Curhat Editor

Sudah setahun lebih sebentar saya menjalani perjalanan sebagai editor di sebuah penerbit indie di Yogyakarta. Sudah cukup banyak naskah yang saya edit dan saya ikuti perjalanannya sampai menjadi sebuah buku yang siap baca. Saya juga sudah mengedit berbagai macam jenis buku, mulai dari buku motivasi, puisi, kumpulan cerpen, novel, sampai buku matematika. Dan dari semua buku-buku tersebut yang paling juicy dan menantang bagi saya adalah mengedit novel.
Novel sebagai sebuah karya fiksi memberikan banyak keleluasaan bagi penulisnya untuk mengeksplorasi banyak hal. Sekilas pandang, novel juga tidaklah sulit dibuat. Apa sih susahnya bercerita? Kita juga bercerita setiap hari. Begitulah awalnya saya pikir ketika membaca buku-buku 'sudah matang' yang saya beli dari toko buku. Ternyata kenyataan tidak semanis itu, naskah mentah dari penulis dan sudut pandang saya sebagai  editor, menjadikan pembuatan sebuah novel yang bagus adalah proses yang panjang dan menantang.

Tanda Baca dan Ejaan yang Disempurnakan
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah masalah tanda baca dan ejaan yang disempurnakan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal-hal kecil yang tampaknya remeh temeh, seringnya tidak kita perhatikan di pelajaran bahasa Indonesia waktu kita SD, ternyata menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam penulisan sebuah buku yang bermutu. 
Penempatan tanda baca seperti titik, koma, dan tanda kutip ini menentukan arti sebuah kalimat. Salah menempatkan koma, maka kalimat tersebut busa memiliki arti yang berbeda. Tanpa tanda kutip, pembaca akan kebingungan manakah yang merupakan narasi penulis dan manakah yang merupakan kalimat dari tokoh dalam cerita.
Pemberian huruf besar juga masih sering dilupakan oleh penulis. Seperti pada nama orang, awal kalimat, nama tempat, dan lain-lain. Secara logika, seorang yang sudah menempuh pendidikan SD pastinya sudah mendapat pelajaran bahasa Indonesia. Jika satu atau dua, maka bisa dimaklumi, tapi jika semua nama orang tidak menggunakan huruf besar, maka itu sangat merepotkan editor.
Zaman sekarang dengan berbagai sarana komunikasi digital, membuat orang jadi banyak berkomunikasi dengan kalimat dan kata-kata yang disingkat-singkat. Dan menjadi n, Thank you menjadi thx, yang menjadi yg. Tidak masalah jika itu dalam sms yang terbatas halamannya, tapi untuk novel, semua orang boleh menulis sepanjang apapun, bahkan boleh sampai bikin trilogi, tetralogi, sepuluhlogi juga boleh. Jadi kenapa harus disingkat-singkat?

Alur
Novel pada umumnya berkisah tentang perjalanan hidup seseorang. Beberapa kali saya temukan adalah adanya ketidakkonsistenan dalam kisah tersebut. Misalnya, ada seorang yang sedang berbelanja tempe dan bayam di pasar, dan ketika makan siang yang tersaji adalah ayam goreng hasil belanjaan di pasar. Penulis mungkin menuliskan adegan ke pasar dan adegan makan siang di waktu yang berbeda, dan melupakan tokohnya sudah belanja apa, tapi pembaca yang biasanya membaca dalam satu kesempatan akan mudah menemukan hal tersebut.
Adanya alur yang tidak masuk akal juga sering ditemukan, misalnya untuk cerita fantasi sekalipun biasanya tetap ada penjelasan yang masuk akal bagi pembaca. Sebagai contoh Harry Potter, ini cerita fantasi banget, tapi J.K Rowling berhasil membuatnya masuk akal. Apalagi untuk sebuah cerita yang bukan fiksi. Sebagai contoh, adalah tidak mungkin orang hamil dan melahirkan hanya dalam waktu dua minggu tanpa ada penjelasan. Hal itu bisa dijelaskan dengan wanita tersebut meminum obat mempercepat pertumbuhan janin yang diproduksi oleh suatu ilmuwan gila, obat bernama JNpX 557892.

Tokoh
Tidak ada orang yang lahir tanpa latar belakang yang mengikutinya. Setiap orang pasti punya keluarga tempat dia tumbuh, lingkungan dan budaya yang akan memengaruhi cara tokoh tersebut berbicara, bertindak, dan berinteraksi dengan orang lain. Begitu pula tokoh dalam sebuah novel, perilaku yang dimunculkannya haruslah sesuai dengan latar belakang yang dimilikinya. Kita tidak dapat membuat seorang wanita yang lembut dan solehah mengucapkan kata umpatan seperti bajingan. Itu akan tidak sesuai dengan penggambaran tokohnya. 
Begitu juga dalam berbahasa, akan lebih baik jika seorang yang berasal dari Bali memanggil kakak lelakinya dengan sebutan Beli sedangkan tokoh yang dari Jawa memanggil dengan sebutan Mas. Dialek khas dalam suatu bahasa juga perlu sesekali dimunculkan untuk menguatkan karakter tokoh. Sebagai contoh, tokoh yang seorang Sunda akan sesekali mengucapkan kata 'atuh' dalam kalimat-kalimatnya, walaupun kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia. 

Riset
Dalam menulis sebuah novel, ternyata juga diperlukan sebuah riset yang sungguh-sungguh. Walaupun tokoh dan cerita itu fiksi, tapi data-data yang memang nyata diusahakan juga seakurat mungkin. Salah satu novel yang saya yakin ditulis dengan riset yang mendalam adalah 'Partikel' karangan Dewi Lestari. Ia bisa menceritakan dan menuliskan banyak hal dengan jelas dan detail. Pelajaran biologi dan jamur, fotografi, Tanjung Puting dan kehidupan dalam penangkaran orangutan.
Salah satu tugas editor yang saya juga baru tahu, adalah memeriksa data-data tersebut. Apakah penulis sudah menuliskan istilah yang benar dan sesuai dengan yang dimaksud. Apakah penulis menuliskan nama tempat yang benar, apakah benar Pontianak merupakan ibu kota Kalimantan Barat misalnya. Hal-hal yang mungkin tidak diperhatikan benar oleh pembaca, tapi ternyata juga penting untuk menjadikan tulisan sebagai suatu karya yang berkualitas.


Ya, segini dulu curhat saya sebagai editor, sambung lain waktu. Mari sama-sama belajar membaca dan menulis dengan baik dan benar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith