Tenggelam dalam Cokelat



Duduk sendirian di sudut café kesayanganku. Secangkir cairan cokelat panas dan sepotong tiramisu sudah menanti untuk kunikmati. Sedangkan aku, aku tidak menanti siapa-siapa, hanya sendiri dan masih berusaha menikmati rasa sepi ini.
Di meja depan itu ada sepasang kekasih yang tampak serius berbicara,
“Mas, sudah dua minggu nih telat,” kata gadis itu sambil menatap kekasihnya yang juga tampak sama kalutnya. Dua anak muda yang tampaknya masih duduk di bangku kuliah, masih merasa bahwa mereka adalah pusat dunia.
“La terus gimana dong?”
“Ya, tanggung jawab lah!”
“Kuliahku? Aku bisa digantung sama bapakku kalau sampai tau aku bikin hamil anak orang.”
Tawa yang meledak dari meja seberang itu langsung membuyarkan khayalanku menggenai percakapan mereka. Tampaknya mereka baik-baik saja, tidak ada yang telat selain telat mengumpulkan papper dari dosen.
Di ujung sebelah kanan sana ada serombongan gadis muda yang berisiknya tidak tanggung-tanggung. Dan ingatanku terbawa pada tahun-tahun yang sudah berlalu. Saat aku yang duduk dan berisik bersama sahabat-sahabatku. Saat tenaga ini masih tersisa banyak, saat begadang sambil minum cokelat dan main kartu hingga jam dua pagi adalah hal yang kami anggap paling masuk akal untuk dilakukan.
“Ayo main truth or dare,” tantang seorang sahabatku kala itu. “Kita putar botolnya, dan yang kena ujungnya yang kena.” Tina mengambil botol soft drink dan menuangkan habis isinya ke dalam gelas. Tatha membersihkan meja dari piring-piring kosong bekas french fries dan pancake blueberry kesenanganku.
Dan berputarlah…
“Jadi, truth or dare?” tanya Rosa kepadaku.
“Mmmmm… Truth?” jawabku mengambang.
Setelah saling lirik sejenak, Wayan angkat suara, “Jadi, apa yang kamu dan Johan lakukan ketika Johan kamu selundupkan di kost malam itu? Yah malam Minggu, dua minggu yang lalu?”
“Oh shit!!” batinku. Wayan pasti sudah bikin rapat besar dengan teman-teman geng horeku ini sejak ia memergoki Johan, pacarku kala itu, jam enam pagi, keluar kamarku, hanya dengan singlet dan celana boksernya yang berwarna kuning dan bergambar spoge bob itu. Terlihat betapa penasarannya mereka menatapku.
“Mmmmmm… menjahit.” Aku mengucapkan satu-satunya kata kerja yang kuingat saat itu.
Dan meledaklah kami dalam tawa keras, terbahak-bahak. Serentak semua pengunjung café menoleh ke arah kami. “Serombongan cewek gila,” pasti itu yang mereka pikirkan.
Sudah tidak peduli apakah yang aku omongkan adalah kebenaran atau tidak, yang pasti kita bersenang-senang. Bersama geng horeku, segelas frozen cokelat, dengan whipe cream yang meluber di pinggiran gelas, dan sebutir cherry di atasnya, maka itulah bahagia.
Aku alihkan pandanganku ke tiramisu di depanku, kuambil sendok dan kupotong ujungnya. Kupejamkan mataku menikmati ledakan rasa kopi dan taburan serbuk cokelat itu dalam mulutku. Hmmm… masih seenak biasanya.
Dan saat kubuka mataku, pandanganku tertumbuk pada dua orang wanita yang sedang duduk di ujung lain café ini. Dua orang itu aku kenal, aku pernah beberapa kali mengobrol dengan mereka. Yang lebih tua dan berambut pendek itu adalah istri pendeta, sedangkan yang seorang lagi adalah seorang jemaat suaminya. Seorang lainnya adalah Rena, wanita muda dengan topi rajutan itu, manis dan pucat.
Ia seorang ibu muda, belum genap 35 tahun, ia rajin berolah raga, tidak merokok dan hidup sehat. Setengah tahun yang lalu Rena didiagnosis terkena kanker. Anak pertamanya masih lima tahun, dan anak keduanya belum genap satu tahun ketika penyakit itu diketahui. Topi itu menyembunyikan hilangnya rambut yang pernah sepanjang bahu.
Kemoterapi, daun sirsak, rebusan mahkota dewa, daun tapak dara putih dan benalu. Semua. Dari yang medis dan masuk akal, sampai yang mistis dan tidak bisa dinalar sudah dicobanya. Tapi kanker itu bercokol di tubuhnya. Bersikeras untuk tetap tumbuh dan menggerogoti inangnya. Tidak peduli anak-anaknya yang masih kecil, tidak peduli suaminya yang berjuang keras demi memperpanjang hidup istrinya sehari demi sehari.
Hingga daya juangnya sudah mulai terkikis, habis. Hingga ketakutannya mulai menggelayut di rumah mungil yang belum selesai masa cicilannya. Bayangkan, apa yang ibunya rasakan, ketika ia masih sehat dan bekerja, tapi anak perempuannya meregang nyawa.
Entah apa yang Rena, ketika memeluk anak-anaknya setiap pagi, sedangkan keadaan berteriak bahwa ia tidak akan berdiri lagi bersama kedua anak itu.
Coba saja jika tiramisu dan segelas susu cokelat yang pekat dan panas ini bisa menyembuhkan sakitnya, akan kuberikan berapa saja yang dia mau. Aku tidak tahan dengan kesedihannya, aku selalu membeku tiap kami berbagi cerita. Aku yang belum tahu mesti berbuat apa. Aku yang jadi ikut merasa tidak berdaya dan tidak berguna.
Ini pertemuan Rena yang kesekian kali dengan ibu pendeta itu di café. Mereka selalu memilih duduk di ujung yang agak tersembunyi itu. Kuharap pertemuan ini sedikit menegakkan hatinya. Kuharap Tuhan bermurah hati memberikan keajaibannya. Entah apa bentuknya, karena seringnya kita terlalu terpaku pada apa yang hilang, bukan pada apa yang didapatkan.
Kualihkan pandanganku ke wajah akrab lain di dekat pintu itu, lelaki yang juga selalu sendiri. Kadang dengan bukunya, kadang dengan laptopnya. Aku sudah beberapa kali bertemu dengannya di café ini. Lebih dari lima kali kuhitung, tapi sejauh ini kami hanya bertukar senyum. Seringnya malah aku diabaikannya.
Entah apa yang membuatku tidak bisa melepaskan pandangan darinya tiap kami kebetulan sedang bersama di tempat ini. Mungkin kesendiriannya yang mengingatkannya pada kesendirianku di sini. Kesendirian yang membuatku penasaran dan menebak-nebak.
Dia lelaki yang, yah, tidak terlalu tampan, tapi pembawaannya percaya diri. Pakaiannya sederhana tapi resik. Kadang terlihat lelah dan sarat pikiran menghadapi laptopnya. Kadang tersenyum-senyum menghadapi buku yang dibacanya. Buku berbahasa Inggris seringnya. Ditilik dari usianya, tampaknya ia sudah bukan lagi mahasiswa. Itu juga salah satu alasan yang membuatnya menonjol di tengah banyaknya rombongan mahasiswa yang jadi pelanggan café ini. Tapi ia juga belum memasuki usia tiga puluhan. Dan yang paling aku suka, ia tampak sangat menikmati waktu luangnya di sini, nyaman dengan dirinya dan pikirannya sendiri. Rasanya iri melihat ketenangannya.
“Maaf Mbak, sudah jam dua belas.” Salah seorang pelayan café menyapaku. Indy, nama yang tertulis pada name tag di seragamnya.
“Oh…” Aku tersentak dikeluarkan dari nikmat lamunanku. “Ya sudah, kasih tahu para pengunjung kalau sudah last order. Dan meja tujuh di ujung itu, atas nama Mbak Rena masukin aja ke rekeningku.”
Aku pun beranjak dan masuk ke kantorku. Café memang menyenangkan, tapi waktu bukanya yang sampai lewat tengah malam ini membuatku mulai kualahan. Ingin mempekerjakan manajer, tapi masih belum mampu. Terpaksalah aku harus menunggui setiap malam.
Pukul satu, lampu-lampu sudah dimatikan. Satu per satu pintu dan jendela di tutup. Kursi-kursi ditata, beberapa dinaikkan ke atas meja, agar mudah untuk Pak Tejo mengepel besok pagi.
Dan seperti kataku tadi, aku tidak menanti siapa-siapa. Lelaki itu sudah menantiku sejak jam dua belas tadi di atas motornya, menikmati secangkir kopi bersama Pak Tejo yang berganti profesi setiap malamnya menjadi tukang parkir dan penjaga malam. Lelaki yang menjemputku setelah menidurkan anak lelaki kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith