Tarot Malam Itu
Rabu malam. Saatnya aku membuka praktek ramalan tarot di Psycolatte. Café yang sudah menjadi
impian kami sejak jaman kuliah dulu. Café impian anak-anak pencinta ilmu
psikologi, maka Psycholatte lah
namanya. Dan membuka konseling tarot ini adalah salah satu acara yang mendukung
tema psikologi itu.
Tidak seperti malam-malam lain, Rabu malam adalah saatnya aku
berdandan dengan lebih ekstrim, biar meyakinkan. Eye shadow berwarna cokelat
yang biasanya kupakai, kuganti dengan warna yang lebih mencolok, ungu. T-shirt
dan celana jeans, kuganti menjadi baju yang lebih berkesan etnik dan mistis.
Celana cokelat, atasan putih tulang longgar lengan panjang berbahan belacu, dan
kalung panjang dari batok kelapa. Yah, branding itu penting, tapi kenyamanan tetap
nomor satu.
Setengah tujuh aku sudah sampai di café. Mejaku sudah disiapkan. Meja
untuk berdua dan sudah di posisikan sedemikian rupa untuk memberi privasi bagi
klien. Pekerjaan yang sulit mengingat luas café ini tidak lebih dari empat
puluh meter persegi.
Wida, yang bertugas malam ini. Teman sekaligus sesama pemilik café
ini.
“Sudah ditunggu pasien tuh,” sambutnya saat aku masuk ke kantor dari
jalan belakang. Aku melihat ke arah yang ditunjuknya melalui jendela dengan
kaca gelap yang memang dipasang untuk mengawasi keadaan di dalam café. Serombongan
mahasiswi sedang mengobrol di pojokan.
“Ah, masalah percintaan dan kuliah pastinya. Sedikit tentang pekerjaan
dan masa depan,” aku berkata dengan penuh keyakinan. Jika kamu sudah membuka
konsultasi seperti ini dua kali seminggu, Rabu dan Sabtu, selama enam bulan.
Maka kamu akan mulai bisa melihat polanya. “Ok.Maju perang! Gimana mukaku,
meyakinkan?”
Wida hanya mengangkat bahu dan tersenyum meremehkan, seperti biasa.
Dan aku menuju ke meja praktekku. Menyapa beberapa pelayan café dan
beberapa pengunjung yang aku kenal. Berhenti sejenak di meja empat, tempat
beberapa sahabatku sedang mengobrol, sayangnya aku tidak bisa bergabung dengan
mereka malam ini.
Di meja praktek sudah siap segelas lemon tea hangat tanpa gula dan
sepiring kentang goreng, dengan garpu. Kartu-kartu ini terlalu berharga untuk
dinodai dengan minyak goreng. “Perlakukan segala sesuatu yang memberimu rejeki
dan penghidupan dengan baik,” pesan dari ibuku yang akan kupegang sampai
kapanpun.
Yak, pasien pertama. “Silakan,” sapaku ramah.
Kuserahkan setumpuk kartu, dan wanita muda bernama Ninna ini mulai
mengacaknya.
Oyaa, ada tarif untuk setiap kartu yang aku buka. Tiga puluh ribu
untuk tiga kartu, empat puluh lima ribu untuk lima kartu, dan lima puluh ribu
saja untuk tujuh kartu. Dan kali ini, Ninna membayar untuk tebaran tujuh,
favoritku.
Ninna, gadis sembilan belas tahun. Kuliah di jurusan sastra Inggris.
Anak perantauan, ia asli dari Sumatra. Kekasihnya masa SMA kuliah di Jakarta,
dan sekarang ia sedang dekat dengan kakak angkatannya. Ahh… tipikal masalah
anak perantauan sekali. Dan pertanyaannya adalah pilih yang mana.
Mungkin aku harus menjawab dengan lagunya Iwan Fals, “Aku lelaki,
bukan untuk dipilih.”
Kartu sudah tertata, dan aku mulai membukanya. Dua kartu untuk setiap
periode waktu.
The Lovers muncul pada
bagian pertama. Adanya suatu masalah komunikasi dengan orang-orang terdekat dan
adanya pilihan yang harus diambil. Mimik muka Ninna langsung berubah, ia
tampaknya mulai mendapatkan secercah harapan dari masalah yang sedang
ditanggungnya.
Strength. Kartu berikutnya
yang kubaca. Kuyakinkan Ninna, bahwa ia mempunyai kekuatan dan keberanian dalam
dirinya untuk membuat suatu keputusan yang bijaksana, apapun keputusan itu.
Kartu berikutnya adalah kartu menara. Kartu ini menandakan adanya
masalah yang sedang dihadapi, tapi ada harapan dan masa depan yang cerah yang
menanti di depan sana.
Dan kartu terakhir adalah
sepuluh piala. Piala yang melambangkan akan adanya suatu hubungan yang baru,
pernikahan, pertunangan, atau kelahiran.
Ninna tampak puas dengan hasil ramalan malam ini. Bisa diharapkan
untuk datang lagi di lain waktu. Dan tampaknya akan ada lelaki yang patah hati
dalam waktu dekat.
Delapan orang yang kulayani malam ini. Pukul sebelas aku tutup dan masuk
ke kantor. Wida yang sudah menungguku dengan secangkir cappucino untuknya dan
cokelat caramel untukku. Aku tidak pernah berhasil mencintai kopi.
“Gimana?” tanyanya sambil menyisihkan laptop dan mengambil sebuah buku
yang sudah lusuh dari dalam laci.
“Lumayan, delapan orang, Tiga orang tebaran tujuh, satu orang tebaran
lima, sisanya tebaran tiga,” aku menjawab sambil mengempaskan diri di kursi
berlengan di seberang meja. “Ngerjain apa si?” tanyaku sambil memutar
laptopnya. Aku mengumpat pelan, “Kirain, belum lolos juga main Diner Dashnya?”
“Susah tauk,” jawabnya cuek dan mulai main lagi.
Aku membaca buku yang tadi dikeluarkan Wida dari dalam laci, buku
keramat.
“Arrrghhh… salah,” keluhku pelan. “Ketuker deh aku interpretasinya.
Harusnya tadi itu interpretasi buat sembilan tongkat bukan sembilan pedang.”
“Terus apa lagi?” Wida bertanya santai.
“Mmmm… tiga pedang salah juga, terus pendeta wanita ini juga salah
dikit, terus, menara juga agak nggak pas deh.”
“Yah, lumayan Cik, sudah nggak separah waktu pertama kali buka praktek
kan? Diapalin lagi lah bukunya!” masih dengan nada santainya yang menyebalkan.
Tujuh puluh delapan kartu, dan aku harus hapal interpretasinya satu per satu,
belum lagi berbagai macam tebaran, belum lagi kalau kartunya muncul terbalik.
Tapi, aku tidak mengeluh. Kusimpan buku interpretasi tarot itu dalam
tasku untuk kuhapalkan lagi. Yah, walau masih salah-salah aku berhasil
mencatatkan tiga ratus lima belas ribu untuk ramalan dan lima meja untuk pasien
dan teman-teman yang mengantarnya. Sejauh ini, setrategi marketing untuk
menjualku sebagai peramal tarot lumayan berhasil. Dan aku pun menyesap cokelat
panasku, sedikit hadiah untuk penampilanku yang meyakinkan malam ini.
Dan sayapun tertampar oleh tulisanmuuuuuuuuuuu! Mak ceprok.. :D
BalasHapus