lebih murah, dan itu bagi saya saat itu langsung terpikir bahwa sekolah itu pasti sekolah yang lebih buruk dari sekolah si cucu sekarang, walaupun ternyata belum tentu demikian. Saya sendiri ternyata masih belum memercayai akan kesetaraan dalam pendidikan bagi semua orang.
Jadi saya cuma mau bilang, saya masih perlu belajar untuk menjadi adil sejak dalam pikiran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith