Jalan-jalan di Sabtu Pagi


Selama kira-kira setahun ini saya punya kebiasaan berjalan-jalan di hari Sabtu pagi bersama berbagai rombongan. Diawali dengan rombongan teman-teman Pingit. Kalau ini pernahnya hanya ke Pasty liat burung atau anjing yang lucu atau ular yang imut.
Berpindah ke rombongan selanjutnya, JSN. Join Society for Nature ini adalah kelompok pecinta alam yang beranggotakan pelajar, mahasiswa dan pekerja muda. JSN mempunyai misi mengajak para anggotanya untuk mulai memerhatikan dan mencintai lingkungan dengan melakukan hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari atau dalam istilahnya think globally, act locally.
Sebenernya ya, sampai sekarang saya tidak merasa sebagai anggota banget gitu deh di JSN. Habisnya kalau jalan-jalan saya ikutan, tapi kalau pertemuan sama rapat-rapat nggak pernah nongol.
Nah, bersama rombongan JSN ini saya menemukan variasi baru dalam jalan-jalan Sabtu pagi saya. Meliar istilahnya. Kami biasanya akan mengunjungi tempat wisata, jalan-jalan sambil mungutin sampah. Pernah ke gunung api purba Langeran, Plawangan atau Gua Jepang di Kaliurang, pernah juga ke pantai-pantai. Tapi kalau pantainya di Wonosari saya nggak ikutan juga. Saya susah belok soalnya kalau naek motor, dan trek Jogja-Wonosari bikin saya ngeper duluan.
Selain mungutin sampah, biasanya kegiatan akan diawali dengan sebuah renungan dari buku Menuju Alam Liar tulisan dari si Biru Kira dan diakhiri dengan merefleksikannya. Tanpa saya sadari kegiatan ini sudah menghabituasi atau memengaruhi saya lebih dalam dari yang saya sadari. Saat kemarin saya ke gua dan ke Bleduk Kuwu di Grobogan, saya langsung cari kresek begitu melihat sampah yang berserakan dan langsung mungutin sampah aja gitu. Jadi selamat kepada JSN dan Biru Kira, saya sudah terhabituasi dengan sukses!
Lanjut, jalan di Sabtu pagi selanjutnya adalah jalan-jalan ke Candi. Ini baru juga buat saya. Pengalaman pertama saya ke Candi adalah waktu masih kecil banget. Belum sekolah pokoknya, wong Nenek saya masih hidup waktu itu. Pengalaman itu adalah pengalaman yang sangat tidak menyenangkan rasanya. Pastinya karena saya masih kecil banget dan anak tangga Candi pasti setinggi setengah tubuh saya. Panas dan nggak mudeng juga.
Pengalaman berikutnya yang membuat saya jadi tertarik melihat Candi adalah ketika saya dan JSN serombongan jalan-jalan ke Candi Barong. Bersama dengan orang yang memang tertarik dengan Candi dan hasil foto-foto yang keren untuk dijadikan profil picture, maka saya jadi suka juga jalan-jalan ke Candi.
Jalan-jalan budaya itu kemudian berlanjut, Sambi Sari, Candi Sewu, Prambanan, Borobudur, Cetha, Sukuh dan candi-candi lain yang saya lupa namanya. Salah satu yang saya sangat suka adalah Candi Sambi Sari di daerah Tajem. Suasananya yang hijau, tenang dan adem bikin saya pengen duduk berlama-lama di sana. Tapi kalau pas rame-rame ntar ditinggal kalo kelamaan, kalau sendiri saya nggak berani.
Paling nggak dari jalan-jalan ke Candi itu saya jadi tau mana yang Candi Hindu dan mana yang Candi Budha, tau sejarah sedikit, bisa membedakan mana batu yang lama dan mana batu yang baru, lebih care juga sama Candi dan pengen ke Candi yang belum pernah saya datengin. Misi saya dalam waktu dekat adalah melihat sunset di Candi Ratu Boko.
Kembali ke Sabtu pagi. Beberapa bulan belakangan ini jalan-jalan di Sabtu pagi saya sempat menghilang. Provokator utamanya pindah ke Papua dan temannya pindah ke Jakarta. Tidak ada lagi foto-foto buat profil picture. Sedih.
Sampailah di beberapa minggu yang lalu. Saya menemukan hobi baru yang diharapkan bisa menghasilkan. Berkenalan dengan orang-orang dan menuliskan cerita mereka.
Saya pun meneruskan hobi saya untuk berjalan-jalan di hari Sabtu pagi. Sabtu pertama saya bertemu dengan seorang penjaga sekolah yang-istilah gampangnya-hidup mati untuk murid-murid di sekolah tersebut. Banyak yang saya dapat dari percakapan singkat saya dengannya. Salah satunya adalah banyak kalimat yang selama ini hanya saya dengar sebagai jargon dan motto belaka mewujud dalam kehidupan keseharian si bapak satu anak ini. Totalitas sebagai wujud dari kekatolikan yang diimaninya, memberikan yang terbaik dari yang baik dan pekerjaan yang ia lakukan adalah suatu doa syukur atas kebaikan Tuhan dalam hidupnya. Dia pasti bisa melihat Tuhan di mana saja.
Perjalanan selanjutnya adalah berkenalan dengan seorang Suster pecinta alam yang keren dan kakak lelakinya yang nggak kalah kerennya. Selain mereka berdua saya juga bertemu dengan seorang juru kunci gua. Saya terkesan dengan si bapak juru kunci ini karena dia tidak klaustrophobia ketika ia mengeksplorasi gua-gua itu. Padahal beliau harus merayap melewati terowongan yang bener-bener pas badan dan gelap pula.
Pertemuan dengan banyak orang menarik ini membuat saya ingin mengenal lebih banyak orang lain lagi. Orang dari berbagai kalangan dan dunia yang berbeda-beda. Dari seorang petani di pucuk gunung sampai peneliti dari luar negeri. Berkenalan dengan orang-orang ini membuat saya merasa bahwa selama ini saya hidup dalam sebuah kotak. Kotak yang saya buat berdasarkan persepsi saya sendiri dan itu membatasi ruang gerak saya sendiri. Sayang sekali, padahal dunia seluas ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith