Obsesi Menjadi Berguna


Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti workshop meditasi di Kanisius. Meditasi yang dipimpin oleh Romo Sudrijanta ini membicarakan tentang bukunya yaitu Meditasi Titik Hening, Meditasi tanpa Objek. Dalam workshop ini dijelaskan mengenai metode meditasi ini dan sedikit latihan meditasi dan dilanjutkan dengan diskusi dan evaluasi.
Dalam meditasi ini, sepenangkepan saya, kita diminta untuk mengamati proses batin, tanpa daya upaya, maka batin kita akan mencapai keheningan total. Seperti apakah itu? Saya sendiri juga belum pernah mengalami.
Buat saya, konsep yang dijelaskan oleh Romo Sudri ini bukanlah suatu hal yang asing. Saya menangkap, bahwa ini adalah suatu bentuk aplikasi dari kesadaran. Kesadaran atau awareness yang saya kenal dari Bapak Anthony de Mello dan dibahas lagi sama Romo Andreas Setyawan, yang ganteng, dalam bukunya Saat Tuhan Tiada.
Dalam proses latihan meditasi waktu workshop itu, pada awalnya kita diminta untuk rileks dan mulai melihat semua proses batin yang terjadi dalam kepala kita dan sensasi-sensasi yang terjadi pada tubuh. Dan hasil yang saya dapatkan adalah, saya terlena dan hampir tertidur.
Saya sendiri saat ini masih belum punya gambaran seperti apakah batin yang hening itu. Sepanjang hari, pada umumnya otak saya sangat berisik. Gambaran kasarnya, ada sekitas tiga suara yang berdengung terus menerus sepanjang hari.
Suara pertama adalah suara ‘saya’ sendiri, mungkin ini ‘ego’ dalam versi Freud. Si Ego ini biasanya berpikir hal-hal yang nyata-nyata. Mau ngapain, mau makan apa, pekerjaan, rencana-rencana, dan khayalan. Bicara soal khayal-mengkhayal, saya punya otak yang sangat aktif untuk menyusun cerita, saya bisa mengkhayalkan suatu tema −tentang cowok ganteng misalnya−sampai saya kecanduan sendiri sama cerita khayalan saya.
Suara kedua adalah suara ‘super ego’. Suara ini biasanya menrasionalisaikan pikiran atau kelakuan-kelakuan saya. Menegur kalau si Ego sedang iri, mikir jahat, atau kalau lagi malas. Dan biasanya Egonya si ngeyel aja gitu.
Suara ketiga adalah si penyanyi. Suara yang saya visualisasikan berada di sebelah kanan kepala saya ini hobinya bernyanyi sepanjang hari. Jadi sangat ramailah kepala saya.
Nah, sejak belajar meditasi kemarin, muncul satu lagi ‘si pengamat’ yang terletak di bagian belakang kepala. Mengamati segala kericuhan di hadapannya. Menurut teori si, tugas pengamat ini hanya mengamati batin yang berseliweran dan simpang siur di kepala saya. Tapi ternyata, pada akhirnya, si pengamat ini juga ikut-ikutan berkomentar. Malah saya curiga kalau si pengamat yang seharusnya netral ini ternyata hanyalah sempalannya si super ego. Jadi ya makin berisik malahan.
Nah, dari proses amat-mengamati ini, akhirnya saya menemukan suatu hal. Begini awalnya.
Kemarin saya ditegur, lebih tepatnya si diaruh-aruhi, sama salah seorang teman saya. Katanya saya kok bingung dan nggak jenak. Tidak jenak itu bisa digambarkan sebagai kondisi tidak tenang dan tidak tahu mau ngapain. Dan pagi harinya saya menemukan bahwa saya memang tidak pernah berada dalam kondisi tidak ngapa-ngapain. Saya selalu mencari kegiatan untuk dilakukan atau dipikirkan.
Sebagai seorang yang tinggal di kos-kosan dan tidak punya teman, saya sering berada di kos sendirian saja. Dan saya selalu menemukan hal-hal untuk dilakukan. Paling simpelnya adalah makan, tidur, menonton tv, main games, membaca, menulis, mencuci dan sedikit bersih-bersih. Hal-hal yang berakibat membuat saya makin menggendut dari hari ke hari. Saya baru saja sadar, bahwa saya pasti melakukan sesuatu atau berpikir sesuatu. Saya belum pernah mengalami, hanya duduk, tidak melakukan apa-apa, dan tidak berpikir apa-apa.
Kali pertama saya duduk dengan niat untuk tidak melakukan apa-apa, saya langsung menduduki tangan saya, seakan mencegahnya buat melakukan sesuatu. Keberadaan handphone membuat kondisi saya semakin parah, sedikit-sedikit saya akan main twiter atau facebook, atau smsan.
Kondisi ini membuat saya berpikir kalau saya terobsesi untuk merasa berguna, merasa bertindak dan merasa melakukan sesuatu. Iya, saya hanya perlu untuk ‘merasa’. Lebih lanjut, apa yang saya lakukan, apa yang saya pikirkan adalah tindakan-tindakan yang dilatarbelakangi oleh kebutuhan saya untuk merasa berguna atau untuk menjelaskan diri saya sendiri. Seperti membuat tulisan ini, contohnya.
Kenapa? Itu yang saya sendiri masih mencari jawabannya. Kenapa harus menjadi berguna setiap saat? Apa salahnya dengan menjadi tidak berguna satu jam saja setiap harinya. Hanya duduk, atau berbaring saja. Apa yang salah dengan hanya berbaring? Tidak melakukan apa-apa, dan tidak berpikir apa-apa, karena berpikir bagi saya adalah kegiatan yang juga membuat saya merasa berguna.
Dari sini saya berpikir, bahwa mengamati batin tanpa daya upaya sama dengan menjadi ‘tidak berguna’. Tanpa kata kerja apapun, hanya duduk sebagai menjelaskan posisi. Dan bukan pula tidur, karena dalam tidur kita akan berada dalam kondisi tidak sadar, dalam artian unconsius.
Jika dengan menjadi ‘tidak berguna’ ini saya bisa menemukan keheningan saya, maka baguslah. Mengutip kata-kata Pak Anthony de Mello, jika bisa sadar maka itu adalah hal yang baik, jika tidak, itu juga hal yang baik pula. Jika terobsesi atau ingin menjadi sadar, maka itu hanya akan membuat kita melekat pada keinginan untuk sadar, hal yang tidak ‘sadar’ sama sekali.
Atau dengan kata lain, lepas bebas, tidak lebih memilih ‘sadar’ daripada ‘pingsan’.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith